Membaca Gus Dur dengan Kacamata ‘Banteng’

Koran Sulindo – Mengenali Abdurrahman Wahid adalah bagaimana mengenali seorang manusia dengan banyak segi. Selain akrab dengan orang-orang segolonganannya, ia karib bagi orang-orang yang bahkan berseberangan.

Gus Dur bahkan ‘bersahabat’ baik dengan Soeharto, orang yang disebutnya sendiri pernah berusaha membunuhnya.

Semasa hidup hingga hayatnya berakhir ia adalah panutan yang tak tergantikan.

Catatan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng menyebut tak kurang 1,5 juta orang setiap tahun berziarah ke makam Gus Dur. Mereka yang datang tak melulu nahdliyin namun berasal dari beragam latar belakang agama dan budaya.

Bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur derajatnya bahkan dianggap sama dengan para wali yang ngerti sadurunge winarah.

Dari Gus Dur mereka belajar dari hal-hal sederhana namun penuh makna. Juga termasuk ungkapan ‘gitu aja kok repot’ yang seringkali disampaikan Gus Dur yang ternyata tak sesederhana kedengarannya.

Ungkapan itu adalah tingkat kepasrahan tertinggi kepada sang pencipta yang berasal dari ilmu fikih Yasir Wa La Tuasir yang artinya “permudah dan jangan dipersulit.”

Bagi Gus Dur ungkapan itu tak berhenti hanya sebagai pemanis bibir, ia dengan gampang mengulurkan tangan bagi mereka yang dililit kesulitan dan datang kepadanya tanpa bertanya latar belakang, suku, ras, agama, dan golongannya.

Dalam sebuah diskusi mengenang wafatnya Gus Dur, Bondan Gunawan menyebut ‘gitu aja kok repot’ sejatinya merupakan tafsir terhadap salah satu ayat Al-Quran.

Menurut Bondan, Gus Dur mengingatkan hakikat Surat Yasin: 82, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki dan dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan. Kun fayakun.

Menurut Gus Dur, setiap muslim harus percaya bahwa setiap permasalahan sudah menyediakan jalan keluar. “Gitu saja kok repot, menunjukkan dalam Islam tak pernah sesuatu yang dibuat sulit karena semua pasti diberi jalan keluar.”

Berkarib lama dengan Gus Dur, suatu ketika Bondan ‘digelitiki’ teman-temannya untuk menuliskan pengalamannya tersebut. Meski ide itu disambut antusias, pengerjaannya terus saja molor berkali-kali hingga akhirnya terbit dengan judul Hari-Hari Terakhir Bersama Gus Dur.

Dalam buku itu meski sepotong-sepotong, Bondan bercerita tentang Gus Dur semenjak perkenalannya di tahun-tahun 80-an.

Lahir dari keluarga priyayi abangan latar belakang nasionalis dan pro-Soekarno, Bondan jelas jauh bertolak belakang dengan Gus Dur yang berasal dari trah murni santri.

Bondan adalah adik seayah Katamso, pahlawan revolusi dari Yogyakarta yang dibunuh gerakan tentara yang menyebut Dewan Revolusi.

Ayah mereka adalah seorang pensiunan perwira pertama dengan pangkat ajun komisaris polisi di Madiun.

Menurut Bondan, di awal perkenalannya Gus Dur dianggap sebagai sosok muda NU yang menarik dan seperti kehabisan waktu karena saking banyaknya agenda.

Dekat dengan militer

Pertemuan secara pribadi mereka baru terlaksana ketika Gus Dur datang ke kantor Bondan pada pertengahan tahun 1988.

Gus Dur menemui Bondan karena mengangap ia dekat dengan Rudini kala itu baru diangkat Soeharto menjadi Menteri Dalam Negeri. Gus Dur berkepentingan dengan Rudini karena tengah mempersiapkan Muktamar NU di Krapyak.

Rumor yang sampai di telinga Gus Dur, pemerintah tak suka dan berusaha agar tak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.

Semenjak itu keduanya langsung bersahabat pemikiran dan keprihatinan bersama, termasuk ketika Gus Dur menggagas Forum Demokrasi atau Fordem di awal tahun 90-an.

Forum diskusi itu juga yang membuat Muktamar NU berikutnya di Cipasung menjadi pertarungan sengit antara orang-orang di lingkaran Soeharto dengan NU.

Menulis pada kata pengantar, F Rahardi menyebut tak pernah sepanjang sejarahnya Muktamar NU dijaga begitu ketat oleh aparat.

Tidak hanya militer, intel juga menyebar di seantero lokasi muktamar sementara kendaraan lapis baja juga ikut mengelilingi arena. Beberapa intel bahkan diketahui menyamar dengan mengenakan seragam Banser.

Menurut Rahardi, semula Gus Dur luluh dan bersedia untuk tidak maju sebagai calon Ketua Umum NU. Namun kerelaan itu berubah di bulan Juli 1994, lima bulan menjelang Muktamar ketika Gus Dur, istri dan ibunya di Bandung dan berniat kembali ke Ciganjur.

Gus Dur yang tertidur dan tak bisa dibangunkan, ditinggal istri dan ibunya yang pulang terlebih dahulu. Begitu masuk Tol Jagorawi, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Gus Dur kehilangan ibunya yang wafat di RS Cipto Manungkusumo, sementara istrinya cacat hingga sekarang.

Hasil olah tempat kejadian, polisi menemukan sebuah balok kayu dan memicu rumor bahwa penembak jitu menargetkan Gus Dur karena mengira ia berada di mobil itu.

Diberlakukan keras, Gus Dur langsung balik gagang dan melawan dengan tak kalah kerasnya.

Rahardi menyebut Bondan Gunawan, Marsilam Simanjuntak hingga Mohammad Sobari dan beberapa nama lainnya berjibaku ‘mengamankan’ Gus Dur supaya tak tergusur dari Muktamar.

Tak berhenti selama Muktamar, keanehan mencolok terjadi saat penutupan yang dihadiri Soeharto dan istrinya. Meski terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur menghilang dan yang muncul hanya Rais Aam Syuriah, Kiai Ilyas. Sayang kisah tersebut absen dalam buku ini.

Kedekatan persahabatan antara Bondan dan Gus Dur itu terus berlanjut bahkan ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4 dengan ‘modal dengkul’-nya Amien Rais. Bondan sebentar sempat menjadi Sekretaris Negara.

Bertemu GAM

Pada waktu sesingkat itu beberapa gebrakan sempat dibuat Bondan atas restu Gus Dur, termasuk ketika menemui Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka Teungku Abdullah Syafei. Ia adalah pejabat pemerintah pusat pertama yang datang ke markas GAM dan bertemu petingginya.

Pada pertemuan itu Bondan juga menyampaikan uang sebesar Rp 5.000.000 yang dibawanya sebagai sebagai kurban pada Hari Raya Idhul Adha.

“Sapi dari siapa,” tanya Panglima AGAM itu. “Dari Gus Dur secara pribadi dan anak-anaknya,”  jawab Bondan.

“Gus Dur itu saudara saya seiman,” Teungku Abdullah Syafei membalas spontan. “Sampaikan terima kasih saya.”

Ketika basa-basi tuntas, Abdullah Syafei langsung mengemukakan kegelisahannya sebagai orang Aceh. “Sejak zaman colonial Belanda, kami tidak pernah merdeka!” katanya mengeluh sekaligus protes.

“Tapi kenapa kita harus terlibat konflik,” Bondan balik bertanya. “Konflik ini tidak masuk akal.”

Ketika pertemuan itu menjadi headline di koran-koran, pada suatu kesempatan Gus Dur sempat menyinggungnya. “Menurut pers, Mas Bondan kini adalah pejabat yang powerfull.

Berbeda dengan Gus Dur, Marsilam Simanjutak menyebutnya sebagai pejabat yang hiperaktif.

Pergaulan dekat dengan Gus Dur membuat Bondan sanggup menyimpulkan wawasan dan visi politik Gus Dur berkisar pada tiga entitas isu pokok yakni ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama muslim, ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan dalam kebangsaan dan ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama umat manusia.

Tiga hal itu menjelaskan pokok hubungan agama Islam dengan negara serta berbagai implikasi filosofis, historis, dan politisnya di Indonesia.

Membalas penilaian itu, Gus Dur menganggap Bondan adalah ‘banteng’ yang berkeliaran di luar habitatnya. Penilaian itu diamini Bondan yang menganggapnya sebagi kias nasionalis, Marhaenis atau Soekarnois yang berkelana di luar organ resmi. Itu penilaian seorang sahabat yang jujur.

Juga bukan Gus Dur jika tak pandai ‘mengerjai’ temannya. Itu yang dialami Bondan ketika ia memprihatinkan kesehatan Gus Dur.

Bersama beberapa temannya seperti Romo Franz Magnis-Suseno, Rahman Toleng, Artides Katoppo dan Awad Bahasoan mereka berdalih menyelenggarakan peringatan HUT Gus Dur sekaligus menodongnya agar meninggalkan dunia politik.

Niat baik itu disetujui Gus Dur dan menyatakan siap hadir dalam acara yang digelar di rumah Bondan di Cempaka Putih tanggal 8 Agustus 2008.

Merasa mengantongi persetujuan itu, Bondan segera membuat konsep keputusan Gus Dur meninggalkan dunia politik itu yang draftnya dikoreksi bersama-sama. Setelah final, pernyataan disalin rapi dan diberikan Bondan kepada Gus Dur di kantor PBNU di Kramat.

Ketika tiba waktunya peringatan ulang tahun, acara itu dihadiri sedikitnya 300 orang yang datang dari berbagai tempat di Indonesia. Dibuka Mohammad Sobari yang menyampaikan orasi tentang Gus Dur. Ketika giliran Gus Dur didaulat berbicara yang disampaikannya adalah ucapan terima kasih atas perhatian teman-temannya itu.

Pada kesempatan itu ia sekaligus meminta izin untuk meninggalkan kegiatan politik, namun hal itu bakal dilaksanakannya dua tahun lagi dan itu berarti tahun 2010. “He…he…he…, Mas Bondan saya tipu ya?” kata Gus Dur ketika diantar beramai-ramai ke mobilnya usai acara.

Kala itu Bondan dan teman-temannya mungkin merasa ‘dikerjai’ Gus Dur. Tapi dua tahun kemudian Gus Dur akhirnya benar-benar berhenti secara total dari kegiatan politiknya.

Ya, bukan ia ingin memenui janjinya, tapi Tuhan memanggilnya tepat pada tanggal 30 Desember 2009.  Itu adalah saat bangsa ini kehilangan putranya yang terbaik.(TGU)