Koran Sulindo — Saat ini permainan tradisional makin jarang ditemukan di daerah perkotaan. Anak-anak zaman sekarang lebih memilih bermain dengan gawai atau permainan daring. Permainan modern hampir menggantikan berbagai permainan tradisional yang dulu selalu anak-anak mainkan saat jam istirahat sekolah atau sore hari menunggu azan maghrib tiba.
Syukurlah hal itu tidak terjadi di perdesaaan. Anak-anak kampung masih banyak yang memainkan permainan-permainan tradisional di lapangan dan pekarangan-pekarangan rumah, seperti halnya Benthik asal Yogyakarta ini.
Permainan yang dikenal dengan istilah Patil Lele, Gatrik atau Benthik ini pada masa lalu banyak sekali dimainkan anak-anak dan sangat populer di desa-desa daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Menariknya karena memang permainan ini selain seru dimainkan bersama teman-teman, peralatannya juga sangat mudah dicari di setiap penjuru desa.
Benthik hanya menggunakan dua ranting/ bambu kecil untuk memainkannya. Saat kedua ranting ini beradu maka muncul suara “thik – thik” sehingga berdasar proses onomatope (tiruan bunyi) permainan ini disebut Benthik. Benthik dimainkan dengan dua ranting kayu yang berukuran panjang (sekitar 30 cm, disebut benthong) dan yang berukuran pendek (sekitar 10 cm, disebut janak). Keduanya memiliki diameter sekitar 1 cm. Ranting panjang dipergunakan untuk memukul ranting yang lebih pendek.
Baca juga: Hiburan Yang Berkelas ala Parikan Jawa
Permainan ini memerlukan halaman atau lapangan yang bersih (tidak ada tumbuhan), rata dan cukup luas. Benthik diawali dengan membuat lowakan atau ceruk kecil di tanah (Sekitar 10 x 5 cm dengan kedalaman 5 cm) tempat janak ditempatkan dalam posisi melintang di atasnya.
Bisa juga dengan menggunakan dua buah batu bata yang berjarak sekitar 8 cm sehingga janak bisa ditempatkan di atasnya. Agar tongkat tidak mudah patah saat digunakan, hanya kayu berstruktur ulet dan kuat yang boleh dipakai, seperti kayu pohon jambu biji, kayu pohon mangga, kayu pohon klengkeng, kayu pohon kemuning, atau sejenisnya.
Kerapkali anak-anak harus mencari ke dalam kebun untuk mendapatkan ranting kayu yang memenuhi syarat dengan risiko bentol-bentol digigit nyamuk atau gatal-gatal terkena ulat bulu. Ranting pohon kemudian dipotong menjadi dua bagian dengan panjang masing-masing 30 cm dan 10 cm.
Kulit kayu dikelupas dengan hati-hati menggunakan pisau untuk membuat kedua permukaan tongkat lebih halus. Pembagian tugas jelas berlaku di sini. Biasanya ada yang menghaluskan tongkat kayu, sedangkan yang lain menggali luwokan (lubang luncur).
Permainan Benthik dapat dimainkan perorangan jika pemainnya sedikit atau berkelompok jika banyak. Diawali dengan hompimpa, pihak yang menang akan memperoleh giliran main yang pertama. Sementara, pihak yang kalah akan memperoleh giliran jaga. Cara memainkannya adalah seperti ini:
Pertama, sang pemain memasang tongkat yang pendek di atas lubang luncur secara melintang. Lalu, tongkat ini harus didorong sekuat tenaga dengan bantuan tongkat panjang supaya dapat melambung sejauh mungkin. Dalam bahasa Jawa, ini disebut dengan istilah nyuthat. Bila lawan berhasil menangkap tongkat pendek yang melambung tersebut, maka ia akan mendapatkan poin.
Pihak lawan biasanya akan berusaha mati-matian untuk dapat menangkap tongkat pendek supaya bisa mencuri poin sebelum mendapat giliran untuk bermain. Besarnya poin ditentukan dari cara pihak lawan menangkap tongkat pendek; 10 poin untuk menangkap dengan dua tangan, 25 poin untuk menangkap dengan tangan kanan, dan 50 poin apabila berhasil menangkap dengan tangan kiri.
Kemudian, sang pemain diminta meletakkan tongkat panjang di atas lubang luncur dengan posisi melintang. Sedangkan, pihak lawan bertugas melempar tongkat pendek yang telah dilontarkan tadi ke arah tongkat panjang tersebut. Bila tongkat pendek mengenai atau menyentuh tongkat panjang, maka giliran bermain akan berganti ke pihak lawan. Tapi bila tidak kena, pemain berhak melanjutkan ke tahap selanjutnya.
Baca juga: Adu Kerito Surong: Dari Kegembiraan Panen Lada ke Perlombaan Balap
Tahap kedua dari permainan Benthik adalah namplek. Pada tahap ini, konsentrasi penuh diperlukan. Sang pemain harus melempar tongkat pendek dari punggung tangannya ke udara terlebih dahulu, lalu dipukul sekuat tenaga dengan tongkat panjang sejauh mungkin. Pihak lawan yang sedang berjaga, berusaha untuk menangkapnya lagi.
Apabila tidak kena, ia harus melempar tongkat pendek dari posisi tongkat tersebut mendarat ke arah sang pemain, yang berusaha memukul janak yang dilempar tersebut. Di sini, ketangkasan sang pemain benar-benar diuji apakah mampu memukul balik tongkat pendek yang dilempar atau tidak.
Penghitungan poin bagi sang pemain dilakukan dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke lubang menggunakan tongkat panjang. Semakin jauh tongkat pendek jatuh, maka semakin banyak poin yang didapatkan. Namun, poin yang dikumpulkannya akan hangus begitu saja jika lemparan tongkat pendek dari pihak lawan malah masuk ke dalam lubang. Inilah momen yang paling ditunggu-tunggu banyak pemain untuk membuat bangkrut lawan.
Selanjutnya tahap ketiga adalah nuthuk. Pada tahap ini, sang pemain harus meletakkan tongkat pendek pada lereng lubang luncur dengan posisi miring 45 derajat. Ia harus memukul ujung tongkat pendek yang menyembul ke atas permukaan tanah dengan tongkat panjang agar dapat mengudara, lalu dipukul lagi sejauh mungkin. Biasanya, sang pemain akan mendapatkan kesempatan kedua, bila pukulan pertama tidak berhasil. Jika ternyata masih gagal lagi, maka giliran bermain jatuh ke tangan pihak lawan.
Akan tetapi, dalam tahap ketiga ini, sang pemain berkesempatan untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya yang ditentukan oleh berapa kali ia memukul tongkat pendek. Nah, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan angka atau untuk bisa memenangkan permainan. Kecekatan berhitung para pemain pun dituntut di sini.
Bila sang pemain berhasil memukul tongkat pendek saat tongkat tersebut melayang di udara, maka ia memperoleh multiple poin yang dihitung dari perkalian antara angka pengkali berdasarkan jumlah pukulan (10 poin untuk satu kali pukulan, 20 poin untuk dua kali pukulan, dan seterusnya) dengan poin yang dihitung dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke arah lubang.
Sebagai ilustrasi, seorang pemain berhasil memukul tongkat pendek dua kali, maka ia memperoleh angka pengkali sebesar 20 poin, sedangkan jarak jatuhnya tongkat pendek ke lubang adalah 15 kali tongkat panjang. Maka total poin yang ia kumpulkan dalam tahap ini adalah 20×15=300. Cukup besar bukan? Ketiga tahap permainan Benthik tersebut akan diulangi dari awal dalam beberapa kali putaran sesuai kesepakatan di antara para pemainnya.
Pemain yang menang adalah yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam ketiga tahap di atas. Yang tak kalah menarik di sini adalah adanya hukuman bagi yang kalah, misalnya kewajiban menggendong pemain yang menang oleh pemain yang kalah dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski terdengar rumit, tapi permainan ini sungguh seru dan asyik untuk dimainkan.
Baca juga: Kopiah, dari Busana Keagamaan Menjadi Busana Nasional
Permainan Benthik tak sekedar menyenangkan, namun di dalamnya juga terkandung falsafah kehidupan yang dapat di petik pada kehidupan nyata. “Hompimpa Alaium Gambreng”, kalimat yang biasa diucapkan oleh para pemain sebelum permainan dimulai untuk menentukan siapa yang berhak bermain dahulu memiliki makna agung “Dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita Bermain”.
Kalimat ini merupakan sebuah pengingat bahwa saat bermain sekalipun manusia adalah milik Tuhan. Karena kita ada yang memiliki, maka dari itu setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemilik, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Semua permainan tradisional memiliki peraturan yang disepakati, meskipun peraturan itu tak tertulis. Apakah itu terkait dengan giliran bermain, aturan nilai, atau mekanisme reward and punishment. Merupakan suatu kewajiban bagi yang memainkannya untuk menaati semua peraturan agar permainan dapat berjalan dengan tertib dan lancar.
Hal ini mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu mematuhi peraturan, serta menjaga harmoni hubungan sosial dengan orang lain. Sikap semacam ini sangat sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Jawa, “Crah agawe bubrah – Rukun agawe santosa,” (Bertengkar membuat rusak atau kehancuran, rukun membuat sentosa atau kokoh).
Semua pemain tentunya ingin menang dalam permainan, namun cara-cara yang ditempuh untuk mewujudkannya harus dilandasi rasa kejujuran. Maka di sini, kerja keras dan sportifitas sangat ditekankan. Untuk mencetak poin, ketangkasan dan kecekatan berhitung juga tak boleh dilupakan.
Dalam sebuah permainan, akhirnya akan ada pihak yang menang, begitu juga ada pihak yang kalah. Sikap mengakui kemampuan pihak yang menang dengan menerima kekalahan atau legowo perlu ditunjukkan oleh pihak yang kalah. Bagi yang menang, sikap rendah hati, tidak sombong kepada yang kalah juga harus dimunculkan.
Baca juga: Permainan Kelereng : Berlayar Menembus Masa
Benthik sangat bermanfaat untuk membangun karakter positif anak-anak dalam hal interaksi sosial. Sedangkan permainan modern, terutama permainan gawai, daring dan sebagainya yang mengandalkan kecanggihan komputer berpotensi membentuk sikap asosial anak terhadap lingkungannya karena biasanya permainan berlangsung secara individual. Apabila berlangsung berkelompok pun, interaksi sosial antar anak sangat terbatas, sehingga keterlibatan emosi sang anak minim.
Dalam tahap usianya, anak-anak tetap saja membutuhkan media untuk mengenali lingkungan sosialnya dengan baik, dengan cara-cara yang menyenangkan. Permainan tradisional bisa direvitalisasi kembali untuk memenuhi tugas tersebut, serta membentuk karakter positif anak-anak. Bila belum secara luas terealisasi di tengah-tengah masyarakat, kita dapat memulainya dari rumah kita sendiri dan mengajak anak-anak bermain Benthik yang seru dan sangat mengasyikkan. [GAB]