Tak hanya menyajikan teror dari dunia gaib, film horor kadang menjadi jendela untuk menyingkap kembali warisan budaya yang nyaris terlupakan. Hal inilah yang terjadi pada film Panggonan Wingit 2: Miss K, sebuah sekuel yang bukan hanya menggugah lewat cerita mistisnya, tetapi juga menghadirkan kejutan kultural di balik layar.
Di tengah ketegangan narasi supranatural, terselip satu elemen budaya yang mencuri perhatian yaitu tari topeng Malangan. Sebuah fragmen dalam film ini memperkenalkan seni pertunjukan kuno asal Malang yang sarat makna spiritual dan sejarah panjang. Dari sinilah, kita diajak menengok kembali jejak leluhur melalui topeng dan gerak, menyadari bahwa horor sejati kadang justru datang dari yang telah lama dilupakan.
Film Panggonan Wingit 2: Miss K yang sempat bikin bioskop ramai waktu rilis Desember 2024, sekarang udah resmi nangkring di Netflix. Disutradarai oleh Guntur Soeharjanto dan diproduksi oleh Hitmaker Studios, film ini adalah sekuel dari Panggonan Wingit (2023). Tapi, artikel ini tidak akan membahas film ini tapi akan membahas tarian topeng malangan yang ditampilkan di film panggonan wingit 2: Miss K.
Menurut laman topeng malangan, Topeng Malangan merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang memiliki sejarah panjang dan sarat makna. Seni ini berakar pada tradisi leluhur di Malang, dimulai sejak masa Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan tertua di wilayah Malang. Pada sekitar tahun 760 M, di masa pemerintahan Prabu Gajayana, topeng digunakan dalam ritual sakral bernama Upacara Serada. Ritual ini digelar untuk memperingati 12 tahun wafatnya Raja Dewasima, ayahanda Prabu Gajayana.
Dalam Upacara Serada, Prabu Gajayana menghormati mendiang ayahnya dengan menggunakan topeng emas bernama Sangyang Puspo Sariro, yang berarti “dari hati yang paling dalam.” Topeng ini ditempelkan pada boneka berbahan bunga dan ditempatkan di singgasana sebagai simbol penghormatan. Doa dalam upacara ini dilakukan langsung oleh raja, disampaikan dalam bentuk nyanyian atau nembang, yang diiringi gerakan tubuh mengikuti alunan tembang.
Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, seni topeng berkembang pesat, terutama di bawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Tidak hanya berfungsi dalam ritual, seni topeng juga menjadi bagian penting dalam penyambutan tamu kenegaraan. Pejabat kerajaan, termasuk raja, diwajibkan menguasai tarian topeng sebagai bentuk keterampilan seni yang menunjukkan status budaya tinggi.
Cerita Panji, yang menjadi inti dari tradisi topeng, mulai dikenal luas pada masa Majapahit. Kisah ini bahkan menyebar ke wilayah Asia Tenggara seperti Kamboja, Laos, Vietnam, dan Thailand, dengan adaptasi lokal. Di Thailand, tokoh Panji dikenal sebagai Ino atau Inau, sementara Dewi Sekartaji disebut Busaba atau Pusaba, yang berarti bunga.
Di Malang, seni topeng kembali mencapai puncak kejayaan pada tahun 1890, di bawah pemerintahan Bupati Malang keempat, Raden Suringrat. Pada masa itu, seluruh pejabat daerah, mulai dari tingkat terendah hingga camat, diwajibkan menguasai tarian topeng. Tradisi ini menyebar berkat peran dua tokoh utama, Mbah Condro dan Pak Gurawan. Mbah Condro menyebarluaskan seni topeng ke wilayah Malang Timur, meliputi Jabung, Tumpang, hingga lereng Gunung Bromo. Sementara itu, Pak Gurawan membawa seni ini ke Malang Barat, termasuk Kedungmonggo, Sumberpucung, dan Jambuwer.
Topeng Malangan lebih banyak mengangkat cerita Panji, kisah para bangsawan dari era Kerajaan Jenggala dan Kediri, yang dianggap mewakili identitas budaya Jawa Timur. Namun, masyarakat desa juga mengenal cerita Purwa, seperti Mahabharata, yang sering menjadi sumber cerita dalam wayang kulit.
Nilai seni topeng pada masa lalu sangat tinggi. Pada tahun 1900, satu topeng bahkan bisa ditukar dengan seekor sapi. Lebih jauh lagi, pada abad ke-10, topeng-topeng Malang dihias dengan emas dan permata, melambangkan status sosial dan budaya yang tinggi. Sayangnya, pada masa penjajahan, banyak topeng kuno dari Malang dijarah atau rusak, menghapus jejak kejayaannya. Saat ini, sebagian besar topeng kuno Malangan tersimpan di Belanda, menjadi saksi bisu perpindahan warisan budaya.
Memasuki abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1900, seni topeng Malangan mencapai puncak popularitas dengan lebih dari 33 kelompok seni topeng di wilayah Malang Raya. Tradisi ini terus berkembang, menjadikan topeng Malangan sebagai salah satu seni budaya yang terus dilestarikan hingga kini. Dengan segala keunikan dan sejarah panjangnya, topeng Malangan menjadi simbol kekayaan budaya Jawa Timur yang tak ternilai. [UN]