Koran Sulindo – Pada suatu Mei 2020. Sebuah berita masuk ke timeline Facebook berjudul Polisi Menahan Jurnalis Dalam Perkara Dugaan Pelanggaran UU ITE. Sebagai seorang wartawan, saya tentu saja terkejut dengan berita tersebut. Bagaimana mungkin UU ITE yang mengatur lalu lintas informasi elektronik bisa digunakan untuk menjerat produk pers?
Nanta, demikian nama wartawan yang dijerat UU ITE karena tulisannya itu. Ia merupakan pemimpin redaksi Banjarhits.id, sebuah media massa daring dan menjadi jaringan Kumparan.com. Ini penting karena produk jurnalistik diatur dengan peraturan tersendiri yaitu UU Pers tahun 1999.
Bahkan jika produk jurnalistik itu dinilai menyudutkan seseorang, maka hak-haknya sebagai narasumber dan warga negara telah disediakan lewat UU Pers. Ditambah UU ini merupakan lex spesialis. Jadi, agak rancu dan “menakutkan” jika UU ITE bisa digunakan untuk menjerat wartawan media massa berbasis elektronik atau digital.
Apa yang dialami Nanta ini mengingatkan kita kepada kisah masa lalu: tentang kekuasaan kolonial yang mudah sekali menjerat para wartawan yang dinilai mengganggu (ketertiban) kekuasaan. Beberapa nama wartawan yang populer pada era kolonial adalah Tirto Adhi Soerjo, Dr. Rivai, Sosrokartono, Djamaludin Adinegoro, dan Mas Marco Kartodikromo. Dari nama-nama itu yang pernah dikenai delik pers oleh penguasa kolonial adalah Tirto dan Mas Marco.
Kita akan membahas kiprah Mas Marco secara khusus. Selain karena tulisannya yang acap membuat telinga penguasa kolonial panas, juga jarang orang membicarakan sumbangan sosok ini terhadap dunia pers kita. Padahal, boleh jadi ia merupakan orang pribumi pertama yang mendirikan organisasi wartawan pribumi pertama bernama Inlandsche Journalisten Bond (IJB).
Mas Marco mendirikan IJB untuk mewadahi para jurnalis radikal yang menentang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Juga tak banyak yang tahu Mas Marco pulalah yang menciptakan slogan “sama rata sama rasa”. Slogan yang kemudian oleh orang-orang yang anti-komunis diidentikkan dengan komunisme.
Dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Mas Marco disebut lahir sekitar 1890 di Cepu, Jawa Tengah. Anak keluarga priyayi rendahan. Ia lulusan sekolah bumiputra Angka Dua di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputra Belanda di Purworejo. Setelah itu ia masuk Dinas Kehutanan sebagai juru tulis rendah pada 1905. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis di Nederlansch-Indische Spoorweg (NIS) sambil belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda yang menjadi guru privatnya.
Takashi Shiraishi menggambarkan Mas Marco sebagai generasi muda yang diciptakan pendidikan gaya Barat dan dipertahankan karena aktivitas negara dan bisnis swasta Belanda. Dari segi pendidikan, Mas Marco masih di bawah pemimpin pergerakan di masa awal seperti Tirto Adhi Soerjo, Tjokroaminoto dan Soewardi. Mereka semua mendapat pendidikan terbaik yang tersedia di Hindia Belanda. Mulai dari ELS dan kemudian HBS, OSVIA atau STOVIA.
Para pemimpin demikian tidak hanya membaca, tetapi juga bisa menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda dengan fasih. Benar Mas Marco juga bisa membaca dalam bahasa Belanda, tetapi kemampuan menulis dan berbicaranya tidak terlalu baik. Ia tidak pernah bisa bebas bergaul dengan orang Belanda dan semua tulisannya kalau tidak dalam bahasa Melayu pasti dalam bahasa Jawa.
Segala sesuatu berbau Eropa dan Belanda pada waktu itu merupakan lambang kemajuan, dan Mas Marco pada hakikatnya kurang maju dibandingkan dengan pemimpin pergerakan lainnya seperti Tjokroaminoto dan Soewardi. Mungkin “kekalahan” ini, kata Takashi, yang membuat Mas Marco begitu tergila-gila kepada simbol-simbol modernitas dan tampil di depan umum dalam gaya Eropa seperti sinyo, sementara Tjokroaminoto dan Soewardi tetap dalam baju Jawa.
Soal tulisannya dalam bahasa Melayu dan Jawa itu menarik untuk diulas. Juga menarik untuk membandingkan perbedaan yang mencolok antara tulisan yang disebut Takashi berasal dari tokoh-tokoh pergerakan terdidik dengan gaya tulisan tokoh pergerakan model Mas Marco yang berasal dari priyayi bawah. Dalam Mas Marco Kartodikromo si Jurnalis Dinamit van Blora yang ditulis Muhidin M. Dahlan menyebut gaya bahasa Mas Marco sangat jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan Tirto dalam Medan Prijaji. Koran tempat Mas Marco belajar menjadi wartawan.
Menurut Muhidin, jalan pers yang ditempuh Mas Marco dengan darah dan sabungan nyawanya yang membuat dirinya memiliki peran sangat signifikan dalam arus sejarah pergerakan Indonesia. Tetapi, perannya dipinggirkan. Mungkin tidak dianggap. Bisa saja seperti yang dikatakan Takashi, Mas Marco berasal dari priyayi bawah atau mungkin saja karena kampanye anti-komunis yang sangat masif di Indonesia pasca-1965. Pasalnya, Mas Marco memutuskan menjadi bagian dari PKI sejak 1923. Ia salah satu pimpinan yang dibuang ke Boven Digul setelah pemberontakan nasional pertama pada 1926 kalah.
Selain gaya bahasa, menurut Muhidin, perbedaan mencolok antara Mas Marco dan Tirto juga tampak dalam soal keberanian. Bahasa Mas Marco meledak-ledak seperti dinamit. Ia tak biasa berbasa-basi ketika menulis. Jika tidak suka dengan priyayi, maka Mas Marco akan memaki langsung dengan menyebutnya sebagai penjilat pantat. Pun demikian jika tidak suka kepada pejabat kolonial, ia tak segan-segan mengkritiknya.
Bahkan Tjokroaminoto, tulis Muhidin, tidak lepas dari makian Mas Marco. Kendati dari tulisannya itu Mas Marco mengumpulkan banyak musuh, ia bergeming. Bagi Mas Marco, harus tegas siapa musuh siapa lawan. Dan ia siap dengan risikonya. Bahkan jika itu menyangkut nyawa, Mas Marco tidak mempermasalahkannya. Soalnya ia sudah melihat risiko yang ditanggung Tirto, guru jurnalistiknya itu. Lalu, bagaimana awal pertemuan Mas Marco dengan Tirto?
Menurut Takashi, Mas Marco meninggalkan Semarang menuju Bandung untuk bergabung dengan Medan Prijaji pada 1911. Ia berencana magang di sana dan itulah awal mula karier jurnalistiknya. Ia pernah menuliskan tentang pengakuannya terhadap Tirto. Muhidin mencuplik sedikit tulisan Mas Marco tentang Tirto. Begini isinya:
“Pembatja jang terhormat jang baroe berkenalan dengan soerat kabar dalam 4-5 tahoen sadja, boleh djadi beloem tahoe terang akan keadaan beliau, siapakah Raden Mas Tirto ini? … Raden Mas Tirto Hadi Soerjo, jalah seorang bangsawan asali dan djoega bangsawan kafikiran Boemipoetra jang pertama kali mendjabat Journalist. Boleh dibilang toean T.A.S. indoek Journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenja penna, banjak Pembesar-pembesar jang kena critieknja djadi moentah darah dan sebagian besar soeka memperbaiki kelakoeannja jang koerang Pembatja jang terhormat djangan heran saja….”
Setelah Medan Prijaji bangkrut, menurut Takashi, Mas Marco bergabung dengan Sarotomo pada akhir 1912 sebagai editor dan administrator atas undangan Martodharsono. Ketika berumur 22 tahun, ia terjun ke dunia pergerakan. Ketika di Bandung, mentornya tentu saja Tirto dan Soewardi, salah satu menjadi teman dekatnya. Di Surakarta, ia mengikuti contoh kedua jurnalis itu: menerbitkan surat kabar sendiri dan mengatakan apa yang ingin ia katakan, tanpa menyimpan sesuatu.
IJB Berdiri
Berbeda dengan Soewardi, kata Takashi, Mas Marco menulis dalam bahasa Melayu. Untuk mencapai tujuannya, ia mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914. Journalisten, demikian Takashi, menunjukkan pemimpin pergerakan tanpa basis organisasi. Ia mencoba mengubah ketersisihan seorang jurnalis menjadi kelebihannya. Ia menerbitkan Doenia Bergerak sebagai surat kabar IJB yang menandakan bahwa penerbitan itu sebenarnya organ dari dunia pergerakan.
Dalam IJB Mas Marco duduk sebagai ketua. Sedangkan, Sosrokoernio sebagai sekretaris. Sebagian dana penerbitan dan pendirian IJB mungkin berasal dari pedagang-pedagang batik kaya di Kauman. Itu merujuk kepada penunjukan M. Haji Bakri seorang pedagang batik yang kaya di Kauman sebagai bendahara. IJB juga diisi oleh tokoh-tokoh pergerakannya seperti Tjipto Mangoenkoesoemo bekas pimpinan Indische Partij yana baru pulang dari pembuangan karena sakit pada Juli 1914.
Juga ada tokoh Insulinde M. Darnakoesoema yang tiba di Surakarta pada masa itu untuk bergabung dengan IJB. Doenia Bergerak dicetak oleh perusahaan cetak Insulinde di Bandung. Karena itu, di mata orang Belanda, Doenia Bergerak di bawah Mas Marco merupakan ujung tombak atau mewakili politik Indische Partij. Takashi menuturkan, sejak awal Mas Marco bermaksud melancarkan “perang suara” melalui Doenia Bergerak. Suaranya tegas dan tajam. Dalam terbitan pertamanya, Mas Marco menyerang D.A. Rinkes, penasihat urusan bumiputra.
Sebelumnya lagi Mas Marco mengkritik Welvaartscommissie dalam Sarotomo. Rinkes yang marah karena artikel itu mengirim surat pribadi kepada Samanhoedi untuk menegurnya karena lalai mengawasi “orang oepahan”-nya sambil mencap artikel Mas Marco sebagai bohong belaka. Mas Marco lantas memuat seluruh surat Rinkes itu dalam Doenia Bergerak dan menempatkannya sejajar dengan artikelnya sendiri. Mas Marco menamai artikelnya itu Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes.
Poin dari artikel Mas Marco itu, menurut Takashi, bahwa Rinkes adalah orang yang membantu Tjokroaminoto mendominasi Sarekat Islam (SI) demi kepentingan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Welvaartscommissie adalah simbol penting bagi Politik Etis. Dengan mengkritik Rinkes dan anggota Welvaartscommissie, Mas Marco sebenarnya sudah melancarkan “perang suara” melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan Tjokroaminoto yang sudah jatuh ke tangan mereka.
Tetapi bagaimana ia melangsungkan perang itu? Menurut Takashi, ada 3 hal yang saling berhubungan. Pertama, bahasanya sangat keras. Welvaartscommissie yang mulia diubah mas Marco menjadi W.C. dan doktor yang diambil dari Paduka Tuan Mulia Dr. Rinkes disamakan dengan dukun yang tentunya bukan status terhormat dalam zaman kemajuan yang modern.
Kedua, dan lebih penting, kata Takashi, setiap kali Mas Marco menulis doktor, selalu dibubuhinya dengan kata dukun dalam tanda kurung. Mas Marco memperlihatkan bahwa kata dalam tanda kurung seharusnya tidak diperlihat, tapi toh tetap ia tulis. Kekhasan Mas Marco, kata Takashi, ia berterus terang menjelaskan semua itu.
Dari tulisannya yang berterus terang dan apa adanya itu, Mas Marco berkali-kali terkena delik pers. Semisal dipenjara 100 hari dari 23 November 1915 hingga 26 Februari 1916. Begitu keluar dari penjara, ia sempat dikirim ke Belanda oleh harian Pantjaran Warta. Di Belanda ia terkesan dan terpengaruh dengan suasana kebebasan mengeluarkan pendapat. Setelah pulang ke Hindia Belanda, Mas Marco kembali terkena delik pers karena menerbitkan artikel berjudul Sama Rata Sama Rasa dan kali ini ia dipenjara selama 1 tahun.
Keluar dari penjara, ia bergabung dengan Semaoen di Semarang menjadi Komisaris di SI Semarang dan ikut terlibat dalam Sinar Djawa. Di sini pula ia menegaskan posisi politiknya yang tanpa kompromi terhadap kolonial. Salatiga menjadi persinggahan terakhir Mas Marco dan memimpin PKI dan SI pada 1923. Setelah kegagalan pemberontakan 1926, ia ikut diangkut ke Boven Digul bersama ribuan orang lainnya. Tiba di sana pada 1927 dan meninggal karena malaria pada 1932.
Dari kisah Mas Marco ini dan kita pun telah merdeka, lalu mengapa masih ada wartawan yang dikenakan delik pers? [Kristian Ginting]