Koran Sulindo – Memasuki pekan kedua pasca-ditangkapnya buron perkara hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, upaya mengusut siapa beking/kaki tangan “Joker” selama masuk-keluar Indonesia masih terus dilakukan. Kejaksaan Agung (Kejagung) yang awalnya lamban mulai menindak tegas dengan menangkap dan menahan jaksa “cantik”, Pinangki Sirna Malasari pada 11 Agustus lalu.
Tindakan lamban Korps Adhyaksa mentersangkakan Pinangki dalam perkara suap sebesar US$ 500 ribu atau setara Rp 7 miliar dari Djoko Tjandra belum cukup mematahkan tudingan adanya upaya melokalisir kasus Pinangki. Sebab, Koordinator Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (Maki) Boyamin Saiman menyetor bukti percakapan petinggi Kejagung dengan Joker pada 29 Juli 2020, atau saat Djoko Tjandra masih berstatus buron.
Pertanyaan paling mendasar dari peristiwa tersebut: apakah mungkin Pinangki bermain sendiri dalam konspirasi besar melindungi buron Djoko Tjandra? Kemudian mengapa Kejagung melakukan pemeriksaan internal secara lamban. Tidak seagresif Polri yang dalam hitungan hari bisa menindak tiga jenderal-nya.
Peran Pinangki dalam melindungi Djoko Tjandra tidak bisa dianggap enteng. Ia terindikasi bepergian menuju Singapura-Malaysia menemui Djoko Tjandra. Lantaran kunjungan yang dilakukan tanpa izin pimpinan, Pinangki dikenakan sanksi etik, dicopot dari jabatan Kasubag Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin).
Kepergian Pinangki menemui Djoko Tjandra bahkan sudah terindikasi menerima gratifikasi. Artinya sanksi etik pencopotan jabatan terhadap Pinangki, tanpa ditindaklanjuti dengan pemidanaan, seperti guyonan bagi publik.
Dugaan suap yang diterima Pinangki sudah tersiar sejak Polri berhasil menangkap dan memulangkan Djoko Tjandra dari Malaysia. Namun Jaksa Agung ST Burhanuddin lebih memilih untuk sebatas mengenakan sanksi disiplin (etik) kepada Pinangki.
Sebelum melakukan penindakan tegas, Burhanuddin malah mengeluarkan “beleid” kontroversial yakni upaya hukum yang dilakukan terhadap jaksa harus dilakukan atas izin Jaksa Agung. Kontan kebijakan tersebut dikaitkan publik untuk melindungi Pinangki.
Belakangan pedoman Jaksa Agung itu dicabut dan dalam hitungan jam setelah Pinangki ditangkap lantas ditahan. Maka sangatlah layak bila publik menyoroti kinerja Burhanuddin. Artinya, penanganan perkara berkaitan Djoko Tjandra di Kejagung harus dijadikan momentum untuk bersih-bersih Korps Adhyaksa.
Kejagung bisa mengikuti langkah Polri yang mampu melakukan pemeriksaan “jeruk makan jeruk” secara proper. Tidak ada rasa “ewuh pakewuh” dari Polri, bahkan suami Pinangki, AKBP Napitupulu Yogi Yusuf, dimutasi dari jabatannya sebagai Kasubbagopsnal Dittipideksus Bareskrim Polri. Maka menjadi wajar pula, sikap berbeda yang ditunjukkan Kejagung dari Polri malah memunculkan asumsi bahwa Pinangki dilindungi.
Padahal Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku sakit hati saat mengetahui Djoko Tjandra telah tiga bulan di Indonesia sebelum diketahui mendaftarkan PK. Pengakuan itu disampaikan Jaksa Agung saat rapat kerja dengan Komisi III DPR pada Juli 2020 yang lalu. Namun ketika diketahui oknumnya turut bermain, Burhanuddin seakan loyo.
Berkaca pada situasi tersebut, jangan salahkan publik yang memilih untuk mengandalkan Polri sebagai institusi tunggal mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam melindungi Djoko Tjandra. Bila perlu turut mentersangkakan Pinangki, seperti Polri mentersangkakan Jaksa Cirus terkait pekara pemalsuan surat rencana penuntutan (rentut) Gayus Tambunan.
Koordinator Maki Boyamin Saiman belum mau membuka data siapa petinggi Kejagung yang sempat menghubungi Joker pada periode Juli 2020. Ia menyerahkan Komisi Kejaksaan (Komjak) untuk melakukan pemeriksaan atas laporan tersebut.
Uang Pinangki
Menurutnya, tidaklah penting apa yang dibicarakan petinggi Kejagung dengan Djoko Tjandra. Sebab yang terpenting adalah dari siapa petinggi tersebut menerima kontak khusus Joker dan apa kaitannya dengan uang yang diterima Pinangki.
Jawaban dari pertanyaan di atas dapat menjawab siapa beking utama Joker sekaligus memastikan perkara Pinangki tidak dilokalisir. Maka untuk menjawabnya dibutuhkan komitmen dari Polri maupun Kejagung untuk mengungkap kasus ini seterang-terangnya.
Maki turut menyetor empat nama saksi yang layak diperiksa Bareskrim Polri terkait kasus kasus surat jalan Djoko Tjandra. Empat nama tersebut antara lain terdiri dari pihak swasta dan satu nama berasal dari pihak penegak hukum.
Belakangan, Polri membuka peluang bakal menetapkan tersangka baru dalam perkara surat jalan Joker, setelah sebelumnya menersangkakan Brigjen Prasetijo Utomo dan advokat Anita Kolopaking.
Menjadi menarik pula menyoroti kinerja Komjak untuk mengurai sengkarut konspirasi di balik memuluskan langkah Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia. Sebab untuk mendapatkan hasil pemeriksaan internal Kejagung terhadap Pinangki saja Komjak tidak bertaji. Apalagi untuk melakukan pemeriksaan pejabat Kejagung.
Langkah Polri yang mampu mendeteksi oknum di internalnya hingga menangkap dan memulangkan Djoko Tjandra dari Malaysia patut diapresiasi, namun patut pula didorong untuk mengungkap adanya praktik korupsi dalam upaya melindungi Djoko Tjandra.
Sudah bukan rahasia umum bahwa adanya peran institusi lain di luar Polri terkait keluar-masuknya Joker di Indonesia hingga mampu mengurus peninjauan kembali (PK) yang hasilnya dinyatakan tidak bisa diterima Pengadilan Negeri Jaksel lantaran tidak memenuhi syarat.
Sikap pasif berkaitan dengan Djoko Tjandra bukan hanya ditunjukkan Kejagung. Mahkamah Agung (MA) bahkan tidak berinisiatif melakukan pemeriksaan terhadap PN Jaksel yang dengan mudahnya memproses PK Djoko Tjandra.
Publik patut memantau kinerja Polri dalam melakukan pengusutan agar tuntas, karena institusi lain yang bisa berkontribusi, sejauh ini lebih pantas untuk menjadi penonton.
Kita patut berharap kejadian memilukan ini bisa dijadikan pembelajaran bagi aparat penegak hukum ke depan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Namun publik juga butuh komitmen dari pemimpin lembaga penegak hukum untuk mengawasi kinerja bawahannya. [Erwin C. Sihombing]