Koran Sulindo – Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) danKitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah mesin tua yang sudah berkarat.Sistem hukum kriminal yang disahkan pada 1945 itu, untuk mengisi kekosongan hukum setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaaannya, nampaknya makin lama makin kelihatan tak mampu menjawab kebutuhan zaman. Berbagai celah hukum terbuka dan bisa menimbulkan pelanggaran hukum baru.
Dalam sebuah seminar hukum nasional 1963, wacana mengubah hukum kolonial itu sudah mengemuka, namun baru pada 1982 kodifikasi hukum dalam bentuk KUHP dan KUHAP rampung dan dijalankan. KUHAP diketok pada 31 Desember 1982 sebagai ganti UU kolonial Belanda yang dikenal Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). HIR ini pertama kali diundangkan pada 5 April 1848 di Batavia.
Pada masa reformasi 1998, timbul wacana memperbarui kedua UU itu. Namun Presiden RI berganti lima kali dan entah berapa nama menteri hukum dan HAM berubah, revisi KUHAP itu masih terkatung-katung. Sampai kini.
“Kemajuan peradaban manusia, teknologi dan informasi serta perilaku kejahatan yang terjadi saat ini ternyata tidak mampu diantisipasi dengan KUHP dan KUHAP yang ada sekarang,” tulis siaran pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pada Januari 2011.
Aliansi LSM tersebut terdiri dari AJI Jakarta, CDS, ELSAM, ICJR, ICW, IMPARSIAL, ILR, Koalisi untuk Hukum Acara Pidana (KuHAP), KONTRaS, KRHN, LBH Jakarta, LBH Semarang, MAPPI FH UI, PIL-Net dan YLBHI.
Aliansi menyebut kedua produk hukum yang kedaluwarsa tersebut penyebab karut-marutnya dunia hukum Indonesia. Jika KUHP tidak direformasi akan memunculkan kebijakan kriminalisasi baru yang lahir dari sejumlah undang-undang, yang ancaman hukumannya kadang sukar dicari rasionalisasinya, jauh lebih berat dari ancaman hukuman yang ada di KUHP.
KUHP juga tidak bisa digunakan lagi sebagai undang-undang payung dalam pengaturan pidana, karena melahirkan situasi tumpang tindih dan kontradiktif antar-peraturan perundang-undangan yang memberikan ancaman pidana. Akibatnya, pelaku kejahatan, yang umumnya dituduhkan pada mereka yang kecil dan rentan, kerap kali diancam dengan pidana berlapis. Sistem hukum itu juga belum terbukti manjur untuk mencegahdan mengurangi angka kejahatan.
Setali tiga uang, KUHAP juga seringkali memunculkan berbagai masalah, antara lain rekayasa penanganan perkara, terutama soal pembuktian.KUHAP juga tidak mampu mengoperasionalkan sejumlah ketentuan pidana materiil yang hadir bersamaan dengan munculnya sejumlah peraturan baru. Lemahnya jaminan hak asasi manusia di dalam KUHAP juga berakibat pada masih jamaknya kasus kekerasan yang dilakukan aparat dalam setiap proses pidana,khususnyayang tidak mendapatkan bantuan hukum.
Terkatung di Antara Istana dan Senayan
Sejak era reformasi bergulir, penyelesaian RUU ini selalu dijanjikan, dan selalu diingkari. Walau draf RUU KUHAP sebenarnya sudah selesai sekitar 10 tahun lalu, dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi proses itu langsung terhenti ketika ekspose ke presiden, yang sampai habis masa berakhirnya dan meninggalkan istana tetap tidak memutuskan wakil pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR. Sejak itulah proses reformasi hukum itu berjalan terseok-seok.
Problem lain ada di wakil rakyat di Senayan. Pada 12 Mei 2014, misalnya, DPR RI akan melanjutkan masa sidang IV, masa sidang pertama usai Pemilu Legislatif: hanya 6 orang saja anggota Panja RKUHAP yang hadir. Dari 286 jumlah Pasal RUU KUHAP yang kemudian dipecah kedalam 1.162 Daftar Inventasisasi Masalah (DIM), beban yang perlu dibahassebenarnya kurang dari 40 persen dari total. Hingga akhir masa sidang IIItidak ada satu DIM pun yang disepakati pemerintah dan DPR.
RUU KUHAP sebenarnya menawarkan beberapa pembaruan hukum, antara lain merumuskan dan mempertegas asas legalitas; sistem penahanan yang diperketat; lembaga hakim pemeriksa pendahuluan; dan perubahan jenis alat bukti.
Dalam rancangan ini termasuk yang berubah adalah alat bukti yang sah untuk pembuktian di pengadilan.
Dalam KUHAP yang berlaku saat ini tertuang dalam pasal 184 ayat 1, alat bukti yang sah mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam Rancangan KUHAP pasal 175 ayat 1, alat bukti yang sah adalah barang bukti, surat-surat, bukti elektronik. keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan ditambah pengamatan hakim.
“Pengamatan hakim dalam ketentuan ini didasarkan pada seluruh kesimpulan yang wajar yang ditarik dari alat bukti yang ada,” bunyi penjelasan tentang hal itu dalam Penjelasan KUHAP.
Sementara itu, hanya sebagai tambahan contoh, dalam Pasal 188 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena kesesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Keterangan tentang alat-alat bukti lain di luar petunjuk, antara KUHAP dan draf revisinya, hampir tidak berubah. Penjelasan mengenai alat bukti surat pun hanya memindahkan aturan-aturan yang ada dalam KUHAP. Padahal, soal definisi dan ruang lingkup “surat” sering menimbulkan masalah. Apakah fotokopian bisa dikategotikan dalam pengertian surat? Masalah ini sering menimbulkan pro dan kontra. Bahkan dalam sidang perkara dugaan korupsi di Bank CIC di PN Jakarta Pusat pada 2011, jaksa dan penasehat hukum terdakwa bersitegang mempersoalkan keabsahan salinan surat, berupa copy draf standby Letter of Content (L/C). Ketidakjelasan pengaturan ini bisa membuka permasalahan hukum baru.
Yang baru lagi adalah RUU KUHAP ini adalah memberikan hak bagi hakim untuk mengambil keterangan saksi lewat teleconference, walau aturan detilnya masih belum jelas.
“Dalam hal saksi tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio-visual dengan dihadiri oleh penasihat hukum dan penuntut umum,” bunyi Pasal 180 ayat 2 RUU KUHAP.
Namun untuk keterangan ahli tidak diperkenankan menyampaikan lewat sidang teleconference, seperti tertulis dalam pasal 179. Ahli harus menyampaikan keterangannya secara langsung di persidangan.
Dalam praktek, penggunaan teleconference pernah dilakukan pada 2002. Saat itu Mahkamah Agung memberi izin mantan Presiden BJ Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. Pemeriksaan saksi melalui teleconference juga dilakukan dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir pada 2003. Selain itu sidang pemeriksaan kasus Hak Asasi Manusia (HAM) Timor Timur juga pernah menggunakan teleconference.
Memang memperbarui UU itu harga sesuai dengan jiwa bangsa dan jiwa zaman bukan pekerjaan enteng. Hampir 300 buah pasal dalam RUU KUHAP dengan detil-detil yang harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan keadilan harus dikerjakan secara sangat hati-hati. Namun yang terjadi sejak reformasi adalah pembahasan UU ini hangat-hangat setelah pemilihan umum selesai dan mulai dilupakan tahun-tahun menjelang Pemilu. Menyepakati sistem hukum adalah soal politik, tapi membuat pembaruan sistem hukum terkatung-katung adalah persoalan politik. Dan anak-anak negeri hinga kini mau tak mau harus merasakan bau-bau hukum penjajah ketika berhadapan dengan hukum di tanah air. [DAS]