Sudah terbukti perkiraan banyak orang bahwa skandal korupsi telah menjadi sirkus dengan berbagai atraksi. Rakyat muak menyaksikan akrobat, sulap, komedi, dan aksi berani mati yang ditampilkan setiap aktor rombongan sirkus korupsi.
Rombongan sirkus korupsi lebih sering datang berkunjung dan
bergunjing di kota-kota kita daripada bergantinya pemerintahan. Sejak zaman Orde Baru, sirkus korupsi memang tak pernah berhenti menarik perhatian kita sekalian.
Tontonan sirkus korupsi yang mereka sajikan jauh lebih beragam
dibandingkan dengan sirkus beneran. Kalau sirkus sungguhan
menyuguhkan pelbagai binatang dan orang, sirkus korupsi menyajikan pejabat atau anggota komisi yang rajin membentuk komplotan.
Atraksi gajah yang lucu bisa berdiri dengan dua kaki sudah tidak laku lagi. Ia digantikan dengan atraksi para koruptor anggota DPRD yang berwajah badak, yang tersenyum dan tertawa dari balik jeruji.
Di sirkus betulan beberapa ekor kuda berlari rapi mengelilingi
arena, sebuah tontonan yang sangat menawan. Lain dengan sirkus korupsi, biasanya para calon tersangka sehabis diperiksa “berlari-lari ketakutan”, menghindari tanggung jawab dan kejaran para wartawan.
Ahli sulap di sirkus sungguhan beraksi dengan tongkat dan topi
hitam yang mengeluarkan kelinci atau burung merpati. Berbeda dengan sang koruptor hitam yang pandai menyulap dana taktis atau menghilangkan barang-barang bukti.
Tontonan sirkus profesional biasanya diselingi lawakan badut-
badut yang berhidung tomat, berperut buncit, bodoh, tidak punya harga diri. Lho, kok bisa sama ya dengan penampilan para koruptor negeri ini?
Saya sangat suka dengan jago-jago akrobat yang bermain trampolin alias “kasur membal” yang dengan enaknya memutar-mutar badan sendiri. Namun, saya heran ketika ada seorang mantan menteri ketakutan mau ditangkap Kejaksaan Agung sampai-sampai ia ngompol di mobilnya
sendiri.
Banyak penonton yang takut tatkala sirkus menyajikan atraksi “roda gila” yang mempertontonkan pengendara motor ngebut di tong raksasa. Banyak rakyat yang “setengah gila” karena korupsi menjalar di mana-mana, mulai dari di KPU sampai ketika Aceh dilanda bencana.
Kita pasti dipaksa menahan napas sewaktu menyaksikan aksi rekstok gantung (trapeze) pada saat ahli-ahli senam berakrobat sambil terbang tinggi di udara. Ah, mereka kalah aksi akrobatis para koruptor kita.
Di mana pun di dunia ini, setiap sirkus dipimpin oleh yang namanya “the ringmaster” alias dalang. Kalau di Indonesia koruptor bergelar “master” sampai doktor banyak sekali, mulai dari yang lulusan lokal sampai yang lulusan Australia.
Kenapa bangsa kita senang korupsi? Soalnya sejak kecil kita mungkin jarang diajari agar jangan mengambil hak atau barang yang bukan milik pribadi.
Konon katanya ilmu merampas hak orang lain telah membudaya ketika struktur pemerintahan lokal, seperti kabupaten, bekerja sama dengan Belanda. Kalau Anda ingin mengetahui bagaimana bentuk kerja sama pemerasan bangsa sendiri itu secara lengkap dan mendetail, tontonlah film klasik bertajuk “Saijah dan Adinda”.
Ada juga yang berteori korupsi sudah marak tatkala kita dalam
proses mengambil alih kekuasaan fisik, seperti usaha perkebunan
sampai jaringan kereta api, dari tangan Belanda. Dan tentu saja ada benarnya teori korupsi ala “Ali-Baba” di masa Orde Baru, yang merupakan sebuah bentuk kroni antara penguasa dan pengusaha.
Korupsi “Ali-Baba” dilegalkan melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan dibuat menjadi hal yang menjadi biasa. Apalagi dana pembangunan terus mengucur dan tanpa kontrol yang jelas dari lembaga-lembaga seperti IMF atau Bank Dunia.
Bagi para pejabat kita, hidup kaya merupakan hal yang lumrah. Jangan heran pula kalau anak-anak sang penguasa bersama kawan-kawannya menguras uang negara melalui “megakolusi dan korupsi” yang akhirnya membuat bangkrut negara tercinta.
Selama sekitar 30 tahun praktik “Ali-Baba” berlangsung tanpa
gangguan siapa-siapa. Kritik internal terhadap penyalahgunaan
kekuasaan oleh Orde Baru yang dipelopori Komite Anti Korupsi (KAK) atau Petisi 50 saja tidak pernah diterima.
Kritik masyarakat terhadap penyalahgunaan selalu dicurigai sebagai ancaman untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara. Unjuk rasa demi unjuk rasa antikorupsi yang dilancarkan para mahasiswa selalu berakhir dengan percuma dan membuat warga menjadi lelah.
Sikap above the law bukan cuma didominasi oleh para pejabat pemerintah, rakyat pun akhirnya merasa bisa ikut serta. Anda tinggal lihat lingkungan tempat tinggal atau di jalan-jalan, pelanggaran terhadap aturan sudah menjadi lingua franca atau bahasa sehari-hari kita.
Kita tidak bisa lagi membedakan warna lampu pengatur lalu lintas, apakah yang menyala yang berwarna hijau atau yang merah? Kita tak tahu lagi mana jalan trotoar untuk pejalan kaki dan sering bingung menghitung apakah jalur yang bisa dilalui jumlahnya dua atau tiga?
Penyakit korupsi sudah seperti semrawutnya lalu lintas di Ibu Kota. Kendaraan terhenti karena setiap pengendara mau menang sendiri, ada “cepek man”, ada “moge” (motor gede) masuk ke jalur busway, ada rombongan VIP, dan ada kendaraan-kendaraan umum yang berhenti seenak hati.
Korupsi sama dengan kemacetan total di jalan raya karena dua-duanya tidak pernah memakai logika. Jadi, kalau ada yang mau mengurai macet total atau bertekad memberantas korupsi, saya sih bersikap “percaya enggak percaya”.