Foto ilustrasi

Suluh Indonesia – Sehari sebelum sidang kedua mantan Presiden Suharto dilangsungkan, pada 14 September 2000, dua puluh satu tahun lalu, keanehan terjadi di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) yang saat itu bernama Bursa Efek Jakarta (BEJ). Di gedung pusat perdagangan saham yang berada di Jl. Sudirman, Jakarta Selatan tersebut, sejak pukul 10 pagi, listrik berulang kali mati. Terhitung sampai delapan kejadian.

Pada pukul 15.17 sore, sebuah bom meledak di area parkir mobil bawah tanah. Tepatnya, di lantai P2. Secara fisik, gedung BEJ tak mengalami terlalu banyak kerusakan, selain yang di lantai P1, P2, dan lobi yang sebagian plafonnya hancur.

Tercatat 2 mobil terbakar, sekitar 20 lainnya rusak. Harian Kompas, 14 September 2000, menyatakan bahwa terdapat korban luka-luka 34 orang. Korban tewas sebanyak 10 orang (sumber lain menyebutkan 15 orang), yang sebagian meninggal di rumah sakit. Korban tewas disebabkan karena luka bakar, terhirup asap, atau tersengat udara panas. Jenazah mereka yang meninggal di lokasi ditemukan di dalam mobil atau tergeletak di pelataran parkir.

Sumber ledakan adalah bom mobil berbahan TNT dan RDX seberat 50 kg. Dipasang di bagian bawah mobil Toyota Corona Marx II bernomor polisi B 2676 WL. Menurut Kompas, ada saksi mata yang menyatakan bahwa sebelum kejadian ia melihat 3 orang keluar dari mobil tersebut.

Ledakan bom yang menimbulkan kepanikan, serta meluluhlantahkan perdagangan di pasar keuangan tanah air tersebut, terjadi saat perdagangan sesi kedua sedang berlangsung. Kepala Bapepam saat itu, Herwidayatmo, bersama dengan Mas Achmad Daniri sebagai Dirut BEJ, dan Anton Natakoesoemah sebagai Direktur Bursa Efek Surabaya (BES); menghentikan perdagangan saat itu juga. Padahal, biasanya transaksi saham sesi kedua baru ditutup pada pukul 16.00 WIB.

Dua hari berikutnya, Kamis 14 September 2000 dan Jumat 15 September 2000, perdagangan dihentikan. Penghentian perdagangan tersebut merupakan penghentian yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah bursa efek Indonesia. Berdampak yang tak kecil, kerugian yang dialami diperkirakan sebesar Rp300 miliar per hari.

Dikeluhkan bahwa pertolongan datang tak cukup cepat. Mobil damkar pun mengalami kesulitan karena hidran yang tak berfungsi. Sebaliknya, penyelidikan insiden itu oleh kepolisian berjalan dengan cukup cepat.

Dari hasil pemeriksaan pada sejumlah saksi dan barang-barang bukti, 12 hari setelah kejadian polisi menangkap enam orang pelaku. Mereka adalah Tengku Ismuhadi Jafar, Irwan alias Irfan, Ibrahim Hasan, Iswadi H. Jamil, Ibrahim AMD bin Abdul Wahab, dan Nuryadin.

Ismuhadi, seorang mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memiliki bengkel bernama Krung Baro di Ciganjur, yang lokasinya hanya berjarak sekitar 200 meter dari kediaman pribadi presiden NKRI pada waktu itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di bengkel itu bom dirakit oleh dua anggota TNI desertir, Serda Irwan dan Praka Ibrahim Hasan. Irwan juga menjadi operator bom bersama Ismuhadi.

Motif pengeboman dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Bursa Efek Jakarta dipilih karena dianggap sebagai tempat berlangsungnya lalu lintas perekonomian internasional. Dengan menciptakan kekacauan di sana, mereka berharap dapat membuat perekonomian Indonesia terganggu. Dengan demikian, akan mengerek naik nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah. Dengan tingginya nilai tukar dolar, pelaku yang mempunyai sejumlah mata uang dolar, berharap akan mendapat keuntungan dari situ. [NiM]

Baca juga: