Ilustrasi

Koran Sulindo – Perdana Menteri Malaysia Najib Razak tiba di Beijing, Tiongkok, 2 November lalu. Ini merupakan kunjungan resmi Najib selama enam hari di negeri tirai bambu itu. Najib akan memperkuat kerja sama militer dan ekonomi dengan Tiongkok. Ia juga menggunakan kesempatan itu mengkritik negara-negara besar bekas penjajah. Sebelum berangkat ke Beijing, Najib memastikan Malaysia sebagai teman sejati Tiongkok.

Setelah Filipina, pemerintah Malaysia pun mulai membangun hubungan yang lebih intim dengan Tiongkok. Penegasan hubungan itu semakin diperkuat setelah Najib memutuskan membeli empat kapal perang Littora Mission dari Tiongkok. Keputusan yang bersejarah, katanya. Keputusan muncul setelah hubungan Malaysia dan Amerika Serikat (AS) mengalami ketegangan pada akhir Juli lalu.

Hubungan yang tegang itu karena Departemen Kehakiman AS mengusik dugaan skandal korupsi lembaga keuangan Malaysia (1MDB). Diduga lembaga ini terlibat korupsi dan pencucian uang sebesar US$ 1 miliar. Najib merupakan Dewan Penasihat 1MDB. Keputusan Najib merapat ke Tiongkok ditengarai sebagai langkah Malaysia menentang Amerka Serikat.

Dalam sebuah pemberitaan di China Daily, Najib mengkritik negara-negara besar yang kerap mencampuri urusan internal negara-negara yang lebih kecil. Termasuk bekas negara penjajah. “Mereka tidak perlu mengkuliahi negara yang pernah mereka eksploitasi tentang apa yang harus dilakukan dalam urusan internal mereka hari ini,” kata Najib, seperti dikutip China Daily edisi 3 November lalu.

Pernyataan ini secara nyata merujuk pada Eropa dan sekutu utamanya yakni Amerika Serikat. Juga menunjukkan pergeseran kebijakan Najib yang awalnya berkiblat ke Amerika Serikat, kini merapat ke Tiongkok. Sejak awal Presiden AS Barrack Obama menjadikan Malaysia di bawah pimpinan Najib sebagai salah satu sekutu yang disebut sebagai “Poros Asia”. Itu sebabnya, Obama mengunjungi Malaysia pada 2014. Sebuah kunjungan resmi pertama Presiden Amerika Serikat sejak 1966. Selanjutnya, Obama kembali berkunjung ke Malaysia untuk memperkuat hubungan strategis dan militer.

Bahkan Amerika Serikat mengabaikan langkah-langkah represif Najib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya ketika dugaan kecurangan dalam pemilihan umum Malaysia 2013 mencuat. Itu demi mempertahankan hubungan baik kedua negara. Akan tetapi, hubungan itu mulai merenggang ketika Departemen Kehakiman Amerika Serikat menyelidiki dugaan korupsi dan pencucian uang 1MDB sebesar US$ 1 miliar. Dalam sebuah dokumen nama Najib disebut terlibat dalam kasus tersebut.

Berbeda dengan Amerika Serikat, Tiongkok justru memberi dukungan kepada Najib. Bahkan China Nuclear Power Group, perusahaan milik negara Tiongkok mengumumkan pembelian aset 1MDB sebesar US$ 2,3 miliar sehingga mengurangi beban utang lembaga tersebut. Pergeseran ini juga mempengaruhi sikap Malaysia dalam menanggapi sengketa Laut Tiongkok Selatan. Najib meyakini penyelesaian sengketa teritorial mesti dijalankan dengan tenang, rasional melalui dialog.

Tiongkok dan Malaysia juga sepakat meningkatkan kerja sama bilateral di bidang ekonomi. Kerja sama jangka panjang tersebut akan dicapai untuk menguntungkan kedua negara. Kerja sama jangka panjang itu meliputi proyek-proyek infrastruktur seperti transportasi, pembangunan pelabuhan dan lain sebagainya.

Total volume perdagangan Tiongkok-Malaysia mencapai US$ 97,3 miliar pada tahun lalu. Berdasarkan data statistik Tiongkok, perdagangan kedua negara ini menyumbang 15,8 persen total perdagangan Malaysia di seluruh dunia. Dibanding negara-negara anggota Asean lainnya, Malaysia merupakan mitra dagang terbesar Tiongkok sejak 2008.

Filipina Juga Beralih ke Tiongkok

Sebelumnya Presiden Filipina Rodrigo Duterte medio Oktober lalu juga menyampaikan keinginannya untuk meningkatkan hubungan negaranya dengan Tiongkok. Itu untuk menyeimbangkan diplomasi  negaranya dengan Tiongkok. Ketika bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, Duterte bersama mitranya itu berjanji saling meningkatkan kepercayaan dan persahabatan terutama dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan.

Duterte bahkan mengaku lebih menyukai bekerja sama dengan Tiongkok ketimbang sekutu tradisionalnya: Amerika Serikat. Karena itu, ia secara mengejutkan menyampaikan “perpisahan” Filipina dari Amerika Serikat, baik dari segi ekonomi maupun militer. Lebih jelasnya, kata Duterte, itu sesuai dengan ideologi yang dianutnya sehingga dalam waktu dekat juga akan mengunjungi Rusia. Ketika bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin, ia akan menyampaikan bahwa dunia memiliki Tiongkok, Filipina, dan Rusia.

Kunjungan Duterte ini disebut sangat mempengaruhi situasi politik global dan regional. Ini kemudian disebut sebagai “kemenangan” diplomatik Tiongkok. Apalagi Filipina sepakat melanjutkan pembicaraan bilateral setelah kedua negara bersitegang dalam beberapa tahun terakhir.  Padahal dalam waktu enam bulan sebelumnya, kedua negara terlibat “perang” kata-kata.

Filipina menjalin kerja sama militer dengan Amerika Serikat sejak 1951. Itu sebabnya, militer Filipina cenderung “membela” AS dan sangat kritis kepada Tiongkok. Kendati telah mengumumkan “perpisahan” kerja sama di bidang militer, Gedung Putih belum menerima permintaan resmi dari pemerintah Filipina. Kunjungan Duterte dan Najib ini oleh media Barat disebut sebagai langkah Tiongkok mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di Asia Pasifik. Bahkan pengaruh AS mulai mengalami kemunduran di Asia Pasifik.

Sebagian pengamat menyebutkan Tiongkok kini berkembang menjadi kekuatan kapitalisme besar. Itu nampak dari pertumbuhan ekonomi, pengaruh geografis dan penduduknya. Tiongkok juga menjadi salah satu negara eksportir terbesar di dunia. Selain ekspor produk dan manufaktur, juga mengekspor modal. Berdasarkan ini Tiongkok tidak diragukan lagi menjadi kekuatan kapitalis yang sedang berkembang – artinya berkembang ke arah kekuatan kapitalis besar.

Pao Yu Ching, profesor emeritus dari Marygrove College, Detroit, Michigan, Amerika Serikat juga berpendapat yang sama soal “kebangkitan” Tiongkok. Dalam bukunya Revolution and Counterrevolution: China’s Continuing Class Struggle Since Liberation [2012], Pao Yu Ching mengatakan, setelah lebih dari dua dekade, pertumbuhan ekspor modal Tiongkok terutama lima tahun terakhir sejak 2001, menciptakan ketidakseimbangan serius baik di dalam negeri maupun di dunia terutama terhadap Amerika Serikat. Pada akhir Juni 2005, misalnya, akumulasi ekspor modal Tiongkok mencapai US$ 711 miliar dan meningkat menjadi US $ 769 miliar, akhir Oktober 2005.

Tiongkok kini tumbuh menjadi kekuatan raksasa dunia baik dari segi persenjataan, politik, maupun ekonomi. Karena itu, selain Amerika Serikat dan sekutunya, Tiongkok kini menjadi emerging power yang sulit dibantah dalam hubungan internasional. Buktinya dari 2008 hingga 2014, ekonomi Tiongkok berkontribusi sebesar 30 persen bagi pertumbuhan ekonomi global, atau hampir 40 persen dalam tiga tahun terakhir. Singkat kata, investasi Tiongkok di luar negeri saat ini telah memberikan kontribusi terbesar bagi ekonomi dunia.

Kolumnis kenamaan The New York Times, Fareed Zakaria, dalam buku Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika (2015), menulis kendati Tiongkok bukan satu-satunya negara yang memiliki cadangan devisa di atas US$ 100 miliar, tapi hanya negeri ini yang memiliki cadangan devisa mencapai US$ 2,5 triliun. Kebanyakan memang dalam bentuk mata uang US$. Dan yang membedakan dengan Amerika Serikat, adalah pemerintah Tiongkok banyak menimbun uang dalam bentuk investasi. Terutama investasi paling aman di dunia: surat utang yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat.

Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat, anggaran militer secara global mencapai US$ 1,7 triliun atau setara dengan sekitar Rp 22.500 triliun pada 2015. Dari jumlah itu, kenaikan terbesar dialami negara-negara di Eropa Timur, Asia dan Timur Tengah. AS merupakan negara dengan anggaran militer terbesar di dunia pada 2015 yang mencapai US$ 596 miliar. Lalu diikuti Tiongkok sebesar US$ 215 miliar. Jumlah ini menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan anggaran militer terbesar di Asia Pasifik.

Namun, tak lalu fakta-fakta itu menjadikan Tiongkok mengungguli kemampuan teknologi dan militer negara-negara kapitalis besar tradisional. Itu karena faktor tingkat “kecakapan” dan perkembangan teknologi orisinalitasnya. Dibandingkan Amerika Serikat, kekuatan militer Tiongkok masih ketinggalan jauh dan lagi pula tidak memiliki kekuatan cukup untuk beroperasi di negeri-negeri yang secara geografis jaraknya jauh.

Dalam hal itu pemerintah Indonesia menempuh kebijakan yang berbeda. Berdasarkan pemberitaan abc.net.au pemerintah Indonesia justru lebih mempertimbangkan patroli bersama dengan Australia di perairan Laut Tiongkok Selatan. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan itu kepada Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop pada pekan lalu. Operasi atau patroli bersama itu akan tunduk pada aturan-aturan hukum internasional.

Patroli bersama dengan Australia itu, kata Ryacudu, akan sangat membantu untuk menciptakan perdamaian di wilayah Laut Tiongkok Selatan terutama di Kepulauan Natuna. Kerja sama kedua negara tidak hanya terbatas patroli, tapi juga latihan bersama dan pertukaran para prajurit. Australia sebelumnya bahkan sudah melakukan latihan bersama dengan India dan Amerika Serikat di Laut Tiongkok Selatan.

Australia, kata Bishop, mendukung stabilitas keamanan, perdamaian di kawasan Laut Tiongkok Selatan. “Menteri Ryacudu menyampaikan untuk meningkatkan latihan angkatan laut bersama. Kami akan mempertimbangkan itu dan mengeksplorasi pilihan yang mencakup Laut Tiongkok Selatan dan Laut Sulu,” kata Bishop seperti dikutip abc.net.au pada awal bulan ini.

Kebijakan yang ditempuh Indonesia berbeda dengan apa yang dilakukan Filipina dan Malaysia dalam menyikapi sengketa Laut Tiongkok Selatan. Ketika Filipina dan Malaysia merapat ke Tiongkok, Indonesia justru lebih memilih kembali meningkatkan hubungannya dengan Amerika Serikat, melalui sekutunya Australia. Klaim wilayah itu meningkatkan ketegangan di antara Indonesia danTiongkok selepas keputusan arbitrase internasional yang menyatakan Tiongkok sama sekali tidak memiliki landasan sejarah di perairan itu.

Penjualan senjata Rusia ke beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia sejak 1997 disebut sebagai aspek yang penting dalam pertumbuhan ikatan pertahanan Moskow dengan negara-negara Asean. Pesawat tempur Sukhoi ke Indonesia dan Malaysia serta kapal selam dan misil antikapal yang mematikan untuk Vietnam mampu menghadapi dominasi militer Tiongkok terutama berkaitan dengan sengketa wilayah Laut Tiongkok Selatan.

Amerika Serikat dan sekutunya memang tidak pernah menganggap Rusia sebagai pemain serius di Asia Tenggara. Fakta yang terjadi di wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah satu sisi merupakan meningkatnya tensi persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, di sisi lainnya perang proksi antara Rusia dan Amerika Serikat. [Kristian Ginting]