Ilustrasi/Alinea.id

Koran Sulindo – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengecam tindak kekerasan pada jurnalis dan mendesak kepolisian mengusut kekerasan yang terjadi dalam acara Malam Munajat 212 pada Kamis (21/2) malam di silang Monas, Jakarta.

“Praktik kekerasan terhadap jurnalis harus segera diusut tuntas oleh pihak kepolisian karena jika dibiarkan spiral kekerasan terhadap jurnalis akan semakin besar,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, di Jakarta, Sabtu (23/2/2019), melalui rilis media.

LBH Pers menegaskan jurnalis mendapat perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Ketika terdapat pihak-pihak yang menghalangi jurnalis menjalankan tugas, terdapat konsekuensi hukum berupa pidana sesuai Pasal 18 UU Pers. Pasal itu menyatakan ancaman pidana 2 tahun atau denda 500 juta apabila ada pihak yang menghalangi kerja jurnalistik.

Sebelumnya, seorang jurnalis media daring mengalami kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oknum organisasi masyarakat saat meliput acara Malam Munajat 212 di Monas, pada Kamis (21/2/2019) malam. Saat itu jurnalis sedang mengabadikan momen adanya terduga copet dengan kamera ponsel, tetapi beberapa oknum memaksa jurnalis menghapus rekaman tersebut serta melakukan tindakan intimidasi dan kekerasan.

Sebelumnya dalam acara serupa pada 2 November 2018, terdapat pula intimidasi terhadap jurnalis media daring yang diduga memfoto sampah yang berserakan usai aksi. Massa juga melakukan pemukulan terhadap jurnalis Tirto.id Reja Hidayat pada Rabu, 30 November 2016.

AJI Jakarta dan Dewan Pers

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Dewan Pers mengutuk aksi kekerasan, intimidasi, dan persekusi oleh sekelompok massa saat berlangsungnya kegiatan Munajat 212 tersebut.

AJI Jakarta menilai tindakan massa menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis CNN Indonesia TV dan Detikcom adalah perbuatan melawan hukum.

“Mereka telah menghalang-halangi kerja jurnalis untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi,” kata Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri, di Jakarta, Jumat (22/2/2019).

Menurut Asnil, Pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Kerja-kerja jurnalistik itu meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Selain itu, mereka juga bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta Pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Atas intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis tersebut, AJI Jakarta menyerukan dan menyatakan:

  1. Mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap para jurnalis yang sedang liputan Munajat 212.
  2. Mendesak aparat kepolisian menangkap para pelaku dan diadili di pengadilan hingga mendapatkan hukuman seberat-beratnya agar ada efek jera. Sehingga kasus serupa tak terulang di masa datang.
  3. Mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya. Sebab, hingga kini belum ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tuntas sampai pengadilan.
  4. Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang liputan.

Sementara itu Dewan Pers juga meminta polisi memproses hukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis tersebut.

“Dewan Pers meminta polisi untuk melakukan tindakan sesuai hukum,” kata Anggota Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun, di Jakarta, Jumat (22/2/2019).

Menurut Hendry, tanpa Dewan Pers mengirim surat kepada kepolisianpun, polisi semestinya sudah tahu bagaimana menjalankan tugasnya terkait terjadinya kekerasan pada jurnalis itu.

Dewan Pers menegaskan prinsipnya jurnalis bertugas untuk kepentingan publik dan dilindungi undang-undang sehingga masyarakat harus memberi bantuan saat jurnalis menjalankan tugasnya, bukan malah melakukan kekerasan. Setiap jurnalis yang menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers dan dalam Pasal 18 UU Pers, disebutkan ancaman pidana 2 tahun atau denda 500 juta apabila ada pihak yang menghalangi kerja jurnalistik.

Latar Belakang

Koordinator Liputan CNN Indonesia TV, Joni Aswira yang berada di lokasi turut memberikan kesaksiannya mengenai kejadian tersebut.

“Malam itu, belasan jurnalis dari berbagai media berkumpul di sekitar pintu masuk VIP, dekat panggung acara. Mereka menanti sejumlah narasumber yang datang untuk diwawancarai,” kata Joni.

Namun, tiba-tiba di tengah selawatan sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi keributan. Massa terlihat mengamankan seseorang. Saat itu, beredar kabar ada copet tertangkap.

Para jurnalis yang berkumpul langsung mendekati lokasi kejadian. Beberapa di antaranya merekam, termasuk jurnalis foto CNN Indonesia TV.

“Kamera jurnalis CNN Indonesia TV cukup mencolok sehingga menjadi bahan buruan sejumlah orang. Massa yang mengerubungi bertambah banyak dan tak terkendali. Beberapa orang membentak dan memaksa jurnalis menghapus gambar kericuhan yang sempat terekam beberapa detik,” katanya.

Saat sedang menghapus gambar, Joni mendengar ucapan bernada intimidasi dari arah massa. “Kalian dari media mana? Dibayar berapa? Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek enggak usah!”

Nasib serupa juga dialami wartawan Detikcom. Saat sedang merekam, dia dipiting oleh seseorang yang ingin menghapus gambar. Namun, dia tak mau menyerahkan ponselnya.

Massa kemudian menggiring wartawan Detikcom ke dalam tenda VIP sendirian. Meski telah mengaku sebagai wartawan, mereka tetap tak peduli. Di sana, dia juga dipukul dan dicakar, selain dipaksa jongkok di tengah kepungan belasan orang.

Ponsel wartawan tersebut diambil paksa. Semua foto dan video di ponsel tersebut dihapus. Bahkan aplikasi WhatsApp pun dihapus, diduga agar pemilik tak bisa berkomunikasi dengan orang lain.

Usai kejadian itu, korban langsung melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum.

Jurnalis CNNIndonesia.com yang meliput di lokasi kejadian ikut menjadi saksi kekerasan tersebut. Sementara jurnalis Suara.com yang berusaha melerai kekerasan dan intimidasi itu terpaksa kehilangan ponselnya. [DAS]