Koran Sulindo – Longsor Banaran, Ponorogo, Jawa Timur, menyimpan potensi yang lebih parah. Yakni diprediksi akan terjadinya banjir bandang di wilayah sekitar lokasi bencana tanah longsor. Pun juga, tanah longsor yang terjadi beberapa waktu lalu berhenti di lahan miring masih mungkin untuk berlanjut dan mengalami longsor susulan. Karena itu masyarakat diminta selalu waspada agar tak terjadi korban lebih banyak lagi.
“Biasanya kalau sudah terjadi banyak longsor, selang beberapa saat kemudian disusul banjir bandang dan skala kematian bisa berlipat. Kami ingin menghindari kejadian banjir bandang ini,” ujar Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D, yang juga dikenal sebagai pakar longsor dalam konferensi pers yang berlangsung Selasa (11/4) di Gedung Pusat UGM.
“Bencana susulan sering kali berisiko untuk menelan korban lebih daripada bencana yang pertama. Karena pada saat bencana yang pertama masyarakat itu ingin menolong atau mencari keluarganya berkumpul di situ tanpa mengetahui barang kali ada risiko yang cukup besar,” tambah Bagus Bestari Kamarullah, salah satu anggota Tim Mitigasi Bencana UGM.
“Saatnya mengalah dulu dengan alam, untuk sementara waktu meninggalkan tempat-tempat yang rawan,” tutur Dwikorita lagi.
Dijelaskan oleh Dwikorita, banjir bandang yang mengikuti bencana longsor merupakan bencana yang sangat berbahaya, karena mengandung endapan longsor berupa bebatuan dan pepohonan yang dapat menghancurkan pemukiman warga.
Mengacu pada beberapa peristiwa banjir bandang yang pernah terjadi di Indonesia, Dwikorita mengidentifikasi beberapa gejala awal terjadinya banjir bandang, seperti bertambahnya ketinggian air sunga serta perubahan kondisi air menjadi lebih keruh dengan membawa muatan pasir dan kerikil.
“Menurut penuturan korban bencana sebelumnya, diceritakan bahwa saat berada di mulut sungai tiba-tiba mereka melihat tiba-tiba air menjadi keruh, tidak lama kemudian muncul luapan yang dahsyat. Tanda-tanda ini harus diwaspadai bersama. Semoga peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di Indonesia,” jelas Rektor UGM.
Peringatan ini dilontarkan Dwikorita setelah terjun langsung memimpin tim mitigasi bencana longsor UGM di desa Banaran, Ponorogo, Jawa Timur, yang merenggut korban 28 orang tersebut. Tim UGM ini selama seminggu mencari fakta riil di lapangan sekaligus mengetahui penyebab utama longsor tersebut. Tim yang berasal dari beberapa bidang ilmu ini melakukan analisis dan mitigasi terhadap kemungkinan terjadinya longsor susulan baik di lokasi kejadian atau pun wilayah lain di Ponorogo serta membantu pemetaan lokasi relokasi bagi warga yang terdampak bencana dengan menggunakan drone.
Dwikorita menjelaskan bahwa karakteristik lereng di lokasi bencana dengan bentuk lurusan yang memotong memang menunjukkan gejala rawan bencana longsor dan hanya tinggal menunggu adanya proses yang memicu itu. Ia menyebutkan air hujan sebagai salah satu pemicu yang mengakibatkan terjadinya longsor di wilayah tersebut. Meski demikian, ia menekankan bahwa peristiwa longsor belum tentu terjadi langsung setelah turunnya hujan, karena diperlukan proses bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah.
“Tidak selalu begitu hujan terus langsung runtuh, karena bisa saja longsornya baru terjadi beberapa jam sesudahnya. Karena itu selesai hujan jangan langsung ramai-ramai kembali,” ujarnya. [YUK]