Koran Sulindo – Situasi negara yang dibayangi aksi terorisme seperti yang terjadi hari-hari ini sejatinya pernah pula kita alami di masa lalu.

Di awal tahun 1950an, misalnya, merebak pemberontakan bersenjata, seperti: DI/TII yang gerakannya terutama di wilayah Jawa Barat; pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan; dan lain-lain.

Presiden Soekarno sendiri sepanjang masa kepresidenannya pernah mengalami 23 kali upaya pembunuhan, dimana beberapa diantaranya –termasuk Peristiwa Cikini, 30 November 1957- merupakan  upaya yang sangat serius mengancam nyawanya.

Ditengah maraknya aksi teror bersenjata itu, Bung Karno sendiri pernah mengingatkan rakyat Indonesia tentang suramnya situasi negara-bangsa yang diakibatkan ulah, mengutip ucapan Bung Karno, “… gerombolan-gerombolan bersenjata jang laksana rajap hendak melapukkan tiang-tiangnja negara sendiri.”

Dalam pidato kenegaraan peringatan kemerdekaan tahun 1953, yang diberi judul ‘Djadilah Alat Sejarah’, Bung Karno mengatakan: “…gerombolan-gerombolan jang zoenaamd ‘berideologie’ pun adalah terdiri dari orang-orang jang fikirannya sudah liar dan katjau sama sekali, orang-orang jang kukatakan dalam pidato 17 Agustus tahun jang lalu adalah laksana vliegwiel-vliegwiel jang terlepas dari mesinnya revolusi, vliegwiel-vliegwiel jang melesat beterbangan membabi buta ke kanan dan ke kiri.

Mereka mendjadi orang-orang jang fikirannya sudah keblinger sama sekali, mereka tidak berdiri lagi diatas sesuatu yang pantas dinamakan daratan idiil…. Njata mereka tidak dapat membedakan lagi antara tjita-tjita jang tinggi dan nafsu jang rendah. Tidak dapat membedakan lagi antara baik dan djahat….. Rupanya telah menjadi kehendak Tuhan, bahwa ketentraman dan ketertiban masih harus kita beli dengan darah dan penderitaan kita sendiri…”

Lantas, apa jang menyebabkan situasi negara menjadi seperti itu?

Bung Karno menjawab bahwa penyebabnya adalah berbagai krisis yang terjadi di masa itu, di masa demokrasi parlementer: krisis moril, krisis politik, krisis cara meninjau masalah kenegaraan, dan krisis dalam alat-alat kekuasaan negara. Tetapi, yang paling utama, adalah krisis kewibawaan kekuasaa  pemerintahan alias krisis gezag. “Di dalam tiap-tiap negara dan tiap-tiap masjarakat jang didalamnya ada krisis gezag, terjadilah kekatjauan dan pengatjauan,” tegas Bung Karno.

Dalam negara dan masyarakat yang mengalami krisis gezag, kata Bung Karno lagi, akan bangkit anasir-anasir yang a-sosial, yang bertindak atas nafsunya sendiri, yang melakukan tindakan kejahatan. Dan jika dibiarkan terus tanpa ditindak tegas, anasir-anasir a-sosial itu akan menulari orang-orang baik di dalam masyakarat. Mereka akan menularkan “mentalitet berandalan”.

Penting dicatat, kritik Bung Karno kepada pemerintah itu dilontarkan saat sistem kenegaraan dan pemerintahan kita di masa demokrasi parlementer, yang ditandai dengan jatuh-bangun kabinet dan berisiknya pertarungan politik di ruang publik.

Dalam masa demokrasi parlementer ini, praktis Presiden Soekarno hanya berfungsi sebagai kepala negara yang hampir tidak terlibat dalam urusan pemerintahan sehari-hari. Pemerintahan dikuasai orang-orang partai, yang saling menjatuhkan di parlemen.

Di masa itu, diwarnai pula dengan pertarungan gagasan yang sengit di Konstituante. Pokok soalnya adalah dasar negara Republik Indonesia. Kalangan partai-partai Islam menginginkan agar dasar negara RI adalah Islam dan segenap ajarannya.

Sedangkan partai-partai nasionalis dan partai Kristen/Katolik bersikukuh menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pertarungan gagasan yang berlangsung bertahun-tahun itu, akhirnya terhenti saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya antara lain: kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.

Yang penting dicatat: sikap partai-partai Islam masa itu layak dipuji karena memperjuangkan aspirasinya dengan cata-cara beradab dan konstitusional, bukan dengan cara kekerasan yang membunuh sesama anak-bangsa.

Ketika Presiden Soekarno memulihkan kekuasaanya sebagai kepala pemerintahan, di masa yang dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin, giliran para tokoh partai yang mengkritisinya. Salah seorang pengkritik utama itu adalah Mohammad Natsir, salah seorang pemimpin utama Partai Masjumi.

Dalam salah satu tulisannya untuk mengenang Bung Karno, Natsir mengatakan: “Makin lama makin memuncak perbedaan politik antara Bung Karno dengan saya, apalagi setelah timbul gagasan Bung Karno dengan konsepsinya berupa Kabinet Kaki Empat. Gagasan Bung Karno itu saya tentang.

Sementara itu di berbagai daerah timbul pergolakan, karena terasa kebijaksanaan politik pembangunan yang terlalu Jawa sentris dan Jakarta sentris. Selain itu politik bung Karno dengan NASAKOM-nya membuat hubungan kami jauh. Sekalipun pergolakan-pergolakan daerah ini telah dicoba untuk mengatasinya melalui Musyawarah Nasional dan MUNAS PEMBANGUNAN di Jakarta tahun 1957, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.

….Bung Kano selaku Presiden Republik Indonesia politiknya makin lama makin dekat dengan PKI. Hal ini mendorong munculnya PRRI dan Permesta…”

Natsir sendiri, dengan sejumlah tokoh Masjumi lainnya, menceburkan diri dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), yang dideklarasikan 15 Februari 1958 dan berakhir Mei 1961. Akibat PRRI, Partai Masjumi dan PSI dibubarkan Presiden Soekarno. Dan Natsir dan kawan-kawan sempat dipenjara.

Yang menarik, seperti ditulis Natsir diatas, PRRI terutama muncul karena kebijakan pembangunan yang Jawa-sentris, dan juga kedekatan Bung Karno secara politik dengan PKI. Tak ada ia menyinggung soal sentimen agama (Islam).

Bahkan, di tulisan yang sama, Natsir  menegaskan  bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah ia maupun bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain.

“Sikap jiwa (mental attitude) yang demikian itu hendaknya dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan Bangsa di kalangan generasi penerus, demi tegaknya Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,” kata Natsir di akhir tulisannya.

Peringatan Mohammad Natsir -tokoh bangsa yang sepanjang hidupnya terus memperjuangkan Islam sebagai prinsip-prinsip kenegaraan dengan cara-cara yang beradab- sepantasnya kita resapi sebagai bekal menghadapi serangkaian aksi terorisme membayangi negeri kita hari-hari ini.

Ketakutan adalah hal yang wajar dalam situasi suram ini. Tapi, sebagai bangsa, kita tidak boleh takluk oleh ancaman terorisme. Dan, yang terpenting, pemerintah jangan sampai terjangkiti krisis gezag.( Imran Hasibuan)