Wisata : Kotatua Jakarta, Menengok Beberapa Peninggalan Kolonial di Sekitar

Sisa-sisa Kasteel Batavia juga dahulu merupakan kediaman Gubernur Jenderal, pejabat tertinggi VOC di Hindia Timur yang mengetuai Dewan Hindia.

Sebagai bekas pusat pemerintahan dan segala macam aktivitas pada masa penjajahan, Kotatua di Jakarta cukup banyak meninggalkan jejaknya.

Kastil Batavia (Kasteel van Batavia)

Kastil Batavia (bahasa Belandanya: Kasteel Batavia) adalah sebuah benteng yang terletak di muara Sungai Ciliwung di Jakarta. Kasteel Batavia merupakan pusat pemerintahan Perusahaan Hindia Timur Belanda di Asia. Saat ini hanya berupa runtuhan di Kampung Tongkol yang tak begitu jauh dari kawasan Kotatua.

Kastil ini dibangun pada masa J.P Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC di Batavia pada 12 Maret 1619. VOC saat itu membutuhkan sebuah benteng yang kuat dan aman dari serangan musuh. Karena itu, Coen merombak benteng lama yang bernama Fort Jacatra, membangun tembok baru yang lebih kokoh yang dibangun mengelilingi kota Batavia. Selain itu Coen juga membuat kanal-kanal yang bertujuan mempersulit musuh untuk masuk ke kota. Dan di sebelah selatan tembok baru itu ia membangun Kasteel Batavia.

Kasteel Batavia juga merupakan kediaman Gubernur Jenderal, pejabat tertinggi VOC di Hindia Timur yang mengetuai Dewan Hindia, komite eksekutif yang mengambil keputusan di Hindia Timur. Kasteel Batavia pun dibongkar pada tahun 1809 oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Menara Syah Bandar

Sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini masih berdiri kokoh di tempat yang sama. Sekarang beralamat di Jl. Pakin No.2, RT.11/RW.4, Penjaringan, Jakarta Utara.  Menara Syahbandar pernah menjadi bangunan penting pada masa lalu. Tingginya yang mencapai 18 meter sempat menjadikannya bangunan tertinggi di Batavia. Keberadaannya Menara Syahbandar memegang peranan penting mengenai keluar masuknya kapal di gerbang Kota Batavia pada masanya.

Awalnya Menara Syahbandar adalah bagian dari Benteng Culemborg yang dihancurkan oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808. Benteng Culemborg dihancurkan pada saat perang melawan pasukan Jayakarta. Menara pengawas itu persis dalam lingkungan benteng tersebut. Kemudian pada tahun 1838, didirikan Menara Syahbandar sebagai fungsi menara pemantau, atau dalam Bahasa Belanda disebut De Uitkijk Post, sekaligus kantor pabean (pajak ekspor-impor).

baca juga : Sisi Jakarta Dimasa Pandemi : Wisata Kota Tua Jadi Sepi

Menara Syahbandar (Uitkijk) dibangun pada 1839, sebagai menara pemantau kapal yang keluar-masuk Kota Batavia. Menara yang juga titik nol Batavia ini berfungsi pula sebagai kantor pabean serta kantor pengukuran dan penimbangan. Benteng dibongkar oleh Daendels pada 1809 bersama dinding kota lainnya yang masih tersisa.

Pelabuhan Sunda Kelapa

Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan persinggahan pelayaran antar bangsa yang dibangun tahun 1527 semasa pemerintahan Portugis. Pelabuhan ini disinggahi kapal-kapal antarpulau dan pelayaran rakyat dengan komoditas utama kayu, bahan kebutuhan pokok, barang kelontong, dan bahan bangunan.

Pelabuhan Sunda Kelapa mulai dikenal pada abad ke-12 sebagai pelabuhan yang disinggahi oleh kapal-kapal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan dan Timur Tengah yang membawa porselen, kopi, kain sutra, dan sebagainya untuk ditukar dengan rempah-rempah dan hasil perkebunan lainnya. Fatahillah kemudian mengganti nama Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Pelabuhan Jayakarta yang berarti kemenangan yang gilang-gemilang.

Di bawah kekuasaan Belanda, Pelabuhan Sunda Kelapa kembali berganti nama menjadi Pelabuhan Batavia. Namun, seiring berjalannya waktu, Pelabuhan Sunda Kelapa yang sekarang ada di Jl. Raya Maritim No. 8, Sunda Kelapa, Jakarta Utara, mulai tergantikan dengan Pelabuhan Tanjung Priok yang dinilai lebih strategis.

Museum Bahari

Sejarah Museum Bahari berawal dari gudang rempah yang dibangun pada tahun 1652. Untuk memenuhi kebutuhan penyimpanan rempah-rempah, teh, kopi, dan kina dari kebun-kebun di Jawa Barat, VOC membangun Gudang Timur (Oostzijdse Pakhuizen) di sisi timur Ciliwung, Gudang Barat (Westzijdse Pakhuizen) di sisi barat Ciliwung, dan beberapa gudang kayu.

Gudang Barat dibangun secara bertahap pada 1652-1759. Gudang Barat inilah yang pada 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari, yang menyimpan tinggalan sejarah-budaya kebaharian Nusantara, spesimen kelautan Indonesia, kolonisasi Belanda, dan pengaruh budayanya di Indonesia.

Gudang rempah diresmikan menjadi Museum Bahari pada tanggal 7 juli 1977. Di dalam museum ini terdapat banyak koleksi benda-benda bersejarah kelautan. Di museum ini dapat dilihat benda-benda peninggalan VOC, perahu-perahu, baik asli maupun hanya berupa replika, alat navigasi pelayaran, foto-foto dan juga lukisan.

Museum Bahari terletak di jalan Pasar Ikan No.1, RT.11/RW.4, Penjaringan, Jakarta Utara.

Masjid Luar Batang

Masjid Jami Keramat Luar Batang dibangun pada abad ke-18 oleh Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, yang kemudian menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah pelabuhan Sunda Kelapa terletak di Jl. Luar Batang V No.10, RT.6/RW.3, Penjaringan, Jakarta Utara.,

Habib Husein merupakan seorang Arab Hadramaut yang hijrah ke tanah Jawa melalui Pelabuhan Sunda Kelapa pada 1736. Ketika datang di Batavia atau tepatnya di Pelabuhan Sunda Kelapa, Habib Husein diberi sebidang tanah oleh warga setempat. Tanah tersebut kemudian dibangun mushola yang kemudian menjadi tempat tinggalnya. Lama kelamaan, surau tersebut yang juga menjadi makam Habib Husein dibangun menjadi Masjid Luar Batang.

baca juga : Ramai-Ramai Berwisata ke Sulawesi Utara

Pada zaman penjajahan Belanda, bangunan masjid Keramat Luar Batang tampak seperti gudang. Untuk menandai bahwa bangunan tersebut merupakan tempat ibadah, di halaman masjid dibangun bangunan seperti mercusuar dengan puncak menara serupa dengan kubah.

Nama masjid ini diberikan sesuai dengan julukan Habib Husein, yaitu Habib Luar Batang. Ia dijuluki demikian karena konon dahulu ketika Habib Husein meninggal dan hendak dikuburkan di sekitar Tanah Abang, tiba-tiba jenazahnya sudah tidak ada di dalam “kurung batang”. Hal tersebut berlangsung sampai tiga kali. Jadi maksudnya adalah keluar dari “kurung batang”

Gedung Galangan VOC

Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam bukunya, Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000) menulis, bangunan tersebut dibangun tahun 1628 sebagai kantor dagang VOC. Kemudian dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

Lama kelamaan gudang ini menjadi galangan kapal bagi kapal-kapal kecil yang tak tertampung di Pulau Onrust. Awalnya Galangan kapal VOC merupakan tempat untuk memperbaiki kapal-kapal besar yang berbulan-bulan lamanya berlayar tetapi juga untuk membuat kapal-kapal kecil. Berbagai golongan bekerja di galangan ini seperti pegawai administrasi dan pembukuan, serta pembuat peta, kompas dan jam pasir.

Mereka bekerja dan sebagian tinggal di gedung utama bersama dengan pejabat tertinggi di kompleks itu, yaklioni equipage meester atau commandeur,. Lalu ada tukang kayu yang khusus membuat dan memperbaiki kapal serta tukang-tukang lainnya, termasuk terdapat diantaranya para budak belian.

Dari “bengkel” perbaikan kapal dan kompleks perkantoran penting, belakangan VOC Galangan sempat berfungsi sebagai kafe dan restoran, tak jarang tamannya yang luas dan hijau, digunakan sebagai lokasi resepsi, baik untuk pesta pernikahan, ulang tahun, ataupun acara reuni. Saat ini bangunan yang ada di jalan Kakap, Penjaringan, Jakarta Utara ini digunakan sebagai sekolah musik Hua dan komunitas kaligrafi yang jadi penyewa tetap.

Jembatan Kota Intan

Sebelum bernama Jembatan Kota Intan, namanya telah berganti-ganti menurut zamannya. Awalnya pada tahun 1628 disebut Engelse Burg yang berarti “Jembatan Inggris”. Pada tahun 1628-1629, jembatan ini rusak karena penyerangan Banten dan Mataram. Kemudian dibangun kembali oleh Belanda pada tahun 1630 dan dikenal dengan nama “Jembatan Pasar Ayam” atau Hoenderpasarburg. Jembatan pasar ayam atau jembatan gantung ini juga dikenal sebagai groote boom (batang besar). Namanya diambil dari Pasar Ayam Besar yang ada di dekatnya, yakni di ujung utara Kali Besar Barat.

Pada tahun 1655, jembatan ini diperbaiki setelah jembatan lama yang terbuat dari kayu hancur pada waktu banjir, dan selanjutnya diberi nama Het Middelpunt Burg atau “Jembatan Pusat”. Pada April 1938, jembatan ini menjadi jembatan gantung yang dapat diangkat untuk lalu lintas perahu dan untuk mencegah terkena banjir yang sering terjadi. Bentuk dan gayanya tidak berubah hanya namanya berubah menjadi “Juliana Bernhard”.

Jembatan Kota Intan memiliki sejarah yang kelam pada masa pendudukan VOC dahulu. Jembatan ini  menjadi saksi pembantaian ribuan orang Tionghoa oleh pejabat VOC, dan kemudian sungai yang ada di bawah jembatan ini bernama Kali Bangke atau Angke. Konon katanya akibat pembantaian tersebut, air sungai berubah menjadi warna merah karena darah.

Pada tahun 1937, jembatan ini dipugar oleh Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) pemerintah kolonial Belanda. Bentuk dan gayanya tidak berubah hanya namanya berubah menjadi Ophaalbrug Juliana. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, nama jembatan tersebut berubah menjadi “Jembatan Kota Intan” sesuai dengan nama lokasi setempat karena letaknya dekat dengan salah satu Bastion Kastil Batavia bernama Bastion Diamant (Intan) yaitu di Jl. Nelayan Tim. No.8, Pinangsia, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat. [S21]