Koran Sulindo – Selain peningkatan penumpang dan jadwal penerbangan, industri penerbangan Indonesia yang mulai “terbang tinggi” ini juga ditandai dengan peningkatan jumlah armada. Sejak pemerintah menderegulasi industri penerbangan pada 2000, jumlah armada pesawat berkembang pesat. Di tahun 1990, jumlah armada pesawat kita hanya 102 unit dan menjadi 1.030 unit pada 2017.
Industri penerbangan yang tumbuh dengan kuat ini, maka sektor penerbangan menawarkan peluang berinvestasi mengingat kondisi geografis Indonesia yang unik dan ditambah peningkatan penduduk kelas menengah. Juga bertumbuhnya industri pariwisata domestik dan internasional. Peluang ini bisa dimanfaatkan investor asing maupun investor nasional. Ada banyak rute potensial yang belum digarap secara maksimal terutama ke daerah-daerah luar Jawa seperti Kalimantan dan Papua.
Menanggapi kenyataan itu, perwakilan Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan mengatakan, pihaknya berpendapat seperti yang diungkapkan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA). Justru tantangan pertumbuhan industri penerbangan kita salah satunya adalah minimnya ketersediaan infrastruktur penerbangan.
Keadaan demikian membuat kinerja penerbangan tidak akan bisa sesuai dengan jadwal. Jika kapasitas bandara terbatas, maka jadwal penerbangan akan terganggu dan tertunda. Umumnya penundaan satu jadwal penerbangan berdampak kepada yang lainnya.
“Tahun 2017 Garuda Indonesia mencatat kinerja penerbangannya 90 persen tepat waktu sesuai dengan standar di sini. Dan kinerja itu diupayakan akan ditingkatkan pada tahun ini,” kata Ikhsan.
Meningkatkan kinerja penerbangan, kata Ikhsan, merupakan salah satu upaya untuk menambah pendapat agar dapat menekan kerugian. Perusahaan ini mencatatkan kerugian pada tahun lalu. Itu sebabnya, untuk meningkatkan pendapatan pada 2018, Garuda Indonesia berupaya memaksimalkan kinerja armadanya dengan meningkatkan atau menambah jam penerbangan dan menambah 30 rute baik penerbangan domestik maupun internasional.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan berharap jumlah penumpang pesawat udara di Indonesia akan tumbuh 30 persen dalam setahun sehingga mencapai 140 juta pada tahun ini. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah penumpang pesawat udara mencapai sekitar 108 juta. Akan tetapi, untuk mencapai target tersebut sangat tergantung kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Soal pertumbuhan ini, Bayu Sutanto dari INACA mengatakan, umumnya pertumbuhan industri penerbangan dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi kita. Semisal, target pertumbuhan ekonomi 2018 ditetapkan 5,4 persen, maka perkiraan pertumbuhan industri penerbangan akan mencapai 13,5 persen. Ditambah pada 2018 dan 2019 adalah tahun politik sehingga memungkinkan adanya peningkatan terhadap pengguna pesawat udara.
Pertumbuhan penerbangan itu membuat tiap-tiap maskapai pesawat udara berupaya memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi permintaan yang terus melonjak itu, tak terkecuali Lion Air. Maskapai ini lantas memesan pesawat baru dengan menandatangani kontrak dengan Airbus dan Boeing. Seiring pertumbuhannya akan tetapi Lion Air memiliki masalah keamanan. Tercatat sejak 2002 hingga 2018, maskapai telah mengalami kecelakaan sebanyak 14 kali.
Semisal, penerbangan Lion Air pada 2004 yang tergelincir di Surakarta sehingga menewaskan 25 orang. Kemudian, pada 2013, Lion Air ketika mendarat di bandara Denpasar justru melewati areal landasan sehingga nyebur ke laut. Memang tidak ada yang meninggal dalam insiden itu. Dan dalam beberapa tahun terakhir, sesama pesawat Lion Air Group saling bertabrakan, juga menabrak sapi serta pilotnya kedapatan menggunakan narkoba. Terbaru adalah jatuhnya pesawat udara Lion Air Boeing 737 tipe Max-800 di Perairan Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018.
Kecelakaan ini lantas mengingatkan kita pada sejarah kecelakaan pesawat di Indonesia. Model manajeman yang dipraktikkan Lion dapat kita jumpai pada Adam Air, sebuah maskapai penerbangan Indonesia yang akhirnya ditutup karena kecelakaan pada 2008. Mengingat sejarah panjang kecelakaan penerbangan di dalam negeri, Aviation Safety Network memasukkan Indonesia termasuk 10 negara dengan tingkat kecelakaan pesawat udara tertinggi di dunia. Terdapat 99 kasus sejak 1945 hingga 2018 dengan korban tewas hingga 2.224 jiwa.
Sebagai regulator, pemerintah harus secara ketat mengawasi standar keamanan transportasi udara dan memberlakukan hukuman berat bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan. Namun, itu tampaknya hanya mudah diucapkan atau hanya menjadi catatan di kertas. Sulit untuk menegakkan aturan karena sebagian besar industri penerbangan komersial domestik dimonopoli. [KRG]