Tren pengggusuran paksa makin marak sejak Jakarta dipimpin Ahok. Demi mengejar label smart City yang digagas Bank Dunia.
Koran Sulindo – Kamis malam, pekan lalu, Isnu Handono bersama teman-temannya sedang rapat di sekretariat Ciliwung Merdeka, Bukit Duri. Tiba-tiba seseorang yang tidak dikenal mengaku intel nyelonong masuk ke kantor itu. “Ada kegiatan apa? Saya diperintah atasan untuk monitor,” katanya.
Isnu yang merupakan aktivis Ciliwung Merdeka itu menuliskan peristiwa tersebut lewat status Facebook-nya pada malam kemarin. Bersama dengan Sandyawan Sumardi, ia sejak awal aktif melawan dan menolak penggusuran paksa oleh pemerintah Provinsi [Pemprov] DKI Jakarta terhadap warga Bukit Duri. Salah satu upaya mereka menggugat surat keputusan penggusuran yang diterbitkan Pemprov DKI.
Kendati sedang dalam proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta dengan arogansinya tetap menggusur warga Bukit Duri pada 28 September lalu. Dengan mengerahkan sekitar 900 aparat gabungan, Pemprov DKI membongkar rumah sekitar 331 keluarga. Dari jumlah itu, sekitar 270 keluarga disebut sudah menempati Rusun Rawa Bebek. Hanya sekitar 61 keluarga yang belum pindah ke Rusun.
Menanggapi hal ini, Sandyawan, Direktur Ciliwung Merdeka yang mewakili komunitas warga Bukit Duri mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sama sekali tidak menghargai proses hukum. Karena, bagaimanapun, proses hukum sedang berlangsung di PTUN DKI Jakarta. Ketika proses penggusuran berlangsung, Sandyawan yang lebih dikenal sebagai Romo Sandy bangga pada warga Bukit Duri. Sebagai warga, mereka tidak kehilangan akal sehatnya dan menjadi emosi.
Komnas HAM juga mengajukan permintaan penangguhan rencana penggusuran itu kepada Pemprov DKI Jakarta hingga ada keputusan berkekuatan hukum tetap untuk menghormati proses hukum.
Kelurahan Bukit Duri saat itu menjadi bagian dari tim pemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Jokowi sampai menyambangi wilayah kumuh itu, katanya, dengan membawa perasaan senasib. Jokowi bercerita juga berasal dari pemukiman di daerah bantaran sungai saat tinggal di Solo. Rumahnya juga pernah mengalami pembongkaran. “Kami merasakan ada rasa senasib, hingga akhirnya kami merasa punya tempat untuk mengadu,” kata Sandyawan.
Jokowi memenangi pemilihan gubernur pada 2012. “Dia memberikan kesempatan pada kami satu jam untuk presentasi konsep kampung susun tanggal 6 Oktober 2012. Pak Jokowi datang membawa aparat pemerintahan bahkan Wali Kota Jakarta Selatan. Bahkan, dari ide kami, Jokowi waktu itu rencanakan akan bangun di 27 titik di Jakarta berdasarkan tema,” kata Sandyawan. Kala itu, Jokowi berjanji tidak akan menggusur, melainkan merevitalisasi kampung-kampung di Jakarta.
Tahun demi tahun, gagasan itu terus tersimpan di meja gubernur. Sampai sang gubernur menjadi Presiden RI pada 2014. Pada 2015, konsep ini kembali ditawarkan kepada Ahok, yang saat itu sudah menjabat Gubernur menggantikan Jokowi. Ahok menyetujui konsep ini. Namun yang terjadi, wagub yang naik tahta justru melantangkan suara menggusur. Dan terlaksanalah kata-katanya itu pada Rabu terakhir September lalu.
Demi “Smart City”
Dari berbagai penggusuran paksa selama ini, Pemprov DKI menyampaikan alasan yang nyaris serupa: normalisasi kali. Untuk kawasan Kalijodo, Jakarta Utara beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyatakan kawasan itu sebagai wilayah lahan hijau.
Kebijakan Ahok menggusur rumah-rumah penduduk di kawasan Jakarta sesungguhnya telah terjadi sejak akhir 2014. Front Mahasiswa Nasional [FMN], misalnya, mencatat penggusuran paksa yang menjadi kebijakan rezim ini pada 2014 meliputi 28 titik pemukiman yang mengorbankan dua ribu rumah rakyat. Penggusuran ini juga menimpa warga Pinangsia, Taman Sari dan Kali Apuran, Cengkareng, Jakarta Barat atas nama normalisasi kali. Selain tidak membayar ganti rugi dan mengabaikan hak-hak warga, penggusuran ini juga menggunakan cara-cara kekerasan yang melibatkan aparat keamanan seperti polisi dan tentara.
Forum Warga Jakarta juga menemukan sepanjang 2014 korban penggusuran paksa mencapai sekitar 3.751 keluarga yang mengakibatkan sekitar 3.513 bangunan hancur dan sekitar 13.852 jiwa kehilangan tempat tinggal. Rata-rata penggusuran ini menggunakan pendekatan kekerasan. Ahok bahkan rela menggelontorkan anggaran dari APDB DKI hingga Rp 30 miliar untuk “menyewa” Kostrad agar terlibat dalam penanganan keamanan di ibukota.
Dalam kasus penggusuran itu, Ahok sering kali menuduh masyarakat sebagai warga liar atau menempati lahan milik negara. Itu yang dialami warga Pinangsia dan Kali Apuran. Warga di kedua wilayah ini sama sekali tidak mendapat ganti rugi apapun dari Pemprov DKI. Kemudian, kisah Ahok menggusur terus berlanjut hingga 2015.
Penggusuran ketika itu menyasar warga Kampung Pulo yang disebut sebagai penyebab banjir karena menduduki lahan di bantaran Kali Ciliwung.
Warga telah mendiami lahan Kampung Pulo sejak Indonesia belum merdeka. Tetapi, untuk menutup kegagalannya mengatasi banjir, Ahok dengan cara kekerasan menggusur paksa warga dari kehidupannnya atas nama “pembangunan”. Pemprov DKI lantas mengiming-imingi warga tinggal di rumah susun sewa secara gratis. Sejak awal warga bersedia berdialog dengan Pemprov DKI. Namun, Ahok menolak. Ia menyebut untuk menggusur rakyat miskin yang diperlukan otot bukan otak.
Sebelum penggusuran warga Bukit Duri, di awal September Pemprov DKI juga menggusur warga Rawajati Jakarta Selatan tanpa ganti rugi apapun. Seperti Kalijodo, daerah Rawajati disebut sebagai lahan terbuka hijau milik Pemprov DKI. Penggusuran ini melibatkan 300 personel aparat gabungan. Jumlah korban penggusuran di Rawajati sebanyak 70 kepala keluarga. Akibat tindak kekerasan aparat menyebabkan empat orang warga mengalami luka-luka.
Sementara itu, penelitian Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Jakarta hingga akhir Desember 2015 menemukan 113 kasus penggusuran paksa yang terjadi di DKI Jakarta dengan 8.145 kepala keluarga dan 6.283 unit usaha yang terdampak. Mayoritas penggusuran itu melalui cara-cara kekerasan yang melibatkan tentara dan aparat kepolisian. Mayoritas penggusuran itu tanpa ganti rugi.
Sedangkan untuk 2016, LBH menemukan sebanyak 325 lokasi penggusuran. Jumlah itu terdiri atas 57 lokasi di Jakarta Pusat, 82 di Jakarta Timur, 77 lokasi di Jakarta Selatan, 54 lokasi di Jakarta Utara, 55 lokasi di Jakarta Barat. LBH menyebut rencana penggusuran pada 2016 meningkat tiga kali lipat dibanding 2015. Pemprov DKI disebut tidak menghormati proses hukum di pengadilan seperti yang sedang dilakukan warga Bukit Duri. Padahal, pengadilan memutus agar tidak dilakukan penggusuran hingga ada keputusan berkekuatan hukum tetap. Namun, Pemprov DKI mengabaikannya.
Kebijakan penggusuran paksa ini terus dijalankan Ahok beserta aparatnya demi mengejar label “Smart City”. Gagasan “Smart City” yang ingin dikejar Ahok merupakan gagasan yang dikampanyekan Bank Dunia. Bahkan program normalisasi kali ini juga didanai Bank Dunia senilai US$ 150 ribu dan berhubungan erat dengan pembangunan tanggul raksasa yang termuat di Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia senilai Rp 600 triliun. Melalui Jakarta Emergency Dredging Initiative, Bank Dunia meggelontorkan sekitar US$ 135,5 juta sebagai proyek pembenahan sistem drainase di Jakarta. Mekanismenya bisa melalui APBD dan APBN maupun instansi swasta atau pihak pengembang. (Kristian Ginting/DS)