Bukan Indonesia namanya jika tidak memiliki ragam budaya. Setiap daerah menyuguhkan kekayaan seni yang unik dan mencerminkan jati diri masyarakatnya. Dari atraksi magis Debus asal Banten, gemulai Jaipong dari Jawa Barat, hingga gemuruh Tari Kecak dari Bali, Indonesia begitu kaya akan warisan budaya.
Namun, di antara sekian banyak bentuk seni pertunjukan tradisional, terdapat satu tarian yang diyakini sebagai salah satu tarian tertua di Nusantara: Jathilan. Dilansir dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, berikut penjelasan singkat mengenai seni pertunjukan Jathilan.
Jathilan adalah seni pertunjukan rakyat yang begitu populer di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi bagian dari festival seni berskala besar, Jathilan juga hadir dalam kegiatan-kegiatan kecil di kampung-kampung, menjadikannya bagian integral dari kehidupan budaya masyarakat. Kesenian ini tidak hanya ditemukan di Yogyakarta, tetapi juga tersebar di wilayah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Jawa Barat. Setiap daerah menghadirkan gaya pertunjukan yang khas, dipengaruhi oleh karakter sosial dan budaya masyarakat setempat.
Ciri Khas dan Makna Simbolik
Ciri paling khas dari pertunjukan Jathilan adalah penggunaan “kuda” yang terbuat dari anyaman bambu, dimainkan oleh sejumlah penari dengan iringan musik tradisional. Namun, bukan hanya gerak tari dan musik yang menjadi daya tarik utama, tetapi hadirnya unsur trance atau kesurupan roh halus menjadi elemen yang membedakan Jathilan dari tarian lainnya. Adegan kesurupan ini seringkali dipahami masyarakat sebagai bagian dari kepercayaan spiritual yang masih kuat berakar dalam tradisi animisme.
Sebelum masuknya agama Hindu ke Pulau Jawa, masyarakat setempat telah mengenal berbagai bentuk ritual yang berkaitan dengan kekuatan alam dan roh-roh binatang. Salah satu bentuk kepercayaan tersebut adalah totemisme, keyakinan pada hewan suci sebagai pelindung. Dalam Jathilan, kuda bambu dipercaya merepresentasikan totem Sang Hyang Jaran, simbol kekuatan pelindung yang diyakini dapat menangkal roh jahat dan bencana. Maka tak heran jika pertunjukan ini dahulu lebih banyak digunakan sebagai bentuk ritual penyucian atau penjagaan desa.
Seiring waktu, makna ritual ini mulai bergeser. Masyarakat modern lebih melihat Jathilan sebagai hiburan rakyat. Meski demikian, unsur-unsur spiritual dan magis tetap dipertahankan sebagai daya pikat tersendiri.
Yogyakarta, sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, memiliki kekayaan varian Jathilan yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Setiap wilayah menghadirkan karakteristik pertunjukan yang unik sesuai dengan latar budaya dan preferensi masyarakatnya. Di wilayah Kota Yogyakarta, misalnya, Jathilan dikemas dengan pendekatan yang lebih modern. Gaya penyajian disesuaikan dengan perkembangan zaman dan selera masyarakat urban, sehingga tampil lebih fleksibel dan dinamis.
Sementara itu, Kabupaten Bantul tetap menjaga kekuatan penghayatan dalam setiap pertunjukannya. Di daerah ini, Jathilan masih mempertahankan pakem-pakem tradisional yang mengakar kuat dalam fungsi ritual. Penampilan mungkin tampak sederhana, namun menyimpan makna yang dalam sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur.
Berbeda dengan dua wilayah tersebut, Gunung Kidul menampilkan Jathilan dengan nuansa yang lebih bebas dan ekspresif. Ciri khasnya terletak pada penggunaan penari perempuan yang membawakan gerakan-gerakan ringan dan ceria. Bentuk penyajian ini biasanya tidak terikat pada cerita atau pakem tertentu, melainkan menggambarkan suasana pergaulan dan keceriaan anak muda.
Adapun di Kabupaten Kulon Progo, masyarakat mengenal jenis Jathilan khas yang disebut Incling. Pertunjukan ini diiringi oleh alat musik krumpyung—sejenis alat musik bambu yang menghasilkan bunyi menyerupai angklung. Suara khas dari krumpyung inilah yang memberikan warna musikal berbeda dan menjadi daya tarik tersendiri dari Jathilan di daerah ini.
Dalam lintasan waktu, Jathilan juga mengalami transformasi bentuk dan fungsi yang membedakannya ke dalam beberapa kategori penyajian. Pertama, ada Jathilan Pakem, yaitu bentuk tradisional yang masih mempertahankan gaya penyajian asli tanpa perubahan. Kedua adalah Jathilan Kreasi Baru, yang tampil lebih segar dan eksploratif, menyesuaikan dengan selera hiburan masyarakat masa kini.
Ketiga, terdapat Jathilan Festival yang dikembangkan secara khusus untuk mengikuti ajang-ajang lomba atau pertunjukan resmi, di mana penyajiannya disesuaikan dengan kriteria tertentu. Dan terakhir, Jathilan Entertainment, yakni pertunjukan yang digelar atas permintaan khusus, seperti acara perayaan atau hiburan umum, yang bentuk dan gayanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan acara.
Meskipun telah mengalami berbagai perubahan bentuk dan fungsi, Jathilan tetap memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Ia bukan hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga simbol dari dinamika budaya, spiritualitas, dan kreativitas lokal. Dalam era modern ini, tantangan Jathilan terletak pada bagaimana mempertahankan nilai-nilai tradisional sambil tetap mampu beradaptasi dengan tuntutan hiburan kontemporer. [UN]