Sejumlah kelompok masyarakat dan barisan tentara berpawai pada Rapat Tri Komando Rakyat pada bulan Desember 1961 sebagaimana didokumentasikan oleh Kementerian Penerangan Wilayah Jawa Tengah 1950—1965 (Dokumentasi No. 637), yang kemudian dikutip oleh Arsip Nasional Republik Indonesia dalam bukunya “Guide Arsip Pembebasan Irian Barat 1949—1969”. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Setiap kali kalender menunjukkan tanggal 1 Mei, pikiran banyak orang langsung tertuju pada Hari Buruh. Di berbagai negara Hari Buruh dijadikan sebagai hari libur nasional termasuk di Indonesia. Namun, tahukah kamu bahwa ada satu lagi peristiwa bersejarah yang juga diperingati setiap 1 Mei, khususnya bagi rakyat Indonesia?

Tepat pada hari yang sama, bangsa ini mengenang momen penting yang jarang mendapat sorotan, yaitu Hari Pembebasan Irian Barat. Di balik cerita tentang perjuangan kaum buruh, terselip kisah panjang tentang diplomasi, ketegangan politik, bahkan konflik bersenjata yang akhirnya membawa Irian Barat kembali ke pangkuan Republik. Ini bukan sekadar catatan sejarah biasa, ini adalah bukti nyata bahwa kemerdekaan sejati butuh lebih dari sekadar pengakuan, tetapi juga keberanian, kegigihan, dan keyakinan akan persatuan.

Mari kita membuka kembali lembaran sejarah itu. Sebuah perjalanan yang dimulai dari penolakan, dilanjutkan dengan perundingan, hingga akhirnya menjadi kemenangan.

Setiap tanggal 1 Mei, bangsa Indonesia memperingati sebuah tonggak sejarah penting dalam perjalanan panjang mempertahankan keutuhan wilayahnya yaitu Hari Pembebasan Irian Barat. Momentum ini bukan hanya penanda bebasnya wilayah Irian Barat dari kekuasaan kolonial Belanda, tetapi juga simbol keberhasilan perjuangan diplomasi, keteguhan politik, dan kekuatan nasionalisme Indonesia.

Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, termasuk Irian Barat, merupakan bagian sah dari kedaulatan Republik Indonesia. Namun, Belanda memiliki pandangan berbeda. Mereka tetap menganggap Irian Barat sebagai bagian dari Kerajaan Belanda dan bahkan merancang rencana untuk menjadikannya negara merdeka pada dekade 1970-an. Ketidaksepakatan ini pun menjadi akar dari konflik panjang antara kedua negara.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 di Den Haag, persoalan Irian Barat menjadi salah satu titik sengketa yang paling sulit diselesaikan. Delegasi Indonesia menegaskan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari Indonesia Timur dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan delegasi Belanda berkeras ingin memberi status khusus kepada Papua, memisahkannya dari Indonesia.

Setelah berbagai upaya negosiasi menemui jalan buntu, Indonesia mengambil langkah lebih tegas dengan melakukan konfrontasi politik dan ekonomi terhadap Belanda. Ketegangan meningkat, dan Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Belanda pun memperkuat pasukan militernya di Irian Barat, sementara Indonesia menggalang dukungan diplomatik internasional melalui forum-forum seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan Sidang Umum PBB.

Titik balik dari perjuangan ini terjadi pada 19 Desember 1961, ketika Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) di Alun-alun Utara Yogyakarta. Operasi ini merupakan bentuk agresi militer untuk merebut kembali Irian Barat, sekaligus sebagai respons terhadap pelanggaran kesepakatan KMB oleh Belanda. Dalam rangkaian Trikora, dibentuklah Komando Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto, yang bertugas merancang strategi militer untuk membebaskan wilayah tersebut.

Akhirnya, tekanan militer dan diplomasi yang kuat dari Indonesia membuahkan hasil. Pada 15 Agustus 1962, Perjanjian New York ditandatangani. Perjanjian ini menyepakati bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Indonesia, dengan masa transisi yang dipimpin oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Pada 1 Oktober 1962, Belanda secara resmi menyerahkan administrasi wilayah tersebut kepada UNTEA, dan pada akhir Desember tahun yang sama, bendera Belanda diturunkan untuk terakhir kalinya dari tanah Papua.

Tepat pada 1 Mei 1963, UNTEA secara resmi menyerahkan kendali Irian Barat kepada Indonesia. Upacara peresmiannya berlangsung di Jayapura, menandai penyatuan de jure wilayah tersebut ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nama baru: Irian Jaya. Indonesia pun memperoleh kembali provinsi ke-26-nya secara sah di mata dunia.

Sebagai bagian dari komitmen untuk menghormati hak-hak masyarakat Papua, Indonesia menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Di bawah pengawasan dua utusan PBB dan dipimpin oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, rakyat Irian Barat memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia. Meskipun hasil Pepera kemudian menimbulkan perdebatan dari berbagai pihak, secara resmi hasilnya diterima oleh komunitas internasional.

Upaya Indonesia untuk merangkul Papua tidak berhenti sampai di sana. Pada era reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan status otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagai bentuk pengakuan atas kekhasan budaya, sejarah, dan aspirasi masyarakat setempat. Kemudian pada tahun 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri memutuskan pemekaran wilayah menjadi dua provinsi: Papua dan Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat).

Hari Pembebasan Irian Barat tidak sekadar memperingati keberhasilan diplomasi dan kekuatan militer, namun juga menjadi refleksi terhadap semangat persatuan dan integrasi bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia adalah hasil dari perjuangan panjang yang sarat pengorbanan, strategi, dan keteguhan dalam menghadapi tantangan global.

Di tengah dinamika zaman, peringatan 1 Mei sebagai Hari Pembebasan Irian Barat menjadi pengingat bahwa perjuangan tidak hanya ditentukan di medan perang, tetapi juga dalam ruang diplomasi dan kesepahaman antarbangsa. Sebuah warisan sejarah yang layak dijaga dan dijadikan inspirasi untuk menjaga kebhinekaan dan persatuan Indonesia ke depan. [UN]