Sejarah May Day untuk menuntut 8 jam kerja pada 1886 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kepolisian RI (Polri) menjadikan Hari Buruh sebagai hari gembira atau Fun Day menuai kritik. Akibat pernyataan tersebut, sebagian serikat buruh dan tokoh buruh mendesak agar Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri segera dicopot. Pasalnya, ia dinilai tidak mengerti tentang sejarah Hari Buruh.

Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), misalnya, menilai, setelah Kementerian Ketenagakerjaan merilis tema “May Day is Fun Day”, kini giliran Polri yang berupaya mengintimidasi serta memprovokasi buruh agar tidak memeringati Hari Buruh dan menggantinya dengan kegiatan lain. Upaya itu dilakukan melalui meme seperti “Daripada pusing mikiri UMK, lebih baik pikiri bagaimana skakmat.” Atau dengan meme yang lain, semisal “Daripada ikut demo, mending ikut mancing.”

Seperti GSBI, Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) juga menolak seruan Kementerian Ketenagakerjaan soal Hari Buruh itu. Hari Buruh, demikian Ketua Umum SGBN M. Yahya, tidak hanya sekadar menjadikannya sebagai hari libur sehingga hanya perlu diisi dengan kegiatan hiburan. Justru pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan itu dinilai sebagai upaya pembelokan makna Hari Buruh.

Sedangkan, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dalam memeringati Hari Buruh pada 1 Mei nanti akan mengusung tuntutan salah satunya pencopotan Hanif Dhakiri sebagai Menteri Ketenagakerjaan. Pasalnya, selama Hanif menjabat sebagai menteri, kerja sama serikat buruh dan pemerintah kurang bagus. Di samping isu tersebut, menurut Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan, pihaknya juga menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan tahun 2015 karena dinilai melemahkan buruh.

Karena pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri tersebut, maka penting untuk mempelajari kembali sejarah munculnya Hari Buruh. Sebab, Hari Buruh muncul bukan datang begitu saja dari langit. Juga bukan pemberian secara sukarela dari kaum pemodal dan penguasa. Sejarah Hari Buruh muncul karena perjuangan berdarah-darah ratusan ribu – jika bukan jutaan – kaum buruh di seluruh dunia. Maka, agak sulit rasanya jika Hari Buruh dianggap sebagai Fun Day atau hari bergembira.

Kaum buruh seluruh dunia selalu memeringati 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Pada tanggal itu – sekitar 132 tahun lalu – peristiwa besar yakni demonstrasi kaum buruh Amerika Serikat (AS) menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan ini muncul lantaran kaum buruh AS dipaksa bekerja selama 12 jam hingga 19 jam per hari. Demonstrasi tersebut merupakan bentuk akumulasi bertahun-tahun akibat jam kerja panjang terhadap kaum buruh.

Peringatan Hari Buruh Internasional itu meski kerap identik dengan kaum sosialis, namun mau tidak mau harus diakui akarnya berasal dari gerakan kaum buruh Chicago, AS. Memang sebelum 1886, kaum buruh AS sudah berjuang untuk menuntut jam kerja yang lebih pendek. Tuntutan politik kaum buruh itu memang menjadi kenyataan walau isu utamanya masih berkisar tentang upah layak. Dan itu pula yang menjadi alasan utama kaum buruh untuk menggelar demonstrasi serta mogok umum.

Kendati para pengusaha dan pemerintah mengakomodir tuntutan kaum buruh, justru eksploitasi terhadap mereka kian menjadi-jadi, terutama dalam hal jam kerja. Sejak itu pula, tuntutan pengurangan jam kerja menjadi isu utama. Kaum buruh AS pada awal abad ke-19 (1807) acap bekerja dari 14 jam hingga 19 jam per hari. Memasuki periode 1820 hingga 1830-an pemogokan untuk mengurangi jam kerja menjadi 10 jam per hari acap terjadi.

Adalah Serikat Mekanik di Philadelphia yang disebut sebagai serikat buruh pertama di dunia yang berhasil memaksa kalangan pengusaha untuk menetapkan jam kerja menjadi 10 jam per hari. Itu terjadi pada 1827. Selanjutnya, tujuh tahun sejak kejadian itu, serikat buruh pabrik roti di New York menuntut hal serupa dengan pemogokan. Pasalnya, kondisi kaum buruh yang bekerja di pabrik roti disebut jauh lebih menderita dan buruk dibandingkan dengan perbudakan Mesir. Kaum buruh itu bekerja rata-rata 18 jam hingga 20 jam per hari.

Setelah beberapa peristiwa itu, gerakan kaum buruh di AS menuntut pengurangan jam kerja segera menyebar ke berbagai daerah. Isu tersebut terus berlanjut selama beberapa dekade berikutnya. Tidak lama setelah tuntutan kerja 10 jam per hari segera muncul tuntutan baru dari kaum buruh: delapan jam kerja per hari. Dorongan terhadap isu itu terus meningkat karena pada saat bersamaan pembentukan serikat buruh menjadi kebutuhan kaum buruh pada periode 1850-an. Isu ini tidak lagi khusus untuk kaum buruh di AS. Isu tersebut mulai menjadi tuntutan kaum buruh di Australia dan beberapa tempat lainnya.

Di Australia, kaum buruh bahkan menuntut delapan jam kerja, delapan jam istirahat dan delapan jam rekreasi. Kaum buruh Australia berhasil mendapatkan tuntutan itu pada 1856. Gerakan kaum buruh yang menuntut isu delapan jam kerja yang menjadi cikal bakal May Day mau tidak mau mesti kita telusuri ke gerakan umum yang dimulai AS pada 1884. Selama kurun waktu itu, jumlah pemogokan kaum buruh terus meningkat. Banyaknya pemogokan kaum buruh pada 1885 hingga 1886 menunjukkan betapa semangat mereka begitu hebat menggerakkan kaum buruh.

Memang sebelum periode itu, selama 1881 hingga 1884, jumlah pemogokan kaum buruh rata-rata mencapai 500 kali. Dan hanya melibatkan 150 ribu kaum buruh per tahun. Pemogokan meningkat menjadi 700 kali pada 1885 dengan jumlah kaum buruh yang terlibat mencapai 250 ribu orang. Sedangkan, jumlah pemogokan pada tahun berikutnya melonjak menjadi 1.572 dengan melibatkan sekitar 600 ribu orang. Meluasnya pemogokan itu bisa dilihat dari jumlah perusahaan yang terdampak akibat gerakan kaum buruh itu. Pada 1885 jumlah perusahaan yang terdampak hanya sekitar 2.467. Sementara pada 1886 jumlah perusahaan yang terdampak akibat pemogokan kaum buruh melonjak menjadi 11.562 perusahaan.

Demonstrasi besar untuk menuntut pemberlakuan delapan jam kerja pada 1886 di AS terus membesar hanya dalam waktu dua minggu. Tadinya yang hanya diikuti 250 ribu buruh melonjak menjadi 350 ribu buruh. Dan Chicago adalah pusat gerakan kaum buruh dengan melibatkan sekitar 90 ribu orang. Sedangkan di New York, jumlah kaum buruh yang mengambil peran dalam gerakan tersebut mencapai 10 ribu buruh. Kemudian, di Detroit diikuti 11 ribu buruh dan beberapa kota lainnya.

Aksi 1886
Demonstrasi itu pula mempersatukan seluruh kaum buruh di AS tanpa memandang ras baik kulit putih maupun kulit hitam. Gerakan kaum buruh it uterus menjalar ke berbagai kota meliputi Louisville, Baltimore, Maine, Texas, New Jersey dan Alabama. Jumlahnya mencapai lebih dari 500 ribu orang. Peningkatan ini tentu saja memancing reaksi kalangan pengusaha dan pejabat pemerintah setempat waktu itu. Melalui Chicago’s Commercial Club, mereka mengumpulkan dana sekitar US$ 2.000 untuk membeli senjata mesin guna menghadapi demonstrasi kaum buruh.

Aksi damai pengurangan jam kerja pada 1 Mei itu berujung dengan kerusuhan. Korban pun berjatuhan. Sekitar 180 polisi menghadang demonstrasi kaum buruh dan memerintahkan kaum buruh membubarkan diri. Sebuah bom meledak di dekat barisan polisi, akibatnya aparat pun secara membabi buta menembaki kaum buruh. Empat orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Polisi juga menangkap delapan orang aktivis buruh dengan tuduhan terlibat dalam aksi pengeboman.

Berdasarkan peristiwa itu, polisi lantas menerapkan larangan demonstrasi kaum buruh. Meski dilarang kaum buruh tentu saja tidak menyerah. Lalu, pada 1888 kembali melakukan aksi dengan tuntutan yang sama. Juga memutuskan demonstrasi pada 1 Mei 1890. Rangkaian demonstrasi terus melebar ke seluruh penjuru dunia, terutama ke Eropa. Ketika itu, gerakan buruh Eropa sedang menguat. Fenomena itu lantas menguatkan kesatuan dalam gerakan kaum buruh sedunia dalam satu perjuangan.

Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional pada 1889. Kongres tersebut dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negeri dan memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi tuntutan utama kaum buruh seluruh dunia. Kongres itu juga menyambut usulan delegasi buruh dari AS yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei 1890 sebagai jalan menuntut pengurang jam kerja menjadi delapan jam kerja per hari. Juga menjadikan 1 Mei menjadi Hari Buruh Internasional.

Dari peristiwa fenomenal itu, tuntutan kaum buruh menjadi delapan jam per hari atau 40 jam per minggu sebagai standar perburuhan internasional oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Standar itu menjadi kesepakatan bersama melalui Konvensi ILO Nomor 01 tahun 1919 dan Konvensi Nomor 47 tahun 1935. Penetapan Konvensi tersebut menjadi bentuk pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh sedunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Melalui penetapan itu pula, delapan jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja paksa dan perbudakan yang menjadi modus atas nama hubungan industrial. Perjuangan kaum buruh di AS itu yang lalu diikuti gelombang kebangkitan kaum buruh di berbagai negeri menginspirasi golongan kelas pekerja dan rakyat tertindas lainnya untuk bangkit berlawan.

Friedrich Engels karib Karl Marx yang masih sempat menyaksikan aksi 1 Mei 1890 itu sempat menuliskan pandangannya tentang gerakan kaum buruh yang sedang bergelora di berbagai negara. Kata Engels, demonstrasi pada peringatan 1 Mei perdana untuk tuntutan delapan jam kerja per hari juga harus berfungsi sebagai tekad kelas buruh untuk menghancurkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat melalui revolusi sosial. Itu akan menjadi satu-satunya jalan menuju perdamaian untuk semua orang, untuk perdamaian internasional.

Akan tetapi, ada perbedaan resolusi yang dihasilkan Kongres Buruh Internasional dalam hal menghapus kelas-kelas sosial. Resolusi itu menyebutkan menghapus kelas-kelas sosial lewat perubahan sosial. Sedangkan, Engels dan Marx merumuskan penghapusan kelas sosial mesti lewat revolusi sosial. Engels akan tetapi meyakini resolusi tersebut akan meningkat secara politik dan sesuai dengan kehendak kelas proletar. Aksi kaum buruh itu menjadi pengingat para kapitalis dan tuan tanah di semua negeri bahwa kaum proletar dari semua negeri pada dasarnya bersatu. “Andai saja Marx masih bersamaku menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri,” tulis Engels dalam pengantar Manifesto Partai Komunis pada 1890.

Melihat fakta dan sejarah tersebut masihkah Hanif Dhakiri merasa tepat menyebut May Day sebagai Fun Day? Melihat sikap Hanif itu, maka seruan “kaum buruh sedunia bersatulah” tampaknya tetap relevan. [Kristian Ginting]