Koran Sulindo – Panji-panji itu dibawa melewati kota-kota sejauh 900 km dari Jakarta ke Sala. Berangkat dari kantor Partai Nasional Indonesia (PNI) pusat pada 9 Mei 1959, panji bertuliskan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dibawa estafet oleh organisasi afiliasi yang tergabung dalam Front Marhaenis itu sampai di pusat kebudayaan Mataram tersebut pada 19 Mei, sehari sebelum pembukaan. Belum cukup, pekan kesenian menyemarakkan perhelatan dengan berita-berita besar di harian Suluh Indonesia. Pada pekan seni itu ada pawai besar Bhinneka Tunggal Ika yang mempertunjukkan pakaian-pakaian adat seluruh suku di Indonesia.
Di Taman Sriwedari, wayang orang, gendrang wanita dari Wonosobo, orkes Angklung Sunda, tarian Bali, dan dagelan Mataram membuat kongres LKN yang pertama itu lebih seperti pesta budaya daripada perhelatan politik.
Acara kongres yang diselenggarakan di Gedung Chuan Min Kung Hui di Sorogenen itu sengaja dipaskan pada 20 Mei, untuk menghargai Budi Utomo, organisasi pertama anak negeri yang menegaskan pentingnya kebudayaan bagi sebuah bangsa. Juga perwujudan cita- cita Budi Utomo yang mengagungkan perjuangan lewat jalan kebudayaan.
Sebelum kongres berlangsung, koran-koran meramaikan pembentukan lembaga baru itu karena berada di bawah komando PNI. LKN dianggap sama dan sejenis dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pesta rakyat itu berjalan lancar, dan memutuskan Sitor Situmorang menjadi ketua umum. Penyair Danau Toba itu memang sedang dekat-dekatnya dengan Presiden Soekarno,dan disebut-sebut orang yang paling memahami Marhaenis, hanya di belakang penemunya, Bung Karno.
Kebudayaan nasional yang dijunjung LKN berpokok pada Marhaenisme, dan kebudayaan daerah menjadi sumber dan bahan kebudayaan nasional. LKN menyandarkan sosialisasi kebudayaan melalui pendidikan formal. Tak heran program utama lembaga budaya itu justru membangun infrastruktur dan prasarana pendidikan dari tingkat pra sekolah hingga universitas di tengah masa ketika tingkat buta huruf di tanah air masih sangat tinggi.
Menurut Muhammad Adi Nugroho (Sejarah Lembaga Kebudayaan Nasional dalam Kesusasteraan Indonesia; skripsi di FIB UI; 2012), berada di bawah naungan partai politik terbesar kala itu, LKN berkembang pesat. Hanya dalam waktu 4 tahun dalam Kongres ke-2 di kebayoran Baru Jakarta pada September 1963, LKN sudah memiliki 175 cabang dari Sabang hingga Merauke. Dalam laporan umumnya, Ketum Sitor Situmorang mengatakan LKN sebagai bagian Front Marhaenis tetap berpendirian tegas membela kepribadian nasional. Pembelaan ini adalah adanya pertarungan antara kekuatan lama dan baru, yaitu “The New Emerging Forces dan The Old Established Forces”
Dalam kongres kedua ini format LKN berubah, dengan penambahan nomenklatura pengurus harian. Lembaga eksekutif LKN ini terdiri atas 8 orang, yaitu Sitor, Hardi, Supeni, Usep Ranawijaya, Karna Rajasa, Alibasjah, Bagin, Abadi, dan Soemali.
Kembali ke Marhaenisme
Sejak berdiri sudah ditegaskan LKN adalah lembaga yang berada di bawah naungan PNI. Hal ini kembali ditegaskan dalam kongres kedua, yang memutuskan PNI dan LKN tak terpisahkan. Hubungan kelembagaan ini menyebabkan ideologi LKN sama persis dengan PNI, yaitu Marhaenisme.
Kongres kedua itu juga menyatakan LKN lahir sebagai alat perjuangan revolusi di bidang kebudayaan dan Marhaenisme sebagai komando dalam menjalankan tugas itu.
Konsep perjuangan LKN adalah Marhaenisme yang teraktualisasi dalam setiap slogan revolusi yang lahir dari Panglima Besar Revolusi Bung Karno. Penyelarasan perjuangan LKN dengan Manipol, Tavip, dan Pancasila akan kembali ke Marhaen. Hal ini sudah ditegaskan dalam kongres PNI 1960 di Sala, yang menyebut Manipol Usdek adalah emanasi dari Marhaenisme.
Ciri khas LKN dalam setiap kongresnya adalah memberikan seruan pada rakyat. Sikap kebudayaan itu adalah respon terhadap peristiwa nasional di bidang politik dan kebudayaan. Seruan pertama LKN adalah pembatasan film impor. Kala itu dunia perfilman dikuasai asing dengan sebanyak 80 persen film Amerika Serikat merajai, sisanya dibagi dua oleh film Asia terutama Hong Kong dan India. Film lokal hanya mendapat jatah 2 persen di layar bioskop.
Saat penyelengaraaan Asian Games 1964, LKN menyerukan agar kompleks dan bangunan di Senayan yang menjadi ajang pesta olah raga Asia itu diberi nama Gelora Bung Karno, sesuai nama presiden. Sitor Situmorang, atas nama LKN, berpendapat pemberian nama itu sesuai dengan sejarah dan latar belakang pendiriannya yang menjadi proyek mercusuar Soekarno.
Sudah sejak kongres ke-1, LKN menyatakan kebudayaan nasional adalah implementasi pidato Presiden Soekarno tentang manipol usdek pada 17 Agustus 1959. Dalam pidato itu BK mengecam kebudayaan barat yang mengenalkan tyarian rock and roll, dansa ala musik cha cha, musik ala ngang ngik ngok gila-gilaan, yang dicirikan sebagai bentuk imperialisme barat di bidang kebudayaan indonesia.
Kecaman Bung Karno menjadi landasan LKN menentukan arah kebudayaan Indonesia. Sambil mengecam jenis budaya asing yang buruk yang masuk ke tanah air itu, LKN menyebut kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah adalah sumber yang tak pernah kering dan sumber asali penggalian.
Manikebu
Persaingan politik yang terjadi pada tahun-tahun itu berpengaruh langsung di lapangan budaya. Setelah kongres ke-2, LKN yang mendukung garis kebijakan Soekarno berpolemik dengan sastrawan dan seniman yang menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). LKN menganggap Manikebu tak lebih dari tindakan politik yang disusupi anasir imperialis bertopengkan kebudayaan.
“Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika,” kata Ketum LKN, Sitor Situmorang, dalam sebuah wawancara suatu ketika.
Polemik antara LKN yang dibantu Lembaga kebudayaan PKI, Lekra, dengan kelompok Manikebuis itu berujung pada pelarangan Manikebu pada 1964. Pelarangan itu lebih dilatarbelakangi oleh konflik politik yang kian memanas pada masa itu, dan bukan sekedar pemberangusan kebebasan berkreasi seperti yang selalu didengungkan tokoh-tokoh Manikebu, ketika yang belakang ini ikut menjadi bagian para pemenang. Apalagi diketahui kemudian ada dukungan politik kelompok Angkatan Darat pada gerakan Manikebu.
Klimaks konflik politik yang merambah ke kebudayaan itu berubah drastis setelah tragedi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965. LKN, kekuatan Soekarnois, dan komunis dihancurleburkan kekuatan tentara yang menamakan diri ‘Orde Baru’. Penghancuran LKN, Lekra, dan organisasi budaya yang dianggap beranasir kiri itu begitu masif, sehingga sampai kini lembaga kebudayaan uang berafiliasi ke partai politik seperti LKN tak pernah lahir lagi. [Didit Sidarta]