Ilustrasi: Stadion Gelora Bung Karno

Koran Sulindo – Psaca kemerdekaan Indonesia, seperti tercatat dalam sejarah, ada kedekatan bangsa Indonesia dengan Uni Soviet (sekarang Rusia). Terlebih lagi ketika Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang menggaungkan faham Nasakom-nya. Hubungan kedua negara saat itu, bisa dikatakan sangatlah mesra. Terlebih lagi saat Indonesia berusaha merebut kembali Papua Barat dari tangan Belanda.

Berbagai usaha dilakukan oleh TNI waktu itu, untuk melakukan pembelian senjata. Pada awalnya, ketika mengunjungi negara-negara blok Barat menerima penolakan yang tegas karena Belanda merupakan sekutu mereka. Atas perintah Bung Karno, ABRI lalu memalingkan muka ke blok timur, terutama ke Rusia.

Dari negeri beruang merah inilah, Indonesia membeli berbagai alutsista yang malah bsia dikatakan termodern pada waktu itu. Bahkan, ada beberapa jenis persenjataan hanya sedikit negara yang diperkenankan menggunakannya, seperti MiG-21 dan Tu-16 AKS. Selain itu, persenjataan dari pembom ini yaitu AS-1 Kennel hanya dipergunakan di dua negara saja yaitu Indonesia dan Rusia itu sendiri.

Selain mendapat kemudahan membeli alutsista tersebut, negeri asalnya Boris Pasternak ini, juga membantu pembangunan dalam bentuk fisik ke Indonesia. Hingga saat ini, bangunan-bangunan tersebut masih ada dan berfungsi.

Bagi kita yang tinggal di ibukota Jakarta, pasti tahu dengan Rumah Sakit Persahabatan, di wilayah Rawamangun, Jakarta Timur. Rumah sakit ini dibangun sepenuhnya menggunakan bantuan dana dari Rusia. Kata ‘Persahabatan’ itu sendri merupakan arti dalam bahasa Rusia ‘Druzhba’.
Keberadaan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan yang berdiri di salah satu kawasan hijau (area resapan) Ibukota Jakarta ini sebenarnya dimulai semenjak era akhir dari Pemerintahan Sukarno. Pada periode sekitar 1960-1965, Indonesia memiliki hubungan bilateral yang ekstensif dengan beberapa negara Blok Timur, salah satunya dengan yang terbesar yaitu Negara Rusia.

Sebagai bagian dari hubungan kedua negara saat itu yang erat; Pemerintah Rusia memberikan bantuan dan kerjasama dalam banyak bidang, yang salah satunya adalah mendirikan rumah sakit di kawasan Jakarta Timur yang dikenal sebagai Rumah Sakit (RS) Persahabatan. Nama “persahabatan” pun dipilih secara simbolik untuk menggambarkan adanya hubungan yang mesra antara kedua negara pada zaman itu.

Jika kita kembali melihat sejarah Nasional, pada awal Tahun 1960 Presiden Sukarno mulai menggunakan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sejak itu dimulailah era dan pengakuan secara terbuka komunisme sebagai salah satu paham dan ideologi resmi negara di Indonesia. Presiden Rusia Nikita Kruschev pada tahun yang sama mengunjungi Jakarta, yang kemudian dibalas kunjungan Jendral Nasution ke Rusia pada akhir tahun 1960.

Tak lama setelah pertukaran kunjungan tersebut, Rusia mulai mengucurkan bantuan dalam jumlah yang sangat besar saat itu kepada Indonesia, yang sebagian besar sebenarnya digunakan di bidang militer untuk menghadapi sisa-sisa pemberontakan PRRI, Permesta, Darul Islam di Sumatera, Sulawesi dan Jawa, memulai operasi Trikora untuk mengambil kembali Irian Barat, dan kemudian konfrontasi dengan Malaysia. Sebagian dana bantuan Rusia tersebut juga dipakai untuk mendirikan Monumen Nasional (Monas); salah satu peninggalan Presiden Sukarno kepada Indonesia yang sangat terkenal.

Pembangunan RSUP Persahabatan di Rawamangun Jakarta Timur, dimulai pada tahun 1961, berjalan selama 3 tahun, dan dipimpin langsung oleh para insinyur Rusia. Penyerahan bantuan rumah sakit secara resmi oleh Pemerintah Rusia kepada Pemerintah Indonesia dilakukan pada tanggal 7 November 1963. Tanggal tersebut kemudian dikenal sebagai hari jadi RS Persahabatan, yang setiap tahun dirayakan secara resmi dengan kehadiran wakil pemerintahan Indonesia (biasanya Menteri Kesehatan RI), perwakilan beberapa negara sahabat Indonesia, dan tentu saja kehadiran pemerintah Rusia (perwakilan dari Kedutaan Besar Rusia) sebagai tamu tetap.

Peninggalan berikutnya adalah, Tugu Tani. Patung Pahlawan (dikenal juga dengan Tugu Tani) adalah patung yang melambangkan seorang ibu yang melepas anaknya ke medan pertempuran. Patung ini adalah karya pematung kenamaan Uni Soviet, Matvey Genrikhovich Manizer, dibantu oleh putranya Ossip Manizer.

Karya –karya Matvey Manizer sejak 1930-an sudah menjadi karya-karya yang diakui di Uni Soviet. Karya-karyanya tersebar mulai dari St.Petersburg hingga Moskow. Karya-karya Matvey sendiri merupakan klasik bagi aliran sosialis-realisme. Aliran yang kompatibel dengan Sosialisme – Komunisme. Dimana sebuah karya seni  haruslah menjadi sebuah pembawa  pesan proses serta tujuan revolusioner.

Sejarah berdirinya patung ini adalah, pada Mei 1959, Soekarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet untuk bertemu dengan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Saat tiba di Moskow, Soekarno tertarik dengan patung-patung bertema sosialis-realisme yang tersebar di beberapa penjuru kota. Oleh pejabat Uni Soviet, Soekarno pun diperkenalkan dengan Matvey, yang saat itu menjabat sebagai vice president  USSR Academy of Arts. Matvey sebetulnya pada dekade 50-an sudah tidak aktif berkarya, dengan karya terakhirnya, Monumen Ivan Pavlov di Kota Ryazan, diselesaikan tahun 1950.

Soekarno mengundang the Manizers untuk datang ke Indonesia dan membuat sebuah karya yang diilhami keadaan di Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi. Matvey akhirnya terpesona oleh cerita perjuangan rakyat yang konon berasal dari Jawa Barat, dimana ada seorang ibu yang mendukung anaknya pergi berperang demi kemerdekaan dan tanah airnya. Dimana sang ibu membekali anaknya dengan makanan dan harapan.

Manizer lalu mewujudkan gagasan itu sekembalinya ke Uni Soviet. Beberapa lama di tahun 1963 ia menyelesaikan patung tersebut. Lalu setelah selesai sempurna, patung tersebut dikirimkan ke Jakarta melalui kapal laut, diberikan sebagai tanda persahabatan Moskow-Jakarta. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di Menteng, dan diberi judul  Patung Pahlawan. Soekarno melengkapi karya ini dengan membubuhkan kata-kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.

Bangunan monumental lainnya adalah Gelora Bung Karno. Di awal Februari 1960, tepatnya pada tanggal 8 Februari Presiden pertama Ir Soekarno, (Bung Karno)
menancapkan tiang pancang Stadion Utama sebagai pencanangan pembangunan kompleks Asian Games IV, disaksikan wakil perdana menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan.

Pembangunannya didanai dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS yang kepastiannya diperoleh pada 23 Desember 1958. Ada hal yang istimewa tentang Stadion Utama ini. Ciri khas bangunan ini adalah ‘atap temu gelang’ berbentuk oval. Sumbu panjang bangunan (utara-selatan) sepanjang 354 meter, sumbu pendek (timur-barat) sepanjang 325 meter. Bentuk daari stadion ini mirip dengan Stadion Luzhniki yang ada di Moskow, ibukota Rusia.

Stadion ini dikelilingi oleh jalan lingkar luar (athletic tracks) sepanjang 920 meter. Bagian dalam terdapat lapangan sepakbola berukuran 105 x 70 meter, berikut lintasan berbentuk elips, dengan sumbu panjang 176,1 meter dan sumbu pendek 124,2 meter. Peninggalan bangunan lainnya adalah PT Krakatau Steel. Perusahaan ini dibangun sesuai dengan rencana Bung Karno agar Indonesia memiliki industri baja yang tangguh. Banyak insinyur dari Rusia ikut serta membantu perencanaannya.
Bahkan, salah satu peninggalan sejarah bagaimana kedekatan hubungan antara Indonesia dengan Rusia adalah kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Pada awalnya, kota ini hanya berupa sebuah desa bernama Pahundut.

Dimulai dengan ayunan mandau Presiden Soekarno pada seutas tali penahan tiang pancang di sebuah tebing pinggir sungai Kahayan di atas sebuah bukit yang bernama Bukit Jekan, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Hunjaman tiang kayu ke tanah di atas Bukit Jekan itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini selanjutnya dinamakan Palangka Raya yang bermakna tempat suci, mulia, serta agung, yang dirancang sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangka Raya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah yang pada malam hari sebagian wilayahnya akan tampak gelap secara bergiliran karena selalu kekurangan pasokan listrik.

Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangka Raya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai. Sepotong jalan itu, kini menjadi saksi kehandalan para insinyur Rusia dalam membangun jalan di daerah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka.

Pada 17 Desember 1962, proses pembuatan pondasi Jalan Palangka Raya – Tangkiling usai. Selanjutnya tinggal pembuatan drainase, pengerasan, serta pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, namun hasilnya sempurna. Sayangnya, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melalui Parenggean selanjutnya ke Sampit serta Pangkalan Bun yang menghubungkan Palangka Raya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966.

Kala itu jalan yang terbangun baru sepanjang 34 km. Perubahan situasi politik dan pemerintahan pasca peristiwa G-30S/PKI pada 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semuanya pekerja proyek menyembunyikan diri lantaran tidak mau disangkutpautkan dengan Rusia juga Partai Komunis Indonesia.

Bagi para insinyur Rusia, proyek ini mempertaruhkan prestise bangsa, insinyur Soviet secara maksimal menerapkan teknik tinggi yang tidak di semua jalan raya di Uni Soviet sekali pun dipergunakan. Selain jalan raya, para insinyur Soviet juga membangun jembatan serta saluran air di Tangkiling.

Bulan November 1966 para insinyur Soviet diberitahu bahwa mereka harus meninggalkan bumi Kalimantan secepatnya karena terjadinya perubahan politik di Indonesia. Situasi berubah drastis, segala sesuatu yang berbau Soviet dan Rusia saat itu memang tidak lagi dianggap sebagai sahabat oleh Indonesia. (Hano Zahaban)