Mao Zedong dan Deng Xiaoping [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Presiden Xi Jinping mengklaim “sosialisme berkepribadian” Tiongkok sebagai sistem yang berlaku sekarang di negerinya. Padahal, setelah Mao Zedong meninggal pada 1976 dan klik revisionis berhasil melakukan kudeta dengan menangkap “Gang of Four”, ekonomi terbuka yang diterapkan Deng Xiaoping serta reformasi-reformasinya telah merestorasi kapitalisme.

Salah satu ucapan Deng yang terkenal ketika itu “Tidak penting kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus”. Artinya, apapun sistem ekonomi yang diterapkan, sekalipun itu sistem kapitalisme, yang penting pertumbuhan ekonomi Tiongkok meningkat pesat. Walau kebijakan tersebut berdampak luas terhadap rakyatnya, seperti kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar di masyarakat Tiongkok.

Klik revisionis pimpinan Deng telah memenangi perjuangan antara garis Marxis-Leninis yang diwakili Mao dengan garis revisionis modern pimpinan Liu shao-qi dan Deng. Untuk mengetahui tentang perjuangan garis proletar Mao dengan garis oportunis “kiri” maupun kanan, kita perlu kembali mempelajari sejarah berdirinya Partai Komunis Tiongkok hingga perkembangannya hari ini.

Pada mulanya, PKT berdiri pada 1921 di tengah-tengah lautan borjuis kecil yang merupakan kelas mayoritas dalam masyarakat setengah jajahan setengah feodal. Sepanjang perjalanan yang berliku mengabdi usaha pembebasan nasional, perjuangan antara garis Marxis-Leninis dan garis oportunis “kiri” maupun kanan membawa gerakan rakyat maju ketika dalam partai berdominasi garis yang benar. Ketika garis oportunis kiri atau kanan berdominasi dalam partai, gerakan mengalami kemunduran dan kegagalan yang sering kali minta korban dan pengorbanan partai dan rakyat yang luar biasa besarnya.

Perjuangan dua garis tak dapat dihindarkan dan akan selalu terjadi selama partai hidup dalam masyarakat berkelas. Karena setiap anggota dan kader partai selalu membawa masuk ideologi borjuis kecilnya. Itu sebabnya, belajar Marxisme-Leninisme menjadi kebutuhan dan keharusan bagi setiap anggota dan kader partai. Dalam proses menerapkan teori revolusioner dengan kreatif dalam praktik perjuangan kelas itulah mereka berusaha mengubah dengan sadar pandangan dunia borjuis kecilnya menjadi pandangan dunia proletar. Dalam bahasa Tionghoa proses itu dikenal dengan nama gai cao si xiang.

Tidak semua partai komunis di dunia mengerti dan sadar akan adanya perjuangan dua garis dalam partainya. Perjuangan dua garis dalam partai tidak menghalangi persatuan. Persatuan yang dicapai melalui perjuangan pikiran dan ide yang tepat melawan yang salah justru akan memperkokoh partai. Untuk itu diperlukan menjalankan dengan baik langgam kritik-otokritik dan menjaga keseimbangan antara sentralisme dan demokrasi.

Sudah tentu selalu akan ada anggota dan kader yang tidak jujur dalam melakukan kritik-otokritik. Deng Xiaoping, misalnya, yang sudah dipecat dari partai, tapi dengan otokritiknya akhirnya diterima kembali. Itulah kesalahan terbesar Mao: memercayai otokritik Deng. Ketika Mao meninggal, Deng meninggalkan kedoknya dan melaksanakan garis revisionis yang sejak lama dianutnya untuk merestorasi kapitalisme.

Setiap gerakan yang ingin memperjuangkan pembebasan nasional dan mendirikan pe-merintahan rakyat yang berdaulat harus mengetahui dengan jelas siapa musuh dan siapa kawan. Salah satu sumber kegagalan pemberontakan dan gerakan revolusioner di masa lalu di Tiongkok, menurut Mao, adalah tidak tahu kekuatan mana saja yang harus dipersatukan untuk bersama-sama memukul dan menghancurkan musuh pokok. Satu-satunya alat untuk menentukan siapa lawan dan siapa sekutu adalah analisa kelas dalam masyarakat. Asal kelas seseorang tidak menentukan, tapi sangat memengaruhi sikapnya terhadap gerakan politik dan sosial.

Analisa Kelas
Analisa kelas yang tepat menentukan watak atau sifat pergerakan dan revolusi di negeri itu. Di bawah pimpinan Partai Komunis, rakyat Tiongkok melancarkan revolusi borjuis demokratis, sebagai tahap transisi menuju tahap pembangunan sosialis. Persekutuan antara kaum komunis dengan kaum nasionalis Kuomintang (KMT) pimpinan Sun Yatsen adalah salah satu penerapan dari garis revolusi borjuis demokratis. Sun Yatsen mewakili kelas borjuasi nasional. Tanpa kerja sama dengan kaum komunis, ia tak akan bisa memimpin dan melancarkan perjuangan yang konsekuen melawan kelas tuan tanah besar, kelas borjuasi komprador dan kapitalisme birokrat.

Kaum komunis dan nasionalis sukses melancarkan perang ekspedisi melawan kekuasaan raja-raja perang di Tiongkok Utara. Namun, ketika Sun Yatsen meninggal pada 1925, Chiang Kai Shek berhasil mengalahkan tokoh-tokoh yang menyainginya dan mengambil alih kepemimpinan KMT. Chiang Kai Shek mewakili kepentingan kaum borjuasi komprador di perkotaan dan tuan tanah jahat di pedesaan. Pada 1927, Chiang Kai Shek mengkhianati persekutuan dengan kaum komunis dan melakukan pembunuhan serta penangkapan besar-besaran terhadap kaum komunis terutama di kota-kota besar seperti Shanghai.

PKT kehilangan ribuan anggota dan kadernya. Untung, di beberapa daerah pedesaan di Provinsi Hunan, sudah berdiri kekuasaan rakyat dimana jutaan kaum tani yang sadar dan terorganisasi di bawah pimpinan PKT dan Mao melancarkan revolusi agraria melawan kekuasaan tuan tanah jahat. Daerah basis di pedesaan menjadi tempat berlindung mereka yang berhasil menyelamatkan diri. Pengalaman ini menunjukkan PKT harus mempertahankan kepemimpinan dalam revolusi dan waspada akan watak ganda kaum borjuasi nasional.

Ketika itu, pimpinan PKT ada di tangan Chen Duxiu yang tidak percaya pada peran kaum tani dan menolak mendukung gerakan tani yang sedang berkembang di pedesaan. Kegagalan revolusi 1927 membuktikan kesalahan garis oportunis kanan Chen Duxiu dan membenarkan pendapat Mao yang bersandar kepada kaum tani dan menitik beratkan pekerjaan partai di pedesaan. Setelah kegagalan itu, Chen Duxiu bukannya melakukan otokritik, tapi menjadi pengikut Trotsky. Tidak aneh, mengingat sikap Trotsky terhadap peran kaum tani dalam revolusi di Rusia.

Kepemimpinan PKT beralih ke Li Lisan. Di bawah kepemimpinannya, keluar resolusi “Gelombang pasang revolusioner baru dan mencapai kemenangan pertama di satu provinsi atau beberapa provinsi”. Resolusi itu menganjurkan agar dilakukan persiapan untuk segera melancarkan pemberontakan bersenjata di seluruh negeri. Ia menyusun sebuah rencana pemberontakan di kota-kota utama dan mengumpulkan semua kekuatan Tentara Merah untuk menyerang kota-kota itu. Kesalahan “kiri” itu dikenal dengan nama “garis Li Lisan”.

PKT masih harus melalui tiga pimpinan lagi sebelum akhirnya pada Konferensi Tsunyi, 1935 mengakui kepemimpinan Mao yang berusaha menerapkan Marxisme-Leninisme sesuai dengan kondisi konkret Tiongkok. Praktik telah membuktikan ketepatan strategi dan taktik yang diajukan dan diperjuangkan Mao. Namun tidak berarti perjuangan internal antara dua garis selesai dan juga tidak berarti Mao selalu mendapat dukungan mayoritas anggota pimpinan partai.

Selama perang melawan agresi Jepang, Wang Ming, anggota Politbiro, menentang pendapat Mao dalam menerapkan politik front persatuan dengan KMT. Wang Ming ingin supaya PKT melebur kekuatannya menjadi bagian dari kekuatan KMT sehingga dapat melawan Jepang dalam satu rencana operasi di bawah satu komando, satu disiplin, dengan persenjataan dan perlengkapan yang disatukan. Sedangkan Mao berpendapat, meninggalkan kebebasan dan kemandirian kekuatan bersenjata PKT berarti menyerahkan basis kekuasaannya. Baik Wang maupun Mao tidak berhasil mendapat dukungan mayoritas. Mao terpaksa berkompromi dan menerima Wang sebagai pimpinan delegasi PKT dalam perundingan dengan KMT di Wuhan.

Kemudian Mao terpaksa menyetujui Wang yang menunjuk dirinya sendiri sebagai Sekretaris Biro Yangtse. Dengan begitu Wang berhak mengontrol organisasi-organisasi partai dan Tentara Baru Keempat di Tiongkok tengah-selatan. Ini menunjukkan batas-batas dari kekuasaan Mao. Ia tidak dapat menjalankan kebijakan yang dianggapnya tepat tanpa persetujuan mayoritas anggota Politbiro.

Wang Ming selalu berusaha menyabot kebijakan Mao dan menjalankan kebijakannya sendiri tanpa memberitahu Mao, sebagai Ketua PKT, yang ketika itu berada di Yenan. Wang Ming memuat tulisannya sendiri di Xinhua Daily, koran penyambung lidah PKT di daerah yang dikuasai KMT. Tanpa persetujuan Mao, Wang membuat judul tulisannya Mr. Mao Ze-dong’s Conversation with New China Reporter Qi Guang.

Komite Sentral mengirim tulisan Mao On Protracted War ke Biro Yangtse dengan harapan dapat dimuat di Xinhua Daily. Dengan dalih terlalu panjang, Wang menolak. Masalahnya adalah ide “Perang Tahan Lama” Mao bertentangan dengan ide Wang yang mengharapkan kemenangan cepat dalam perang melawan Jepang.

Perlawanan Wang Ming terhadap garis Mao baru berakhir pada 1938, ketika Wuhan yang berada di bawah kontrol KMT jatuh. Ini membuktikan kebenaran ide perang tahan lama Mao. Ditambah lagi Dimitrov, Sekjen Komintern ketika itu, mengeluarkan instruksi yang menyatakan garis politik PKT tepat; perbedaan pendapat internal diselesaikan di bawah pimpinan Mao; Wang harus mengakui bahwa Mao adalah pemimpin yang lahir dari perjuangan konkret revolusi Tiongkok.

Perjuangan Dua Garis
Setelah Jepang dan kemudian KMT dikalahkan dan diusir dari daratan Tiongkok, lahirlah Republik Rakyat Tiongkok, pada September 1949. Akhirnya rakyat Tiongkok berhasil mendirikan sebuah republik dan mengatasi perpecahan, penjajahan dan penghinaan kolonial. Tugas membangun sebuah negeri dan masyarakat baru terbentang di hadapan rakyat dan partai yang memimpinnya. Tapi, jangan dikira tugas pembangunan ini lebih mudah dan perjuangan internal antara dua garis selesai.

Dalam landreform muncul dua kubu yang memperjuangkan dua perspektif pembangunan yang bertentangan. Dalam bukunya Fanshen, William Hinton menulis, kubu yang dipimpin Mao memihak pada bentuk kolektivisasi maksimum yang konsisten dengan tujuan produksi dan pemberian pelayanan sosial yang terus meningkat kepada kaum tani. Dalam proses ini akan teratasi secara bertahap dan permanen semua pembagian kelas dalam masyarakat. Tujuan akhir sistem sosialis adalah melenyapkan kelas dalam masyarakat dan penghisapan manusia oleh manusia.

Kubu pimpinan Liu Shaoqi dan kemudian Deng Xiaoping memandang tiap petani dengan sebidang tanah pribadinya sebagai sarana untuk menciptakan ekonomi pasar desa yang justru akan mempertahankan dan mengembangkan pembagian kelas. Konflik antara dua kubu ini mendasari setiap tahap dan peristiwa besar dalam reformasi tanah. Kecenderungan sifat borjuis kecil kaum tani yang memiliki tanah adalah terus mengembangkan produksi dan meluaskan kepemilikannya guna mencapai kemakmuran keluarganya.

Pengembangan watak borjuis kecil melalui ekonomi pasar desa jelas bertentangan dengan tujuan membangun masyarakat sosialis dimana dipupuk nilai-nilai solidaritas dan kehidupan kolektif. Mao karena itu melancarkan pendidikan sosialis di kalangan kaum tani melalui gerakan yang bertahap. Mula-mula dengan pembentukan grup saling bantu, kemudian koperasi sampai akhirnya komune rakyat. Secara bertahap kaum tani memupuk perasaan kolektif dan setiakawan guna mengatasi individualisme melalui partisipasi sukarela dalam gerakan pembentukan koperasi dan komune rakyat. Proses pembentukan itu sendiri merupakan kancah perjuangan dua garis.

Dalam laporannya di konferensi sekretaris komite partai tingkat provinsi, kabupaten dan daerah otonomi pada Juli 1955, Mao mengkritik mereka, yang “terhuyung-huyung bagaikan wanita yang kakinya terikat” dan mengeluh “kalian terlalu cepat, sangat cepat sekali”. Ketika itu, gerakan massa sosialis sedang berkembang pesat di pedesaan Tiongkok. Mao menganggap keluh kesah, kegelisahan dan tabu yang tak terhitung banyaknya itu tidak beralasan.

Tahun berikutnya, dalam pidato di sidang pleno kedua Komite Sentral PKT VIII, Mao langsung mengkritik Deng Xiaoping yang ada di belakang rencana pembangunan lapangan terbang di Provinsi Hunan tanpa konsultasi dengan penduduk yang menjadi korban penggusuran. Kaum tani langsung berdemo menentang pembangunan lapangan terbang tersebut dan menolak pindah. Mao membenarkan dan mendukung perlawanan kaum tani. Mao berkata kepada Deng Xiaoping, “Anda juga punya sarang, jika saya hancurkan, Anda juga akan bikin keributan, bukan?”

Pidato dan tulisan Mao banyak mencerminkan adanya perjuangan dua garis dalam PKT. Mao harus berhadapan dengan mereka yang menentang pendapatnya. Kebijakan yang sudah disetujui mayoritas pun bisa diboikot dan diselewengkan oleh anggota pimpinan PKT lainnya. Itulah perjuangan dua garis dalam partai yang merupakan pencerminan perjuangan kelas dalam masyarakat.

Perjuangan dua garis dalam Partai terus berlangsung sampai dilancarkannya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP). Tesis meneruskan revolusi di bawah kondisi kediktaturan proletariat dalam bentuk RBKP merupakan sumbangan besar Mao kepada Marxisme-Leninisme. Tesis itu berdasarkan pada kenyataan pembangunan sosialisme adalah sebuah periode sejarah yang panjang dimana masih terdapat kontradiksi kelas dan perjuangan kelas antara kekuatan revolusioner yang ingin terus mengkonsolidasi sosialisme melawan kekuatan revisionis pengambil jalan kapitalis.

Runtuhnya Uni Soviet dan restorasi kapitalis di Tiongkok telah membuktikan musuh sosialisme terdapat di dalam Partai Komunis itu sendiri. Juga membuktikan mereka yang menjadi anggota Partai Komunis tidak otomatis berideologi komunis, tak peduli berapa lamanya mereka telah menjadi anggota partai. Sosialisme lahir dari sebuah masyarakat berkelas. Tiap manusia membawa ideologi, kebiasaan, mentalitas dan kebudayaan yang diwarisinya dari masyarakat lama.

Begitu juga anggota partai. Oleh karena itu sangat logis timbulnya tokoh-tokoh revisionis Khrushchov, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang mewakili ideologi borjuis dan kapitalisme. Begitu mereka berhasil merebut kekuasaan, watak kelas partai berubah. Pembongkaran struktur ekonomi, politik dan sosial sosialis dengan sendirinya mengakibatkan berubahnya kediktaturan proletariat menjadi kediktaturan borjuis yang melemparkan kaum buruh kembali ke pengisapan dan penindasan. [Tatiana Lukman]