Maestro Musik Tradisi Karo, Timbangen Pariangin-angin

Maestro musik suku Karo Timbangen Pariangin-angin (69) di Festival Musik Tradisi Danau Toba, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Indriani)

Satu satu dari puluhan maestro musik Batak yang terlibat dalam Festival Musik Tradisional Indonesia (FMTI) 2021 adalah Timbangen Pariangin-angin (69). Lelaki berkulit sawo matang dan berkaca mata ini sudah menggeluti musik tradisi Karo sejak 1970-an, saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).

Sebagai pemusik, ayahnya mengenalkan musik tradisi padanya. Awalnya, ia belajar memukul gong, tapi kemudian ia diminta belajar alat-alat musik lainnya. Satu demi satu alat musik tradisi dipelajarinya dari maestronya masing-masing. Hingga akhirnya, ia belajar pula menyanyi sampai ahli.

Dia mengenang pada era 1970-an hingga 1990-an, musik tradisi berada pada masa jayanya. Perkolong-kolongan selalu melengkapi setiap acara di masyarakat, mulai dari perkawinan, acara adat, pesta tahunan, hingga menaiki rumah. Bahkan, ia sering diundang ke luar kota untuk menampilkan seni tradisi tersebut.

Sebagai salah satu kesenian Suku Karo, perkolong-kolongan yang diiringi musik tradisi memiliki syair yang berisi nasihat sekaligus memberi hiburan kepada para penonton. Di perkolong-kolongan, Timbangen Pariangin-angin awalnya bermain gendang, lalu beranjak bermain terompet dan kemudian menjadi penyanyi.

Tempo lagu yang dibawakan penyanyi pada perkolong-kolongan tergantung dari suasana acaranya. Ada tempo lambat, sedang dan rancak. Namun demikian, perkolong-kolongan memiliki ciri khas yang dikenali dari nada-nada bunyi dan perangkat musik yang digunakan.

Musik, bagi masyarakat Karo, bukan sekedar alunan nada, tapi memiliki makna. Misalnya pada saat memasuki rumah baru, para penyanyi atau yang disapa nuri-nuri mendoakan pemilik rumah tersebut selalu dilimpahi rezeki dan diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Jadi setelah menyanyi itu, bertambah rezeki dan sehat pemilik rumahnya. Itulah maknanya,” jelas Timbangen Pariangin-angin.

Kondisi itu berbeda dengan musik modern yang hanya sekadar hiburan maupun bercerita tentang percintaan. Musik tradisional Karo, lanjut Pariangin-angin, memiliki makna yang berisi doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sejak masuknya musik modern di kehidupan masyarakat Karo, perlahan panggilan bermain yang diterimanya semakin berkurang. Masyarakat lebih menyenangi musik modern. “Sekarang sudah agak berkurang, job atau panggilan dari masyarakat berkurang karena masuknya musik modern,” katanya.

Bahkan, terkadang acara adat pun sekarang sudah dimasuki musik modern. Dahulu, acara orang meninggal selalu menghadirkan musik tradisi, tapi kini acara demikian sudah diisi musik modern. “Itu yang membuat kami agak kecewa sebagai pemusik tradisional,” katanya.

Apalagi saat pandemi Covid-19 melanda, tak ada lagi panggilan untuk perkolong-kolongan. Ia pun lebih banyak menghabiskan waktunya berkebun di ladang.

Namun ada yang lebih memprihatinkan dirinya, yakni semakin sedikit generasi muda yang mengenal musik tradisi. Pariangin-angin mengaku pintu rumahnya terbuka lebar bagi generasi muda yang ingin belajar musik tradisi.

Ke depan, dia berharap agar pemerintah memberikan perhatian pada para pemusik tradisional. Dia menilai pemerintah daerah bisa memberdayakan para pemusik tradisional.

Timbangen Perangin-angin lahir pada 15 Desember 1950 di Kampung Mbarue, Deli Tua, Kecamatan Deli Serdang, Kota Medan. Ia mulai bersekolah tingkat dasar sekitar tahun 1958 di Deli Tua. Setelah lulus SD, ia lalu melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama pada 1964 dan Sekolah Menengah Umum pada 1967 juga di Deli Tua.

Timbangen Perangin-angin memiliki empat orang saudara kandung, yang keseluruhannya tidak ada yang mengikuti jejak beliau pada dunia musik tradisional Karo. Ia tidak mengizinkan saudara-saudaranya mengikuti jejaknya pada jalur musik Karo. Selama ini ia sudah mengalami sendiri, hidup dari musik tradisional tidak bisa diharapkan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Itu sebabnya, ia menyarankan kepada saudara-saudaranya agar lebih rajin menuntut ilmu di sekolah tinggi formal hingga perguruan tinggi, lalu bekerja. Pandangan hidupnya ini juga diturunkannya kepada anak-anaknya. Dengan demikian, tidak satu pun dari keturunannya yang mengikuti jejak sang ayah di jalur musik tradisional Karo. Ketiga putrinya merupakan tamatan perguruan tinggi favorit dan ketiganya juga sudah bekerja.

Padahal, Timbangen Perangin-angin sendiri mulai tertarik dengan musik tradisional Karo sekitar tahun 1970-an karena dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya yang bergelut dalam dunia musik Karo. Adalah Bengkel Pinem yang menjadi inspirator sekaligus mitra bermusik yang berpegaruh dalam awal karir bermusik Timbangen Perangin-angin.

Namun, seringnya mendapat tawaran untuk bernyanyi, membuat Perangin-angin lebih dikenal sebagai seorang perkolong-kolong penyanyi. Hal ini berlangsung hingga tahun 1996, saat ia memutuskan untuk kembali ke dunia musik Karo dan menjadi seorang penggual.

Untuk melejitkan namanya, ia pernah mengikuti ajang ”Festival Menyanyi dan Menari” di daerah Deli Tua pada tahun 1970an dan memperoleh piagam penghargaan. Selama tahun 1970 an, ia sering dipanggil untuk bernyanyi di kota-kota besar di Kalimantan, Bali, Salatiga, Semarang, terutama untuk mengisi acara Gendang Guro-Guro Aron yang diadakan oleh perkumpulan masyarakat dan mudai Karo di daerah-daerah tersebut.

Menurut pengakuannya sendiri, pekerjaan sebagai penggual dalam dunia musik tradisional Karo dijadikannya sebagai pekerjaan sampingan sekaligus pelampiasan hobi belaka. Pekerjaan utamanya berwiraswasta, bahkan mengerjakan proyek pembangunan seperti pembuatan kolam pancing dan galian proyek C. [AT]