Ilustrasi, Chip buatan Mediatek

SEJAK pemerintahan presiden Donald Trump, Amerika Serikat (AS) dengan gencar menyerang sektor perdagangan Cina. Dengan langkah proteksionis Trump mencoba ‘mengakali’ defisit neraca perdagangan dari Cina.

Kebijakan dagang Trump kini coba kembali dilancarkan pemerintahan Joe Biden, dimulai dari pengetatan perdagangan chip yaitu alat pemroses dalam teknologi terkomputerisasi.

Pada Agustus 2022 ini beberapa produsen chip asal AS mendapat larangan untuk mengekspor ke wilayah Cina termasuk Hongkong. Salah satunya adalah perusahaan IT ternama Nvidia yang selama ini memasok konsumen di Cina Daratan dan kawasan di sekitarnya.

Larangan ekspor chip ke Cina diberlakukan dengan dalih menghindari penyalahgunaan chip buatan AS dalam industri militer negara-negara seperti Cina dan Rusia demi keamanan nasional.

Selain pengetatan ekspor Chip, AS juga berencana membatasi ekspor mesin atau teknologi pembuatan chip untuk menghambat perkembangan industri IT Cina.

Menurut pihak perusahaan Nvidia, pada 26 Agustus ini pemerintah AS menginformasikan persyaratan lisensi baru untuk ekspor ke Cina, termasuk Hong Kong, untuk mengurangi risiko bahwa produk tersebut dapat digunakan oleh militer Cina.

Nvidia mengatakan pembatasan itu akan mempengaruhi produk A100 dan H100, yang merupakan chip pemrosesan grafis yang dijual ke sektor bisnis.

“Persyaratan lisensi ke depannya juga mencakup sirkuit terintegrasi (IC) Nvidia yang memiliki kinerja puncak dan kinerja yang sama dengan atau lebih besar dari ambang batas yang kira-kira setara dengan A100, serta sistem apa pun yang mengandung sirkuit tersebut,” sebagai mana tertuang dalam surat pemerintah AS kepada Nvidia.

Subsidi dan insentif Biden

Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada awal Agustus 2022 telah menandatangani Undang-undang demi mensubsidi industri chip semikonduktor AS agar produsen asal AS lebih kompetitif dengan Cina.

UU itu disebut bertujuan untuk mengurangi kekurangan chip yang mempengaruhi berbagai produksi, mulai dari mobil, senjata, mesin cuci, dan video game.

Pemerintah AS dalam UU tersebut menyediakan subsidi sebesar 52 miliar dolar AS untuk penelitian dan produksi semikonduktor AS, juga paket insentif senilai 200 miliar dolar untuk 10 tahun. Insentif ini juga termasuk kredit pajak investasi untuk pabrik chip yang diperkirakan bernilai 24 miliar dolar AS.

“RUU itu akan mendorong upaya kami untuk membuat semikonduktor di sini, di Amerika,” kata Biden.

Biden juga menuding Cina menggunakan cara tidak pantas untuk menguasai industri chip dunia dan memproduksi barang dengan lebih murah.

Reaksi Cina

Sejak awal pemerintah Cina mengkritik kebijakan proteksionis Biden dan menyebutnya sebagai ‘Mentalitas Perang Dingin’ yang menghambat kemajuan dunia.

Namun Cina punya cara lain untuk menghadapi kebijakan AS, Pada Agustus 2022 pemerintahan Xi Jinping memutuskan pembebasan pajak bagi perusahaan Cina yang memproduksi Chip, IC dan semikonduktor dengan teknologi tertentu.

Dengan kebijakan baru ini, proyek dan perusahaan yang memenuhi syarat sirkuit terpadu (IC) yang telah beroperasi selama lebih dari 15 tahun dan menggunakan proses 28-nanometer atau lebih akan dibebaskan dari pajak penghasilan perusahaan hingga 10 tahun.

Sementara proyek dari 65nm ke 28nm akan mendapatkan lima tahun bebas pajak dan diskon 50 persen untuk lima tahun berikutnya.

“Terus terang, ini akan sangat membantu [untuk industri semikonduktor dalam negeri], tetapi [bantuan] belum tentu besar,” kata salah seorang analis, Sheng Linghai.

Selama dua tahun pertama, pemerintah akan membebaskan dari pajak penghasilan perusahaan dan memberikan diskon 50 persen pada tarif pajak wajib sebesar 25 persen selama tahun berikutnya hingga tiga tahun.

Sheng mengatakan sebagian besar pabrik semikonduktor Cina menghasilkan sebagian besar pendapatannya dari produk dengan ukuran 55 nanometer ke atas.

Sehingga kebijakan ini bisa membantu secara langsung pada operasi perusahaan seperti Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC) dan Huahong yang berbasis di Shanghai, satu-satunya dua perusahaan yang dapat menghasilkan chip menggunakan node pemrosesan 28nm.

Industri IT Cina juga mengklaim bahwa pembatasan yang dilakukan AS justru menguntungkan industri dalam negeri mereka. Konsumen yang sebelumnya membeli dari AS memilih menggunakan produk buatan lokal. Bahkan perusahaan pembuat chip cina kewalahan memenuhi pesanan yang berlimpah.

Riwayat perang dagang AS-Cina

Perang dagang AS-Cina sudah mulai memanas sejak pemerintahan Donald Trump. Perang dagang bermula karena Trump kecewa dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu mengalami defisit terhadap Cina. Untuk itu, ia memilih langkah proteksionisme demi memperbaiki neraca perdagangan AS.

Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sejak saat itu, tepatnya 22 Januari 2018, perang dagang pun dimulai.

Kemudian, Trump juga mengenakan tarif bea masuk untuk baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk aluminium. Kebijakan ini diputuskan pada Maret 2018.

Tak tinggal diam, Cina ikut menaikkan tarif produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen dan Beijing memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS. Komoditas itu, seperti almond dan apel.

Cina juga mengadukan kebijakan AS pada WTO tentang tarif impor baja dan aluminium. Keluhan ini disampaikan Cina pada April 2018.

Serangan lanjutan AS pun tak kalah sengit, Departemen Perdagangan AS kemudian mengeluarkan kebijakan baru yang melarang perusahaan telekomunikasi Cina untuk membeli komponen AS selama tujuh tahun.

Kedua negara itu akhirnya mengadakan pertemuan untuk membicarakan perang dagang di Beijing pada Mei 2018. Namun, pertemuan itu menempuh jalan buntu. Namun Cina melunak, mereka mengumumkan akan mengakhiri penyelidikan anti dumping terhadap impor sorgum AS setelah pertemuan pertama pada Mei 2018.

Cina bahkan menawarkan paket untuk memperbaiki defisit perdagangan AS. Kemudian, pihak AS dan Cina sama-sama mengumumkan bahwa keduanya setuju untuk menaikkan ekspor pertanian dan energi AS.

Selain itu, China juga mengumumkan akan menurunkan tarif impor mobil dari 25 persen menjadi 15 persen.

Niat Cina bertepuk sebelah tangan, Trump justru menambah tarif 25 persen terhadap impor Cina yang sebesar US$50 miliar. Perang dagang pun terus berlanjut.

Pada pertengahan Januari 2020, AS dan Cina meneken kesepakatan damai dagang fase I.

Salah satu poin kesepakatan damai dagang itu menyebutkan Cina setuju membeli barang dari AS senilai US$200 miliar, lalu tambahan US$32 miliar untuk pembelian produk pertanian dan makanan laut, hampir US$78 miliar untuk barang-barang pabrik seperti pesawat, mesin, dan baja, juga US$52 miliar untuk produk energi.

Untuk mencapai nilai kesepakatan itu, Cina dan AS memasang target setiap tahun. Untuk produk pabrik, misalnya, Cina harus mencapai target pembelian US$32,9 pada tahun pertama dan US$44,8 miliar pada tahun selanjutnya.

Kendati kesepakatan fase I sudah ada, AS tetap akan mengenakan tarif atas barang impor China hingga lahirnya perjanjian fase II.

Akhirnya pada September 2020 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organizations/WTO) menyatakan kebijakan pengenaan tarif bea masuk impor tambahan dari Amerika Serikat terhadap produk-produk dari China tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di aturan perdagangan internasional.

Keputusan WTO dianggap sebagai kemenangan Cina dalam perang dagang melawan AS. [PTM]