Koran Sulindo – Pembunuhan mengerikan terhadap jurnalis Washington Post, Jamal Khasoggi adalah petunjuk nyata bagaimana proses pengambilan keputusan dilakukan dengan ceroboh dan berbahaya.
Khususnya oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad Bin Salman atau yang lebih dikenal sebagai MBS.
Di sisi lain, krisis terbaru seperti yang dirilis New York Times menyebut orang-orang di lingkaran keamanan MBS berusaha menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi pejabat senior Iran. Langkah ini jelas-jelas bisa memicu konflik militer regional.
Kecerobohan-kecerobohan yang diprakarsai MBS itu mengungkap bagaimana kejadian-kejadian ‘aneh’ dalam beberapa bulan terakhir terus menerus terjadi di pusat kekuasaan Saudi yang tak terkontrol.
Bagaimana Jamal Khasoggi terbunuh dengan keji, bagaimanapun menunjukkan MBS sanggup berperilaku arogan, kejam, berubah-ubah sekaligus amatir.
Di Saudi, sikapnya yang agresif praktis tak terkontrol mekanisme checks and balances apapun dalam hirarki pemerintahan Saudi.
Dengan segala sifatnya yang agresif, MBS memang berhasil menumpas semua saingan potensial dan sekaligus memegang kendali penuh atas semua badan keamanan dan intelijen Saudi.
Terungkapnya skandal Khashoggi membuktikan, kekuasaan tanpa batas seperti yang MBS memungkinkan para diktator secara rahasia mengeksekusi musuh-musuhnya melalui sebuah operasi yang berbahaya.
Di sisi lain, secara paralel, MBS berhasil menampilkan dirinya sebagai kesayangan Barat dengan reformasi dan visi-nya yang diklaim modern.
Kengerian atas perilaku Saudi di bawah MBS yang agresif Saudi bakal makin mengerikan dengan ambisi nuklir yang tak pernah disembunyikan.
Bertahun-tahun sebelumnya, para pejabat Saudi terus memperingatkan bahwa mereka tak akan mengekang ambisi nuklir jika keamanan nasionalnya terancam, khususnya jika Iran memaksakan program nuklirnya.
Dalam sebuah wawancara dengan CBS, Maret 2018 dengan terang-terangan MBS menyatakan “tanpa keraguan jika Iran mengembangkan bom nuklir kami akan segera mengikutinya.”
Sebuah desas-desus di komunitas intelijen menyebut Pakistan menjanjikan nuklir siap pakai jika saatnya tiba. Pendekatan itu menjadi lebih rumit dibanding model perjanjian nuklir yang diterapkan kepada Iran ataupun Korea.
Awal bualn November silam, MBS terlihat berpartisipasi pada sebuah upacara yang menandai peluncuran konstruksi reaktor riset pertama di Riyadh. Meski diyakini sebagai tindakan simbolis karena orang-orang Saudi tak memiliki pengetahuan, teknisi, infrastruktur, dan keahlian akademis, kemampuan keuangan Saudi jelas sangat memungkinkan untuk mewujudkan ambisinya.
Benar saja, tak lama setelah peresmian itu Menteri Energi Saudi mengumumkan bahwa mereka telah meluncurkan sebuah program yang bertujuan melakukan eksplorasi uranium. Selama dasawarsa terakhir, Saudi membeli enam belas reaktor nuklir dan dengan ditambah kemampuan pengayaan uranium, nuklir jelas telah menjadi agenda Saudi.
Meski dikemas dalam kampanye energi terbarukan, program itu juga dapat dengan seketika menjadi program nuklir militer di masa depan.
Meski selama perundingan dengan pejabat-pejabat Saudi, pemerintahan Obama bersikeras bahwa Saudi sanggup mematuhi komitmen tak memperkaya uranium bagi kepentingan militer. Sejauh ini sikap tersebut tetap dianut oleh AS di bawah adminstrasi Trump.
Namun, semenjak pembunuhan Khashoggi terungkap, Senat mendesak Trump untuk lebih keras mengekang niatnya menjual reaktor nuklir kepada rezim Saudi. Meski tak bakalan pernah cukup, langkah itu jelas diperlukan AS.
Bagaimanapun penolakan dari AS hanya akan membuat MBS mencari alternatif di tempat lain. Mereka ini sepanjang harganya cocok, tentu bakal dengan senang hati membantu Saudi.[TGU]