Krisis Sri Lanka, Protes Rakyat dan Jebakan Utang

Demonstran Sri Lanka memblokir jalan raya menuntut pengunduran diri pemerintah di Kolombo, Sri Lanka, Minggu, 3 April 2022. (AP PHOTO/ERANGA JAYAWARDENA)

Krisis terus mengguncang Sri Lanka. Krisis tersebut terjadi bermula dari krisis ekonomi sejak 2019 yang kemudian memicu aksi protes di berbagai tempat. Krisis ekonomi yang semakin akut berubah menjadi krisis politik setelah pemerintah mengumumkan keadaan darurat nasional.

Menurut laporan AFP, dalam sebuah aksi protes polisi menembak mati satu orang pendemo dan melukai puluhan lainnya, saat terjadi pemblokiran jalan di Rambukkana, Selasa (19/14).

Para demonstran sedang melakukan protes akibat kenaikan harga minyak dan kebutuhan pokok. Demonstrasi dan protes di Sri Lanka sendiri telah berlangsung berminggu-minggu sejak Februari 2022, dan mendapatkan dukungan yang luas dari berbagai kalangan.

Krisis tersebut memaksa Presiden Gotaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat nasional pada pekan lalu. Hali ini merupakan Krisis terburuk yang pernah menimpa negara Asia Tengah itu paska kemerdekaan mereka pada 1948.

Krisis ekonomi juga membuat Sri Lanka kekurangan pasokan pangan dan bahan bakar, situasi di negara itu makin memanas usai harga berbagai kebutuhan naik hingga terjadinya pemadaman listrik berulang.

Laporan PBB juga mengatakan, Sri Lanka dalam ambang batas krisis kemanusiaan akibat masalah keuangannya meningkat, dengan kenaikan harga pangan, dan pundi-pundi negara telah mengering.

Sri Lanka mengalami krisis yang disebabkan menurunnya devisa cadangan negara akibat Covid-19 yang menggerus pemasukan utama mereka dari sekotor pariwisata. Bersamaan dengan itu, Sri Lanka juga menghadapi ketergantungan atas impor dan utang luar negeri yang terus menggunung.

Saat ini Sri Lanka dihadapkan pada jatuh tempo pembayaran hutang hampir US$7,3 miliar ke beberapa negara seperti China, Jepang dan India. Total utang negara sendiri telah mencapai utang luar negerinya senilai 51 miliar dollar AS atau setara dengan 732 triliun rupiah.

Akhir tahun 2021, cadangan devisa Sri Lanka tersisa US$3,1 miliar, turun drastis dari Desember 2019 yang sebesar US$7,5 miliar.

Kelangkaan devisa membuat naiknya mata uang asing yang merembet kepada kenaikan harga-harga barang impor seperti obat dan pupuk pertanian. Inflasi pun meroket, di tengah kelangkaan bahan bakar dan bahan makanan di pasar-pasar.
Pemerintah Sri Lanka sebetulnya telah membuat serangkaian kebijakan untuk mencegah krisis semakin meluas.

Kebijakan seperti pemotongan pajak yang diberlakukan pada 2019 untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Namun kebijakan tersebut gagal, dan krisis pun semakin meluas hingga sekarang.

Jebakan Utang

Banyak yang percaya bahwa hubungan ekonomi Sri Lanka dengan China adalah pendorong utama di balik krisis. Amerika Serikat menyebut fenomena ini diplomasi jebakan utang

Salah seorang guru besar di Tata Institute of Social Sciences,R Ramakumar, dalam tulisannya yang diterbitkan Channel News Asia, kebijakan pinjaman adalah penyebab utama situasi ekonomi yang mengerikan di Sri Lanka.

Ia juga mengatakan, saat ini situasi ketika negara atau lembaga kreditur memberikan utang kepada negara peminjam untuk meningkatkan pengaruh politik pemberi pinjaman hingga membuatnya tidak dapat membayar uang kembali, mereka berada di belas kasihan kreditur.

Gagal bayar utang negara yang melambung, terutama pembiayaan pelabuhan Hambantota, disebut-sebut sebagai faktor yang berkontribusi terhadap krisis. Namun, pelabuhan ini ternyata tak memberikan keuntungan bagi Sri Lanka.

Pemerintah Sri Lanka kemudian pada 13 April 2022 menyatakan negara dalam keadaan bangkrut serta mendesak warganya di perantauan luar negeri untuk mengirim uang ke negara guna membantu membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar.

Sri Lanka sebelumnya telah meminta keringanan utang dari India dan China, tetapi kedua negara malah menawarkan lebih banyak jalur kredit untuk membeli komoditas dari mereka.

Saat ini Sri Lanka sedang mendesak Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membantu negara mereka. Salah satunya dengan mengupayakan pinjaman sebesar US$3 miliar dari berbagai sumber seperti IMF, Bank Dunia dan negara sahabat untuk mencegah krisis yang semakin tidak terkendali. [WID]