Ilustrasi (AI/AT)
Ilustrasi (AI/AT)

Catatan Cak AT:

Ada kabar gembira untuk dunia pendidikan kita! Setelah sekian lama kurikulum kita sibuk menghafal rumus dan mengartikan teks tanpa konteks, kini hadir sesuatu yang lebih fundamental: Kurikulum Cinta! Ya, akhirnya pendidikan kita tak hanya membahas cara membajak tanah, tapi juga bagaimana menanam kasih sayang di dalamnya.

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengajukan gagasan ini sebagai implementasi Deklarasi Istiqlal, yang ditandatangani Imam Besar Masjid Istiqlal ini dan pimpinan Katolik Paus Fransiskus pada 5 September 2024 di Jakarta. Tujuannya: melawan dehumanisasi, dan memperkuat upaya pelestarian lingkungan.

Kurikulum Cinta adalah konsep yang menekankan pentingnya pendidikan berbasis kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Nilai ini nantinya menjadi bagian utama dalam sistem pendidikan kita, baik di lembaga formal maupun dalam lingkungan sosial dan keluarga, termasuk dalam kehidupan pondok pesantren.

Sudah seharusnya, pendidikan agama tidak hanya mengajarkan hal ritual-formalistik, tetapi juga menanamkan ruh dan semangat moderasi dan penghormatan terhadap keberagaman. Ini lanjutan langkah maju pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah berbasis agama yang sudah mulai mengajarkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan berbangsa.

Dalam kehidupan sosial, Kurikulum Cinta dapat diimplementasikan melalui berbagai gerakan dan program yang memperkuat solidaritas antarumat beragama. Nanti perlu dikoreksi, buku agama di sekolah tak boleh lagi terperangkap dalam paradigma eksklusivisme: kita benar, mereka salah; kita surga, mereka neraka; kita lurus, mereka sesat.

Tentu saja, Kurikulum Cinta bukan sekadar ide utopis yang muncul dari langit, melainkan memiliki akar historis yang kuat. Jauh sebelum Kemenag merumuskannya dalam seminar internasional, Persatuan Ummat Islam (PUI) sudah sejak tahun 1930-an mengusung slogan mahabbah syi’aruna (cinta adalah syiar kami).

PUI yang diinisiasi sejak 1911 ini memiliki doktrin Intisab yang terus dibacakan di setiap acara dan kegiatan mereka. Salah satunya, itu tadi: “Cinta adalah syiar kami”. Ini membuktikan bahwa, jika pendidikan nasional terlambat mencintai, setidaknya ada ormas yang sudah menebar benihnya sejak lama.

Namun, mari kita realistis. Cinta di kelas itu bukan sesuatu yang bisa langsung di-download dalam kurikulum dan dimasukkan ke dalam kisi-kisi ujian. Sebelum berbicara soal ini, mari kita tanya dulu: apakah guru-guru kita sudah penuh cinta? Ataukah mereka masih sibuk menghafal jawaban UNBK sambil menunggu tunjangan sertifikasi cair?

Sebab, jika Kurikulum Cinta ingin sukses, ia harus berakar pada guru yang bukan hanya mengajarkan teori tentang mahabbah, tetapi juga menjadi perwujudannya. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an berjalan, maka guru harus menjadi modul cinta yang hidup. Jika tidak, kurikulum ini hanya akan menjadi teks kering yang sama nasibnya dengan silabus-silabus lain: dibaca sebentar, lalu dilupakan.

Tapi, tunggu dulu. Cinta yang mana yang akan diajarkan? Cinta versi Romeo and Juliet atau versi Jalaluddin Rumi? Jangan sampai murid-murid kita salah kaprah dan berpikir bahwa Kurikulum Cinta adalah semacam kelas tambahan untuk mempelajari cara chatting yang romantis.

Menteri Agama menegaskan bahwa cinta yang dimaksud adalah cinta yang diajarkan Nabi dan dikembangkan oleh para ulama. Ini penting, karena cinta dalam Islam adalah sesuatu yang suci, luas, dan melampaui sekadar hubungan dua insan. Ia mencakup cinta kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta, termasuk bumi.

Cinta dalam Islam juga bukan sekadar perasaan manis yang melankolis, tetapi sebuah aksi nyata. Imam al-Ghazali menulis di Ihya Ulumuddin, cinta sejati terjadi ketika seseorang mengutamakan orang lain dari dirinya sendiri. Ajaran cinta ini belum pernah masuk kurikulum, maka Kemenag perlu menyiapkannya secara transparan dan terbuka.

Namun, anggaplah Kurikulum Cinta sudah tersedia. Dengan sedikit sikap kritis, kita bisa bertanya, bagaimana evaluasi kurikulum ini nanti? Akankah ada ujian esai dengan pertanyaan seperti, “Seberapa besar cinta Anda kepada sesama dalam skala 1-10?” atau “Tuliskan lima contoh tindakan cinta yang Anda lakukan minggu ini!”

Bayangkan jika nanti ada siswa yang dapat nilai merah dalam Kurikulum Cinta, berdasarkan asesmen yang disediakan sekolah. “Maaf, Pak, saya belum bisa mencintai sepenuh hati, jadi nilai saya 60.” Akankah ada remedial cinta? Atau program bimbingan khusus bagi mereka yang hatinya masih penuh prasangka?

Sebetulnya, jika kurikulum ini ingin berhasil, evaluasi bukan hanya soal angka di rapor, tetapi perubahan karakter. Jika seorang anak yang sebelumnya suka membully teman akhirnya menjadi lebih peduli, maka itu keberhasilan sejati. Jika seorang siswa yang dulu membenci keberagaman kini bisa menerima perbedaan dengan lapang dada, maka Kurikulum Cinta benar-benar bekerja.

Walhasil, Deklarasi Istiqlal telah menetapkan arah, dan Kurikulum Cinta adalah langkah konkret menuju masyarakat yang diharapkan hidup satu sama lain dengan lebih harmonis. Tapi perlu kita tegaskan lagi, seperti cinta itu sendiri, kurikulum ini bukan hanya soal konsep, tetapi bagaimana ia diwujudkan dalam keseharian.

Jika pendidikan kita benar-benar ingin menjadi pendidikan yang penuh cinta, maka perubahan harus dimulai dari ruang kelas, dari cara guru mengajar, dari cara bicara dan bertutur kata sehari-hari, dari bagaimana buku-buku pelajaran ditulis, dan dari bagaimana kita semua melihat perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman.

Akhirnya, cinta memang tidak bisa diajarkan dalam satu semester atau diuji dalam soal pilihan ganda. Ia harus menjadi budaya, menjadi ruh yang menggerakkan seluruh sistem pendidikan kita. Jika ini terjadi, maka Kurikulum Cinta bukan sekadar proyek kementerian, tetapi warisan berharga bagi generasi mendatang.

Dan semoga, setelah ini, kita tak perlu lagi mendeklarasikan cinta —karena ia sudah hidup dalam setiap hati yang belajar dan mengajarkan.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis