Koran Sulindo – Munculnya buku Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 pada 2013 sesungguhnya kembali membuka ruang perdebatan tentang kebudayaan antara kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Kendati banyak penafsiran terhadap munculnya buku Wijaya itu, setidaknya ia menunjukkan bagaimana kebudayaan bisa digunakan untuk “menjajah” dengan mencekoki rakyat lewat kebudayaan feodal yang imperialistik.
Wijaya membuktikannya dengan menelusuri jejak pendirian Manikebu. Ia menyebutkan pendirian Manikebu tidaklah semata-mata demi kebudayaan, namun menjadi alat untuk melawan dan memberangus paham komunisme di Indonesia. Jejak Manikebu yang sebagian penandatangannya terbukti berafiliasi dengan Congress for Cultural Freedom (CCF) yang berdiri di Berlin pada 1950 melalui agen CIA Michael Josselson.
Misi pendirian CCF ini jelas: agar para seniman dan intelektual di seluruh dunia lepas dari pengaruh komunisme. CCF dikendalikan oleh unit khusus CIA dengan nama Office of Policy Coordination yang dikepalai Frank Wisner. Itu berarti, jauh sebelum Manikebu dideklarasikan, tujuan Amerika Serikat (AS) mendirikan CCF adalah mempromosikan liberalisme sebagai upaya melawan komunisme di bidang kebudayaan.
Adalah Mochtar Lubis pemimpin harian Indonesia Raya (1949-1974) yang dikenal cukup dekat dengan elite Partai Sosialis Indonesia (PSI) seperti Sjahrir dan Sumitro Djojohadikusumo yang membangun jaringan dengan Barat. Ia merupakan anggota International Press Institute pada 1951; sebuah lembaga yang dibiayai AS dan bermarkas di Zurich.
Mochtar juga dikenal dekat dengan diplomat AS bernama Willard Hanna, ahli sejarah, budaya dan politik Indonesia. Bersama dengan elite PSI itu, Mochtar menjadi akrab dengan CCF dan akhirnya menjadi anggota pada 1954, setahun sebelum kongres pertama CCF di Asia. Mochtar bersama Sutan Takdir Alisjahbana menghadiri kongres itu. Sedangkan Sumitro ditunjuk sebagai ketua kehormatan konferensi CCF di Asia.
Dari sinilah bermula terjalin kedekatan Mochtar Lubis dengan Ivan Kats, perwakilan CCF untuk Asia. Bahkan kedekatan hubungan tersebut berlanjut hingga generasi setelahnya, yakni Goenawan Mohammad. Kelompok Mochtar Lubis lalu menemukan tempat untuk melawan langsung praktik kebudayaan kiri di Indonesia yang ketika itu didominasi kaum kiri. Seniman kiri yang tergabung dalam Lekra juga memperkuat komitmen politik mereka di bidang seni dan sastra, sejalan dengan politik revolusioner Sukarno.
Pandangan Wijaya yang tertulis dalam bukunya itu, sesungguhnya sudah sejak lama menjadi dasar atau manifesto Lekra soal kebudayaan. Kegagalan Revolusi Agustus 1945 disebut Lekra membuka kesempatan kepada kebudayaan feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya meracuni dan merusakbinasakan budi pekerti dan jiwa rakyat Indonesia. Menurut Lekra, pengalaman telah menunjukkan kebudayaan feodal dan imperialis telah membuat rakyat Indonesia bodoh, menanamkan jiwa pengecut dan penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa hina rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak.
Feodal dan Kolonial
Berdasarkan perkembangan masyarakat pada saat itu yang disebut Lekra sebagai masyarakat setengah jajahan – seperti yang kita alami saat ini – masyarakat yang dilahirkan oleh sesuatu politik kompromi dengan imperialisme sudah dengan sendirinya tidak bisa lain dari membuka pintu bagi kelangsungan kebudayaan kolonial, sebagai persenyawaan antara kebudayaan feodal dan kebudayaan imperialis.
Dalam masyarakat setengah jajahan, kebudayaan kolonial merupakan salah satu “senjata” kelas berkuasa untuk menindas kelas yang dikuasai. Kebudayaan kolonial adalah senjata dari kelas elite yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan yang dihasilkan oleh keringat dan rakyat banyak.
Atas dasar analisis tersebut, Lekra menyadari betul rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya bisa dilakukan oleh rakyat. Lekra karena itu akan bekerja secara khusus di lapangan kesenian dan ilmu. Menghimpun tenaga dan kegiatan seniman, sarjana, dan pekerja kebudayaan lainnya. Lekra juga tidak setuju dengan pandangan bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat.
Untuk menambah pengetahuan kita tentang serangan kebudayaan imperialis dewasa ini, sekiranya kita perlu menyimak pendapat budayawan Filipina Julie de Lima dalam tulisannya yang telah diterjemahkan berjudul Tentang Serangan Kebudayaan Imperialis. Dalam tulisannya itu, ia mengakui sudah ada perang yang berlangsung sejak lama antara imperialisme dan rakyat tertindas dalam bidang kebudayaan. Perang ini, kata Julie, berlangsung sejak penguasa kolonial menyadari, pedang, bayonet, senjata dan bom tidak cukup memadamkan perlawanan bersenjata atau melenyapkan seluruh desa pemberontak untuk menaklukkan rakyat.
Sejak itu, lanjut Julie, perang untuk menarik hati dan pikiran terus dilancarkan, karena rakyat yang ditaklukkan menolak penaklukan di bidang kebudayaan, bahkan sebelum mereka pada akhirnya mengangkat senjata dan melawan. Julie mengingatkan kita bahwa dewasa ini kekuatan kaum imperialis masih dominan. Bahkan tumbuh semakin canggih dengan kampanye yang disebut sebagai kontra-insurgency yang komprehensif dengan menggunakan bom, peluru dan penipuan. “Penipuan tidak hanya terhadap rakyat yang melawan, tapi juga terhadap rakyat di negerinya. Di sisi lain, perang perlawanan menghasilkan batalion aktivis kebudayaan untuk mengobarkan semangat revolusioner para pejuang dan rakyat,” tulis Julie.
Kebudayaan Imperialis
Seperti Lekra, Julie menggunakan pisau marxisme dalam menganalisis masyarakat dan hukum geraknya. Pasalnya, marxisme melangkah lebih lanjut dengan mempelajari basis ekonominya, kemudian juga suprastruktur (politik dan kebudayaan) baik dalam kekhususan maupun dalam interaksinya. Kelas yang menguasai basis ekonomi dan mengambil nilai lebih merupakan faktor yang menentukan dalam jangka panjang, ia menghasilkan kerangka kekuasaan politiknya dan kebudayaan yang dominan.
Julie kemudian mengutip kalimat Marx dalam German Ideology bahwa ide-ide kelas penguasa dalam setiap kurun zaman adalah ide yang berkuasa, artinya kelas yang merupakan kekuatan materi yang berkuasa dalam masyarakat, juga merupakan kekuatan intelektual yang berkuasa. Kelas yang memiliki alat-alat produksi material, juga mengontrol alat-alat produksi mental sehingga secara umum, ide-ide mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi mental terkekang. Pendeknya, ide-ide pemilik alat produksi adalah ide yang berkuasa pada zaman itu.
Lantas bagaimana cara kita mengenali serangan kebudayaan imperialis itu? Julie menuturkan, beberapa contoh bentuk-bentuk serangan kebudayaan imperialis bisa kita lihat secara mencolok dalam berbagai slogan yang mereka dengungkan. Semisal, neoliberalisme yang berarti para pemilik modal harus bebas untuk mendapatkan keuntungan di mana saja, kapan saja dan dengan cara apa saja yang mereka sukai. Mereka tidak boleh dibelenggu dan mesti didukung lewat perundang-undangan dan aturan negara. Kemudian, globalisasi yang berarti batasan nasional sudah usang dan harus dihancurkan. Modal finansial, barang dan jasa harus mengalir bebas di seluruh dunia untuk semua orang walau kenyataannya demi keuntungan monopoli.
Arus aksioma atau pernyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian dan ikon yang “memuliakan” kapitalisme monopoli global dengan tema-tema yang sudah disebutkan mengalir “deras” dan tak kunjung berhenti. Tema-tema kebudayaan, pesan dan simbol tersebut terus diproduksi dan disebarluaskan oleh sistem media komunikasi dengan teknologi yang paling canggih: sistem cetak, siaran radio/bioskop, internet/multimedia yang mencakup hampir seluruh dunia dengan 24 jam per hari dengan kapasitas untuk memproduksi apa yang disebut realitas yang sesuai dengan tujuan dominasi imperialis.
Julie mengatakan, hari ini kita juga menghadapi pesan paling berbahaya dari kebudayaan imperialisme yang dipimpin AS. Contoh yang sederhana adalah kehadiran makanan semacam McDonald, tontonan “berbau” pornografi yang dengan mudahnya diakses publik, keinginan konsumen yang berubah sesuai musim, kafe semacam Starbucks dan lain sebagainya. Bentuk utama pesan kebudayaan imperialisme yang berbahaya itu semacam acara realitas, film seri kejahatan, film blockbuster, daftar buku terlaris versi New York Times dan lain sebagainya.
Sementara kebudayaan imperialisme yang menjadi pemasok ideologi imperialis tingkat tinggi adalah seperti seni rupa, elite sastra, universitas tingkat atas, jurnal akademik, think thank kebijakan, ajaran filsafat baru dengan hasil yang pura-pura progresif dan radikal, tapi sebenarnya hanya pengemasan ulang dari kesadaran borjuis kecil yang menyenangkan diri sendiri untuk mengabdi kepada sistem busuk: tujuannya demi meraup keuntungan.
Dari semua pesan kebudayaan imperialis yang meliputi film dan bentuk hiburan lainnya menyedot perhatian dan waktu massa luas. Kelas penguasa, kata Julie, akan menggunakannya untuk mencegah kritik terhadap sistem, menghalangi massa luas dari ide-ide dan perasaan pro-rakyat dan justru mengumbar pikiran serta perasaan pro-imperialis dan reaksioner. Serangan demikian, selain direncanakan dan dilaksanakan di kalangan elite ideologi dan kebudayaan imperialisme AS, juga meliputi think thank dan perusahaan media massa yang didanai CIA dan dunia bisnis besar. Juga berhubungan dengan semua lembaga ekonomi, politik-militer, budaya dan media massa pemerintah AS dan perusahaan multinasional, badan-badan internasional dimana AS berpengaruh besar.
Julie karena itu mengingatkan perlunya membangun kekuatan anti-imperialis termasuk di dalamnya aktivis kebudayaan. Pekerja kebudayaan harus mengembangkan kesadaran dengan berorientasi rakyat dan melancarkan revolusi kebudayaan melalui pekerjaan massa di kalangan rakyat. Jika aktivis kebudayaan terjebak hanya meningkatkan kesadaran untuk kepentingannya, maka pesan kebudayaan berbahaya imperialis dalam berbagai bentuknya dengan mudah menyebar dan melekat seperti parasit. Dan kita semua hanya menjadi saksi penyebaran parasit itu. [Kristian Ginting]