Suasana diskusi Publik bertajuk ‘Politik Negosiasi Divestasi Tambang: Keuntungan dan kesejahteraan untuk Siapa?’, yang berlangsung di ruang Perpustakaan Digital, Fisipol UGM, Kamis (9/3)/YUK

Koran Sulindo – Langkah pemerintah melakukan divestasi saham PT Freeport sebesar 51 persen dinilai sebagai sebuah kebijakan sangat berisiko. Ini mengingat dana yang diperlukan tidak sedikit.

Pendapat ini dilontarkan peneliti Natural Resource Governance Institute, Emanuel Bria, dalam Diskusi Publik yang bertajuk ‘Politik Negosiasi Divestasi Tambang: Keuntungan dan kesejahteraan untuk Siapa?’, yang berlangsung di ruang Perpustakaan Digital, Fisipol UGM, Kamis (9/3). Dalam diskusi tersebut tampil pula sebagai pembicara adalah Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Bapenas, Josaphat Rizal Primana, dan Tax Manager PT Freeport Indonesia, Mukhlis.

“Setengah dari total saham Freeport itu sama dengan 40 persen dana anggaran kesehatan. Bayangkan itu anggaran semua rumah sakit di Kalimantan, NTT dan Sumatera. Apalagi nantinya pemerintah belinya pakai dana APBN,” ujar Bria.

Menurut Bria adanya aturan bagi perusahaan asing yang sudah beroperasi untuk melepaskan sebagian sahan (divestasi) kepada pemerintah bisa menimbulkan dampak pada citra negatif iklim investasi Indonesia. “Kebijakan ini mengancam iklim investasi di masa depan, padahal mayoritas investasi di indonesia merupakan investasi asing,” katanya.

Ditambahkan oleh Bria, belajar dari pengalaman yang ditemui di lapangan, maka kebijakan divestasi saham tambang di daerah sering dimanfaatkan oleh konglomerat yang mengatasnamakan pemerintah. “Divestasi saham perusahaan itu sering dimanfaatkan konglomerat Indonesia, tidak jarang asal dananya dari hasil pinjaman asing,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan penerimaan negara di luar divestasi karena sudah mendapatkan dana dari royalti, pajak, dan ketersediaan lapangan kerja. “Ada pilihan bagi pemerintah selain divestasi, apakah menerapkan pajak yang tinggi, pembukaan lapangan kerja, pembangunan smelter. Dalam negosiasi kontrak karya dengan perusahaan asing perlu ditegaskan apa yang menjadi prioritas pemerintah,” ungkapnya

Jadi, menurut Bria, saat ini lebih baik pemerintah memfokuskan pada penerimaan pajak yang stabil dan menciptakan iklim investasi yang positif, sembari membangun BUMN dan perusahaan Indonesia lainnya lebih efisien. “Saya kira waktunya kurang pas, kita mengurangi investasi dari luar tapi BUMN kita belum bisa bersaing. Jangan sampai mematikan penjualan saham perusahaan tambang yang bisa menghambat investasi,” katanya lagi.

Sementara Josaphat Rizal Primana dari Bapenas menuturkan, kebijakan divestasi merupakan amanat dari UU Minerba. Dan, lanjutnya,  kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini sangat proaktif.

Senada dengan Bria, Rizal juga mengatakan hendaknya Freeport jangan dulu dikelola oleh BUMN. Alasannya, mayoritas BUMN belum memberikan keuntungan maksimal bagi negara bahkan kalah bersaing dengan BUMN milik negara tetangga. Padahal syarat bisa dilakukannya divestasi apabila BUMN dan BUMD sudah efisien dan transpasan.

“Banyak BUMN kita yang merugi, hanya sedikit yang memberikan keuntungan bagi negara,” katanya

Dalam diskusi itu Tax Manager PT Freeport, Mukhlis, mengatakan bila  Freeport yang telah beroperasi sejak 1973, sudah memberikan pemasukan pada negara sebesar 16,6 miliar dollar sejak 1992 hingga hingga sekarang. Perusahaan ini juga mempekerjakan 12.184 tenaga kerja dengan melibatkan penduduk asli (Papua) sekitar 35 persen. Dana yang sudah diberikan ke masyarakat totalnya sebesar 1,46 miliar dollar.

“Sebagai perusahaan tambang multinasional, Freeport memerlukan ada jaminan hukum dan kepastian perpanjangan kontrak karya dari negara agar perusahaan ini terus berkembang dalam jangka panjang,” ujarnya. [YUK]