Koran Sulindo – Berawal dari penelitian sejarawan Remy Limpach yang mengungkap kekerasan militer Belanda secara sistematis dan terstruktur dalam perang kemerdekaan Indonesia periode 1945 hingga 1949. Penelitiannya itu menyebutkan militer Belanda melakukan kekerasan ekstrem secara terstruktur terhadap rakyat Indonesia. Penelitiannya itu lalu dibukukan dengan judul De brandende kampongs van generaal Spoor.
Dalam penelitiannya itu, Limpach mengungkap bagaimana tentara Belanda melakukan kekerasan ekstrem dengan masuk ke kampung-kampung di seluruh pelosok negeri, lalu membakarnya. Kapten Raymond Westerling menjadi salah satu contoh nyata betapa kebiadaban tentara Belanda bukan sekadar isapan jempol.
Limpach mencatat tindakan tentara Belanda tidak hanya sebatas itu. Selain pembakaran, penyiksaan tahanan perang yang berujung pada penembakan, tentara Belanda disebut menembak secara membabi buta di berbagai kampung-kampung hingga menewaskan banyak warga sipil. Berdasarkan fakta itu, Limpach lalu menyebutnya sebagai tindakan kekerasan ektrem dan terstruktur.
Penelitian Limpach tersebut memicu perdebatan di pemerintahan Belanda dan berujung pada keputusan untuk melakukan penelitian besar proses dekolonisasi Indonesia. Pemerintah Belanda mengambil keputusan tersebut pada medio September lalu. Para peneliti yang telah dipersiapkan pemerintah Belanda berasal dari Institut Kerajaan untuk Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan (KITLV), Institut Belanda untuk Dokumentasi Perang, Holocaust dan Genosida (NIOD) dan Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH). Mereka membagi penelitian menjadi sembilan proyek besar dan tiga di antaranya melibatkan Indonesia. Nilai penelitian ini pun cukup fantastis mencapai 4,1 juta euro.
Keputusan pemerintah Belanda melalui Perdana Menteri Mark Rutte itu sepertinya adil. Nyatanya, keputusan tersebut sangat politis mengingat penelitian itu juga menyoal periode Bersiap. Belanda menganggap periode Bersiap adalah masa kekerasan antara 1945 hingga 1946 terhadap kalangan Indo-Belanda, kalangan Tionghoa serta warga minoritas lainnya yang dianggap menjadi kaki tangan Belanda. Menurut Belanda pelakunya adalah orang Indonesia. Penelitian periode Bersiap ini akan melibatkan sejarawan dari Indonesia yaitu Profesor Bambang Purwanto dan Doktor Abdul Wahid, keduanya sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kendati menolak pelibatan sejarawan dalam negeri sebagai bentuk kolonial, target penelitian ini nampaknya akan berujung kepada menuduh Indonesia sebagai penjahat perang. Sebuah tuduhan dan menjadi perdebatan di masa awal revolusi bergelora di tanah air. Tuduhan itu ditujukan kepada Soekarno – Hatta karena memproklamasikan kemerdekaan pada Agustus 1945. Wacana ini juga kembali membuka polemik perjuangan politik kooperasi dan non-kooperasi atau mereka dituduh sebagai antek-Belanda dan anti-Belanda. Lepas dari persoalan itu, pertanyaan pentingnya: benarkah Indonesia penjahat perang sebagaimana yang dituduhkan Belanda kepada Indonesia?
Keputusan politik pemerintah Belanda itu, selain ingin memanipulasi sejarah, juga ingin bermain-main dalam politik kata-kata. Bahwa yang terjadi di Indonesia pada periode 1945 hingga 1946 bukanlah sebuah revolusi sebagaimana yang digaungkan para pemuda dan massa rakyat di seluruh penjuru negeri. Dengan menggunakan istilah periode Bersiap, Belanda ingin menyatakan gerakan rakyat itu sebagai sebuah pembangkangan, huru-hara, keonaran dan sebagainya. Sosiolog Belanda W.F. Wertheim dalam bukunya yang telah diterjemahkan Gelombang Pasang Emansipasi menjelaskan, jika ingin mendefinisikan arti revolusi, kita tidak dapat menempatkannya berhadap-hadapan dengan arti evolusi, atau berhadap-hadapan dengan arti kontra-revolusi.
“Betapa pun ia membuktikan satu hal: bahwa dalam penggunaan bahasa umum dibedakan antara pemberontakan dan revolusi,” tulis Wertheim.
Revolusi
Suatu revolusi, kata Wertheim, selalu bertujuan untuk menumbangkan kekuasaan masyarakat atau susunan kekuasaan yang bercokol; sedangkan semua jenis gangguan ketertiban – apapun namanya – tidaklah memiliki kemauan akan perubahan secara fundamental ini dan hanya bertujuan untuk memberikan suatu pukulan terhadap pemegang kekuasaan atau bahkan untuk mencopot mereka dari kekuasaan itu atau secara fisik menyingkirkan mereka.
Jauh sebelum Wertheim, Lenin dalam Negara dan Revolusi dengan mengutip Marx, mengatakan, revolusi adalah radikal. Berkaitan dengan revolusi itu, Lenin menambahkan melalui apa yang disebut Engels, kekerasan adalah alat yang digunakan gerakan sosial untuk merintis jalan bagi dirinya dan menghancurkan bentuk-bentuk politik yang telah mati dan membatu. Itu semakin menegaskan sebagaimana yang diungkapkan Mao Tse Tung bahwa revolusi adalah sebuah pemberontakan, sebuah tindakan kekerasan oleh satu kelas untuk menggulingkan kelas lainnya.
Dalam bukunya Periode Perang Anti-Jepang, Mao menegaskan politik luar negerinya yang anti-Jepang dan terdiri atas 10 pasal. Di antaranya melawan dan menghancurkan imperialisme Jepang; memobilisasi umum atas kekuatan militer seluruh negeri; mobilisasi umum rakyat di seluruh negeri; memperbaiki kehidupan rakyat; dan menyapu bersih pengkhianat bangsa, penjual negara dan kaum pro-Jepang.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, bisa diartikan apa yang dipersepsikan Belanda sebagai periode Bersiap dari 1945 hingga awal 1946 itu adalah bagian dari revolusi untuk menghancurkan imperialisme Belanda. Sebuah gerakan sosial yang ingin mengubah susunan kekuasaan yang bercokol di Republik. Dengan kata lain, rakyat ingin merdeka dari kekuasaan kolonial yang menindas dan menghisap kehidupan rakyat. Revolusi – baik berhasil maupun gagal – dengan demikian, ingin menumbangkan tatanan masyarakat lama untuk selama-lamanya. Itu yang membedakannya dengan istilah-istilah lain itu.
Wertheim lebih jauh menerangkan apa yang disebut sebagai perang saudara dan peperangan. Sebuah masalah umum lainnya adalah hubungan aspek-aspek nasional dan internasional dari revolusi-revolusi. Istilah perang saudara, kata Wertheim, berkaitan dengan aspek internal suatu revolusi, yang secara normal muncul dalam suatu negeri sebagai sebuah kesatuan politik.
Karenanya, sebuah revolusi nasional mau tidak mau membawa akibat bahwa gerakan yang sama itu, yang dari sudut pandang pihak-pihak yang mewakili struktur politik yang bercokol memiliki watak perang saudara, dari sudut pandang kaum revolusioner memperlihatkan suatu aspek internasional yang menghasratkan pembebasan dari penjajahan bangsa (nasion) yang satu oleh bangsa (nasion) lain.
Permainan kata-kata Belanda dengan menyebut “Masa Bersiap” sebagai periode kacau balau – bukan masa revolusi – menjadi jelas ingin melegitimasi kekerasan ekstrem dan terstruktur militer Belanda pada masa 1945 hingga 1949. Dengan melemparkan kata-kata demikian, Belanda justru ingin menuduh balik bahwa Indonesia-lah sebagai penjahat perang. Dengan kata lain, penelitian “Masa Bersiap” yang dilakukan Belanda ini serta melibatkan sejarawan Indonesia bertujuan untuk penjajahan dan bagian dari kontra-revolusi! [Kristian Ginting]