Benteng Vredenberg yang digunakan sebagai pangkalan oleh Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta.

Koran Sulindo – Kekalahan Belanda oleh Inggris dengan ditekennya Kapitulasi Tuntang, 18 September 1811, dimanfaatkan Sultan Hamengkubuwana II untuk kembali bertahta menjadi raja, Ia menurunkan Hamengkubuwana III kembali sebagai putra mahkota.

Sebelumnya, HB II diturunkan dari tahta oleh Belanda pada era Gubernur Jenderal William Deandels atas tuduhan membantu pemberontakan Pangeran Ronggo Prawirodirjo III yang menentang konsensi hutan jati.

Belanda menunjuk Raden Mas Surojo sebagai HB III untuk menggantikan ayahnya sebagai raja di Yogyakarta.

Seperti penentangannya terhadap Belanda, HB II juga menentang kekuasaan Inggris di Jawa. Ketegangan makin memuncak ketika Residen Yogyakarta John Crawud melalui Diponegoro justru berniat mengembalikan tahta pada HB III yang dilengserkan ayahnya.

Inggris lebih senang HB III sebagai raja karena dianggap memiliki sikap lebih ramah dan penurut dibanding ayahnya yang kaku.

Tentu saja ide mendudukkan kembali HB III ditentang HB II, ia juga tak bergeming ketika Thomas Stamford Raffles mengirim ultimatum tanggal 13 Juni 1812.

Tepat di hari yang sama diam-diam Raffles mengirim 1.000 tentara memasuki Benteng Vrederburg di malam hari. Separo dari pasukan itu merupakan unit-unit militer dari Sepoy di India.

Tak hanya dari Sepoy, tentara Inggris juga diperkuat tentara lokal yakni 500 prajurit dari Legiun Mangkunegaran dari Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Prangwedono.

Marah karena ultimatumnya diabaikan, tentara Inggris di Vrederburg mulai membombardir keraton pada tanggal 19 Juni 1812 menggunakan meriam sebagai peringatan. Salah satu tembakan meriam itu menghantam gudang amunisi yang dijaga tentara dari Bugis. Gudang itu meledak dengan hebat.

Ketika pecah pertempuran hebat sehari kemudian, tentara-tentara Inggris memanfaatkan tangga-tangga bambu untuk masuk keraton.

Tangga tersebut disiapkan oleh Tumenggung Secadiningrat seorang Kapitan Cina di Kedu yang bernama asli Tan Jin Sing.

Kelak dikemudian hari atas jasanya membantu Inggris, si Tan Jin Sing ini diangkat menjadi bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat oleh Thomas Stamford Raffles.

Tak cuma memanjat benteng, untuk menekan pasukan keraton Inggris juga membombardir plengkung Tarunasura dan pintu Pancasura. Kalah persenjataan dan dengan kondisi kedaton yang terkepung, tidak ada pilihan lain akhirnya Sultan HB II menyerah kepada Inggris dengan berpakaian serba putih.

Baca juga: Penjarahan Brutal Inggris di Keraton Yogyakarta

Kapten William Thorn, seorang tentara Inggris yang ikut dalam penaklukkan itu dalam Memoir of The Conquest of Java menulis pertahanan keraton sebagai, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jungkit, dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion dan diperkuat dengan seratus meriam.”

Thorn juga menyebut keraton dipertahankan oleh sekitar 17.000 prajurit yang bersiaga di dalam bentang atau dalam istilah jawa disebut sebagai baluwerti.

Keraton Yogyakarta selain di lindungi oleh dinding baluwerti yang melindungi keraton serta permukiman di sekitarnya, juga kelilingi oleh cepuri atau benteng dalam yang langsung mengelilingi keraton.

Baluwerti dibangun atas prakarsa HB II saat masih menjadi putra mahkota sebagai tanggapan atas berdirinya Benteng Vredeburg yang dibangun Kompeni tepat di sebelah utara keraton pada tahun 1765 hingga 1787. Benteng pertahanan ini makin disempurnakan ketika HB II naik tahta

Benteng luar atau baluwerti memiliki tebal hingga 4 meter ini dilengkapi oleh jagang atau parit pertahanan dengan setiap sudut dibangun tulaktala. Ini yang oleh Thorn disebut sebagai bastion.

Dengan Vredeberg nangkring di depan hidung, keraton menempatkan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara sebagai pertahanannya yang paling kuat. Namun, wilayah inilah yang dihindari Inggris sebagai sasaran serangan utama.

Sementara itu di dalam Benteng Vredenberg yang digunakan sebagai pangkalan untuk menyerang keraton hanya tersedia sedikit mesiu dari pabrik mesiu lama yang ditinggalkan Belanda. Thorn menulis kualitas mesiu itu sangat buruk, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”

Sembari menunggu bala bantuan dari Salatiga yang dipimpin Letnan Kolonel Alexander, serangan utama Inggris justru diarahkan pada sisi timur Baluwerti yang dipimpin Kolonel James Watson dengan Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Bastion di sisi timur baluwerti itu dihujani tembakan-tembakan meriam.

Tembakan itulah yang menghancurkan penyimpanan mesiu milik keraton dengan ledakan yang sangat dahsyat. Ledakan itu jugalah yang mengendurkan pertahanan baluwerti hingga serdadu Inggris asal Sepoy berhasil menurunkan jembatan jungkit.

Thorn menulis, untuk menghambat gerak maju tentara Inggris, bastion tenggara menghujani baluwerti dengan tembakan senapan meski mereka, “akhirnya takluk diujung bayonet.”

Sementara itu pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod menyerbu Plengkung Tarunasura dan Pancasura. Gerbang ini hancur oleh ledakan artileri Inggris.

Pada saat yang sama di sisi selatan serdadu Inggris juga berhasil menjebol gerbang selatan atau Plengkung Nirbaya juga gerbang barat di Plengkung Jagabaya.

Satu-satunya pertahanan terakhir yang masih dipertahankan keraton hanyalah tulaktala atau bastion barat laut. Ketika akhirnya perkubuan ini diserbu, prajurit keraton melarikan diri ke Masjid Besar Kauman.

Babad Bedahing Ngayogyakarta menyebut para pembela keraton gampang dikalahkan Inggris karena lemahnya semangat perang mereka.

Babad itu menyebut, pangeran-pangeran yang seharusnya menjadi teladan saat pertempuran justru banyak yang berlindung atau berpura-pura sakit. Di antara mereka bahkan ada yang jauh-jauh hari sudah kabur menghindari pertempuran menuju wilayah pedesaan.

Babad Bedahing Ngayogyakarta adalah semacam buku harian yang ditulis Pangeran Panular, salah seorang putera HB II yang ikut dalam pertempuran itu.(TGU)

Baca juga: Invasion of Java, Inggris Bukan Lawan Sebanding Kompeni