Buah naga kebun warga Balige Tobasa masuk pasar
Buah naga kebun warga Balige Tobasa masuk pasar (InfoPublik)

Naga Super Balige. Begitu nama buah yang dijual salah satu lapak online. Buah makanan kaisar Jepang yang dijual seharga Rp 30 ribu ini dikirim dari Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Provinsi Sumatera Utara, yang beribukotakan Balige. Puluhan ribu stok buah naga merah tersedia untuk dibeli dari Balige, dan kini menjadi sumber ekonomi rakyat.

Buah naga, yang sebelumnya langka didapat di pasar tradisional Balige, kini sudah banyak dipasarkan. Ia sudah menjadi buah hasil kebun warga setempat. “Sekarang buah naga sangat gampang didapat di Kabupaten Tobasa,” kata Riris Simanjuntak, pedagang di pasar Balige. “Sebelumnya buah ini langka, sekarang justru kami dapat pasokan dari warga.”

Dia mengatakan, kebutuhan buah naga untuk dipasarkan di Pasar Balige sebelumnya harus didatangkan dari daerah lain. Di antaranya dari Simalungun, Karo dan Medan. Sekarang pasokan buah naga bukan lagi dari luar, tapi justru sudah dicukupi warga atau pekebun di Tobasa. Bahkan, buah naga sudah menjadi jenis tanaman bunga di pekarangan rumah.

Fifi, seorang pembeli sekaligus pemilik usaha minuman jus, mengakui kualitas buah naga Balige tak kalah dari hasil produksi dari luar. Selain warnanya yang merah memikat, juga rasa dan aromanya harum dan manis. Dia membeli buah naga dengan harga paling tinggi Rp 40.000 per kilogram.

Balige kini dikenal dengan perkebunan buah-buahannya, yang membuatnya lebih menarik dalam sektor wisata, sekaligus menjadi sumber ekonomi masyarakat. Tanah Balige, seperti kota-kota lain sekitarnya yang berada di pinggiran perairan Danau Toba, sangat subur untuk ditanami berbagai jenis buah-buahan, termasuk buah naga. 

Sebagian buah-buahan di Balige dipasok dari kebun terdekat yang dikenal dengan Taman Eden 100. Didirikan oleh Marandus Sirait, kebun seluas tak kurang 40 hektar di Desa Sionggang Utara, Lumbanrang, Lumban Julu, ini menyediakan berbagai produk buah-buahan. Tanaman andalannya andaliman, yang dijual segar atau menjadi barang olahan seperti bumbu bubuk, sambal, bahkan bandrek.

Andaliman (itir-itir) merupakan bumbu masak khas Balige yang berasal dari kulit luar buah. Bumbu ini hanya dikenal untuk masakan Batak, sehingga dikenal sebagai merica batak. Ia mampu menghilangkan bau amis pada ikan mentah, memiliki aroma jeruk yang lembut namun cukup pedas sehingga meninggalkan sensasi kelu atau mati rasa di lidah, meskipun tidak sepedas cabe atau lada. 

Tak jauh dari kota Balige, di Desa Hutagaol Pea Talun, Kecamatan Balige, warga banyak menanam pohon alpukat. Jack Pardede, petani pemilik kebun alpukat mengatakan, pohon alpukatnya berbuah dua kali setahun, meskipun kadang tidak serentak. Harga alpukat terbilang bervariasi antara Rp5.000 sampai Rp6.500/kilogram. 

Di Balige, kita juga bisa mendapatkan buah nanas yang banyak ditanam di luar daerah. Yaitu, dari Desa Onan Runggu 1, Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara. Lokasi ini dapat ditempuh sekitar tiga jam via jalan darat Lintas Barat Sumatera. Konon, di Desa Onan Rungu 1 terdapat kebun nanas terbesar di dunia. Produksi nanasnya sekitar 18 ton per hari. 

Balige memang mudah dijangkau dari enam kota lainnya yang mengelilingi Danau Toba, baik melalui jalur darat maupun jalur air. Akses paling dekat menuju ke situ bisa dijangkau dari Bandara Silangit yang berjarak 20 kilometer. Sedangkan dari Medan, jaraknya 240 kilometer atau enam jam melintasi Jalan Lintas Tengah Sumatera. 

Sepanjang perjalanan darat menuju ke sana akan terlihat pemandangan alam Danau Toba serta hamparan sawah yang luas. Dari ciri khas pakaiannya tampak, penduduknya beretnis suku Batak Toba. Kabupaten Tobasa memang merupakan pemekaran dari daerah tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara berdasarkan UU No. 12 Tahun 1998.

Di pusat kota, di Jl. Sisingamangaraja tepi Danau Toba, terdapat Pasar Onan (balerong), pasar tradisional Balige. Di situ kita bisa membeli hasil tanaman buah-buahan yang dipetik warga dari kebun-kebun mereka. Selain buah naga, juga banyak dijual produk andalan seperti andaliman, asam jungga, andalehat, asam patikala, dan daun ubi.

Jika berkunjung kesana sekitar jam tujuh pagi, kita akan berkesempatan memotret para pedagang yang berasal dari Pulau Samosir. Mereka turun dari kapal khas yang terbuat dari kayu, membawa barang dagangan berupa buah-buahan yang berasal dari daerah sekitar. Sebagian pedagang menurunkan kerbau dan bahan dagangan lainnya dari kapal.

Tapi, Pasar Onan Balige mempunyai hari besar yang disebut Hari Pekan, yakni Hari Jumat. Setiap Hari Jumat, setidaknya ada tiga ribu pedagang menggelar lapak di pasar ini dengan berbagai macam dagangan. Sementara pada hari-hari biasa, sejumlah kios yang dibangun di dalam balerong hanya diisi sekitar 500 pedagang.

Pasar Onan Balige tampak unik dilihat dari bangunannya. Dari jauh, kemegahan bangunan pasar ini mudah terlihat, berbentuk sopo atau rumah adat Batak yang dihiasi seni ukiran Batak yang disebut seni artistik gorga. Di pasar ini ada enam buah rumah adat yang disebut Balerong, berderet di pinggir jalan.

Di atap bangunan pasar, akan jelas terlihat ukiran gorga, dengan tiga warna khas: hitam, merah, dan putih. Konon, pembangunannya dikerjakan arsitek yang berbeda dengan proses pengerjaan manual sehingga ukiran-ukirannya sangat khas. Meski kental dengan budaya Batak, pasar ini dibangun kolonial Belanda sekitar tahun 1936.

Dulunya pasar ini digunakan sebagai balairung tempat hiburan, panggung rakyat, sekaligus ruang pertemuan terbuka. Kesenian lokal dan teater opera dulu sering kali ditampilkan di sana. Namun semenjak Belanda hengkang, tempat ini mulai beralih fungsi menjadi pasar, mempertahankan para pedagang yang berjualan sejak dulu di situ. [AT]