Ilustrasi: Bank BJB, BUMD milik Pemprov Jawa Barat/bankbjb.co.id

Koran Sulindo – Manajemen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dituntut dapat bekerja secara profesional. Terlebih melihat peran strategis yang dimiliki dalam meningkatkan perekonomian dan penerimaan daerah. Repotnya, hingga saat ini BUMD tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, cantolannya hanya pada UU Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang di era otonomi daerah UU ini dicabut dan belum ada gantinya  hingga sekarang.

Hal ini diutarakan Wakil Ketua Badan Kerja sama BUMD se-Indonesia, Fahmi Akbar Idris, dalam seminar “Mewujudkan Profesionalisme Manajemen BUMD” di Fisipol UGM, Senin (10/4).

“Sampai sekarang belum ada dasar hukum yang kuat sehingga menjadi profesional BUMD itu ngeri-ngeri sedap,” ucapnya.

Fahmi berharap segera ada undang-undang yang mengatur secara jelas posisi kelembagaan BUMD. Pasalnya, sejak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2008 silam hingga saat ini belum ada kepastian terkait kelanjutan RUU BUMD ini.

Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun yang tampil pula sebagai pembicara mengatakan, hngga kini belum terdapat paradigma yang jelas terkait arah pengeloalan BUMD. Sementara upaya judicial review terhadap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengalami kegagalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK menetapkan permohonan pemisahan harta BUMN dari kekayaan negara tidak memiliki dasar hukum.

“Menjadi pengurus BUMD seperti di antara surga dan neraka. Surganya bernama honorarium, sedangkan nerakanya diincar KPK, BPK, serta penegak hukum lainnya,” ujar Refly.

Apa yang diutarakan Refly tambah ditegaskan lagi oleh dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM, Dr. Richo Andi Wibowo. Saat ini, katanya, banyak direksi perusahaan pemerintah (BUMD) yang terjerat kasus korupsi. Terdapat beberapa kasus yang terlihat secara tegas mengandung unsur korupsi seperti menerima suap. Meski, lanjutnya, dalam beberapa kasus terdapat pendapat yang berbeda baik oleh publik maupun pakar hukum terkait layak atau tidaknya kasus tersebut dikategorikan sebagai korupsi.

“Saat ini pasal 2 dan atau 3 tipikor didesain untuk memudahkan menjerat koruptor. Harapannya korupsi bisa sirna,” kata Richo.

Sementara itu pengamat Ekonomi Universitas Islam Indonesia Suwarsono Muhammad, M.A., mengatakan, upaya menyehatkan perusahaan merupakan persoalan yang tidak mudah. Menyehatkan perusahaan akan jauh lebih sulit daripada menumbuhkan perusahaan. Demikian halnya dengan menyehatkan BUMD/BUMN, bukan hal yang gampang.

“Saat ini jumlah BUMD yang sakit lebih banyak dibanding yang statusnya sehat. Padahal menyembuhkan BUMD lebih sulit daripada menyembuhkan BUMN” kata mantan penasihat KPK ini.

Karenanya, menurut Suwarsono, perlu dilakukan terobosan baru untuk menjadikan BUMD kembali sehat, seperti membuat kebijakan yang tidak normal dijadikan sebagai kenormalan baru.

“Mengelola organisasi BUMD susah karena ada jebakan-jebakan hukum,” terangnya.

Banyaknya jebakan aturan dan tidak dijalankannya business judgment rule oleh penegak hukum membuat BUMN/BUMD sulit mencari profesional yang bersedia mempin perusahan milik daerah.

“Business judgment rule merupakan prinsip untuk melindungi direksi dari ancaman pidana dalam mengambil berbagai keputusan bisnis,” kata Suwarsono. [YUK]