Koran Sulindo – Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu pembicara dalam forum internasional The KOR-ASIA Forum 2018 yang dilakukan di Seoul, Korea Selatan, Rabu (7/11/2018). Megawati berbicara sejarah Indonesia terkait upaya perdamaian Korea Utara-Korea Selatan, dan bagaimana Pancasila menjadi dasar untuk mengupayakannya.
Forum itu menggelar sejumlah seri pembicaraan dan diskusi panel mengenai isu Korea dan Asean, yang didukung penuh oleh The ASEAN-Korea Centre.
Megawati dalam pidatonya berbicara pengalamannya terkait upaya perdamaian kedua Korea, bahkan sejak saat dirinya masih muda.
Dikisahkan Megawati, pada 1965 dirinya diajak oleh Presiden RI Pertama yang juga ayah kandungnya, Soekarno, untuk ikut dalam pertemuan dengan Kim Il Sung, Pendiri Negara Korea Utara. Saat itu Megawati berusia 18 tahun. Sementara Kim Jong Il berusia 23 tahun.
Semuanya lalu bersama-sama mengunjungi Kebun Raya Bogor. Di tempat itu, Soekarno memberikan sebuah bunga asli Indonesia, sebuah anggrek berwarna ungu. Bunga itu kemudian dinamakan Kimilsungia oleh Bung Karno, dan menjadi bunga negara Korea Utara. Kala itu juga , Soekarno sudah menyampaikan kepada dirinya.
“Mega, berjuanglah untuk perdamaian di Semenanjung Korea. Berdiri tegak di tengah dan jangan memihak Korea Selatan atau Korea Utara. Rangkullah jalan damai. Pegang teguh ideologi Pancasila yang akan membimbingmu menuju jalan damai. Jalan ini akan membawamu kepada para pemimpin dan orang-orang dari kedua negara yang sama-sama berjuang untuk perdamaian dan kedaulatan Korea,” beber Megawati menyampaikan pesan Soekarno.
Megawati lalu menjelaskan satu persatu prinsip dari kelima sila Pancasila. Yakni Ketuhanan; Nasionalisme; Internasionalisme; Demokrasi; dan Keadilan Sosial.
Dan terbukti, kata Megawati. Pancasila menjadi obor penerang jalannya, Megawati bersedia diterima oleh Pemimpin Korut Kim Jong Il pada 2002. Saat itu, Mega menjabat presiden RI. Di pertemuan itu, Megawati mengaku menyampaikan pesan dari Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung, yang berinti keinginan menyambung pembicaraan soal perdamaian yang terhenti saat itu.
“Saya sampaikan juga bahwa perdamaian di Semenanjung Korea itu krusial untuk menjaga stabilitas di Asia Pasifik,” kata Megawati dalam rilis media.
Upayanya mendamaikan kedua Korea sempat tertahan karena dirinya tak lagi menjadi presiden pada 2004. Namun, sebagai tokoh, Megawati terus berusaha membantu upaya perdamaian. Hingga pada 2017, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, memintanya untuk menjadi bagian dari juru damai untuk Semenanjung Korea.
“Banyak yang ragu soal perdamaian di Semenanjung Korea. Tapi saya justru yakin bahwa perdamaian itu akan terjadi,” kata Megawati.
Keyakinannya itu bertumpu pada pengalamannya yang melihat serta mendengar langsung dari masyarakat kedua negara. Kata Megawati, orang-orang Korea merindukan perdamaian.
“Mereka tidak ingin permusuhan dan kebencian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang-orang yang menginginkan bahwa keputusan, sehubungan dengan Semenanjung Korea, dibuat atas nama kepentingan dan kelangsungan hidup mereka bersama,” beber Megawati.
Di acara itu, Megawati menjadi pembicara bersama mantan Presiden Mongolia Punsalmaagiyn Orchirbat, dan Deputy PM Tajikistan Davlatali Said.
Sebelum seminar, Megawati disambut khusus oleh Moon Hee Sang, Presiden dari National Assembly of the Republic Korea. Keduanya bicara soal upaya untuk memajukan perdamaian kedua Korea.
Dalam rombongan Megawati ke Korea itu, turut diikuti sejumlah petinggi PDI Perjuangan. Diantaranya adalah Olly Dondokambey, Rokhmin Dahuri, dan Herman Hery. [CHA]