Ilustrasi: Ahok di pengadilan/Reuters

Koran Sulindo – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta akan memberikan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) untuk pertimbangan hakim memutuskan perkara, pada lanjutan sidang kasus penistaaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Senin (17/4) ini. Menurut LBH Jakarta, Ahok dalam kasus itu menjadi korban dari penggunaan pasal anti demokrasi,  yaitu Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, di masa-masa Pilkada.

Amicus Curiae yang berbentuk naskah 69 halaman itu untuk mengingatkan pengadilan agar independen dalam menentukan putusannya.

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, seperti dikutip dari situs bantuanhukum.or.id, mengatakan pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu  pada 27 September 2016 tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Al-Quran) untuk menipu publik dalam kegiatan politik.

Pernyataan Ahok tersebut juga tidak memenuhi itikad buruk (evil mind/mens rea) yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.

“Pernyataan Ahok dalam hal ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E Konstitusi, UU No. 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,” kata Alghiffari.

Menurut LBH, penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebut yang justru menimbulkan keresahan di masyarakat. Ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok tanpa mendengar, menyaksikan, mengetahui serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut.

Tafsir negatif itu memunculkan gerakkan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi Fatwa MUI bahwa Ahok melakukan penistaan agama. Tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal Penodaan Agama merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakan hukum.

“Di atas segalanya LBH Jakarta sangat menyayangkan keberadaan dan penggunaan kebijakan anti demokrasi dan inkonstitusional di iklim demokrasi Indonesia hari ini terlebih di proses Pilkada kota DKI Jakarta,” kata Kadiv Advokasi LBH Jakarta, Yunita.

LBH Jakarta sudah sejak lama mengkritisi keberadaan kebijakan ini, namun pemerintah dan DPR belum tergerak. Padahal putusan MK sudah menganjurkan revisi pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 (tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Majelis Hakim MK setuju UU Penodaan Agama direvisi.

Berdasarkan Amicus Curiae, LBH Jakarta memberikan 4 rekomendasi kepada majelis hakim pada perkara Ahok. Dua diantaranya adalah, pertama, majelis hakim pada perkara Ahok itu ( 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr) agar menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dua hal terakhir itu dijamin konstitusi, yaitu pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 1 dan 3, pasal 28 I ayat 2, dan pasal 28 D UUD 1945.

Kedua, agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karena itu mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan JPU dalam dakwaannya tidak terpenuhi. [DAS]