Koran Sulindo – Selama menjalani bekerja dari rumah (WFH) karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran Covid-19, penggunaan teknologi digital oleh masyarakat meningkat pesat. Termasuk pengguna Netflix.
Ini merupakan sebuah layanan yang memungkinkan pengguna menonton tayangan kesukaan melalui berbagai macam sarana seperti smartphone, smartTV, tablet, komputer dan lain sebagainya. Dalam kuartal terakhir penggunanya meningkat 10,09 juta pelanggan sehingga total pelanggannya mencapai 193 juta di seluruh dunia.
Saya pun termasuk yang menjadi pelanggan baru Netflix. Apa yang menarik dari situ? Sepanjang WFH, saya banyak menonton film serial yang diproduksi Netflix. Terutama kisah mafia atau gembong narkoba yang jaringannya merentang dari Meksiko hingga Kolombia.
Film pertama yang saya tonton berkaitan dengan Narcos yang mengisahkan seorang Pablo Emilio Escobar Gaviria atau Pablo Escobar yang mampu membangun imperium kartel narkobanya dari Kota Medellin, Kolombia. Awalnya ia hanya seorang penyelundup barang-barang elektronik yang dibutuhkan masyarakat.
Menariknya meski hanya penyelundup barang-barang elektronik, ia sudah mampu “menguasai” aparat penegak hukum agar bisnisnya bisa berjalan lancar. Setelah membangun kartel narkobanya, Escobar bahkan mampu merangsek ke semua lini kekuasaan dan sempat terpilih menjadi anggota parlemen. Walau pada akhirnya ia mendapat penolakan dari anggota parlemen lainnya karena dituding sebagai gembong narkoba.
Puncak imperium kartel Escobar adalah mampu menguasai 80% pasar kokain di Amerika Serikat (AS) dengan keuntungan yang mencapai US$ 30 miliar. Ia karena itu sempat diganjar predikat sebagai salah satu orang terkaya versi Forbes. Itu pula yang membuatnya menjadi musuh nomor satu DEA atau lembaga semacam BNN AS.
Setelah kartel narkoba Escobar hancur, tak lalu AS bersih dan aman dari kokain Kolombia. Justru kehancuran Escobar membuat kartel pesaingnya mengambil alih pasar yang tadinya dikuasai Escobar. Kartel Cali, demikian pesaing Escobar yang dipimpin oleh empat orang yaitu Gilberto, Migel, José Santacruz Londoño dan Helmer “Pacho” Herrera.
Kartel Cali lebih terorganisasi. Lebih rapi. Jaringan mereka ada di mana-mana. Mulai dari aparat penegak hukum hingga para menteri di pemerintahan Kolombia. Bahkan dalam film tersebut digambarkan presiden baru Kolombia pun mendapat sokongan dana dari kartel Cali. Itu sebabnya, DEA lebih sulit memberangus kartel ini meski mendapatkan bukti-bukti lengkap terkait kejahatan terorganisasi mereka.
Kedutaan Besar AS di Kolombia pun melarang agen DEA untuk menangkap para pimpinan kartel Cali. Itu saking “besarnya” pengaruh mafia ini terhadap pemerintahan Kolombia. Tidak kehilangan cara, pada akhirnya agen DEA membocorkan bukti-bukti terkait kartel Cali ke media massa. Itu pula yang akhirnya mengubah jalan cerita para gembong narkoba sehingga bisa diadili di AS.
Apa yang bisa dipetik dari kisah ini? Mafia rupanya bisa mengatur sebuah pemerintahan negara. Dan itu tidak hanya di Kolombia. Pun di Meksiko. Karena kisah itu, saya lalu teringat skandal jaksa Pinangki Sirna Malasari dan buronan kelas kakap Joko Tjandra yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini.
Meski berbeda kisah, saya tersentak di Indonesia pun para mafia mampu menguasai para aparat penegak hukum agar tujuan mereka tercapai. Seperti di Kolombia dan Meksiko, skandal jaksa Pinangki dan Joko Tjandra ini juga melibatkan pejabat tinggi di lembaga Polri dan Kejaksaan Agung. Khusus di Kejaksaan Agung bahkan disebut-sebut melibatkan pejabat tertingginya.
Upaya untuk menuntaskan skandal tersebut masih berjalan hingga saat ini. Walau publik meragukan upaya itu akan menyentuh para pejabat tingginya. Khusus di Kejaksaan Agung, upaya menuntaskan skandal itu berjalan sangat lamban. Mengingat gembong narkoba di Kolombia pada akhirnya bisa dibongkar dan ditangkap, akankah skandal jaksa Pinangki dan Joko Tjandra ini berujung sama? [Kristian Ginting]