Krisis Ekonomi Dunia Dapat Menyeret Indonesia

Ilustrasi : Inflasi mengakibatkan harga-harga melambung tinggi.

Gerbong ekonomi dunia sedang berjalan menuju ke arah resesi yang dalam. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Uni Eropa sebagai lokomotif perekonomian global kian jauh mengalami kemerosotan ditandai dengan meningkatnya inflasi dan kelesuan ekonomi. Situasi ini bahkan menjadi perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyampaikan kekhawatirannya mengenai resesi global. Ketika memberikan pengarahan dalam Rapat Paripurna di Istana Negara, Selasa (10/5), Jokowi menyampaikan sejumlah faktor yang dirasa mengancam perekonomian dunia.

Jokowi menyebutkan bahwa program pengetatan moneter Amerika Serikat (AS), perang Rusia-Ukraina serta ketidakpastian yang saat ini melanda dunia sebagai ancaman.

“Ini akan memunculkan resesi di banyak negara. Oleh karena itu, pengelolaan ekonomi makronya harus betul-betul diikuti secara detail dan mikronya juga,” ungkap Jokowi.

Secara khusus Jokowi meminta jajarannya untuk memantau perkembangan pangan dan energi. Menurutnya ketidakpastian global akan memicu inflasi serta kelangkaan pangan dan energi.

Kebijakan Moneter AS

Secara umum dunia sedang mengalami kenaikan inflasi terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Tidak terkecuali Amerika Serikat (AS) yang inflasinya berada di level tertinggi dalam 40 tahun.

Inflasi AS berada di angka 8,3% (yoy) pada bulan April. Angka tersebut memang masih lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 8,5%, namun masih dalam level yang tinggi.

Tingginya inflasi membuat harga-harga kebutuhan masyarakat naik cukup tinggi. Harga kebutuhan sehari-hari yang mengalami kenaikan drastis antara lain susu, roti, jeruk hingga telur.

Dalam sebuah pernyataan resmi, Presiden AS, Joe Bidden menyebutkan  bahwa inflasi saat ini berada dalam batas “yang tidak bisa diterima”. Penurunan inflasi kemudian menjadi fokus pemerintahannya.

Sebelumnya dalam upaya meredam inflasi, pemerintah AS pada akhir Maret melepas cadangan minyak strategisnya sebanyak 1 juta barel per hari. Pelepasan cadangan minyak tersebut bertujuan untuk menekan harga BBM dan inflasi AS. Kebijakan tersebut akan dilakukan oleh pemerintahan Joe Bidden selama 6 bulan.

Disisi lain, Bank Sentral AS – The Fed berusaha mengendalikan dan menekan inflasi secara agresif dengan menaikkan suku bunga secara bertahap. The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin atau menjadi 0,75-1% pada Kamis (5/5) dini hari waktu Indonesia Barat. Kenaikan tersebut juga menjadi yang terbesar selama 22 tahun terakhir.

Ketua The Fed, Jerome Powell bahkan mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 poin dalam pertemuan yang akan datang.

“Kenaikan sebesar 50 akan coba didiskusikan dalam beberapa pertemuan mendatang” kata Powell dalam konferensi pers The Fed.

Dengan pernyataan Powell, maka diyakini bahwa kenaikan agresif suku bunga acuan di AS tidak akan berhenti hingga tahun 2023 untuk kembali menstabilkan ekonomi AS.

Kebijakan suku bunga agresif yang dijalankan The Fed, tentu akan menekan Rupiah dan pasar modal di Indonesia. Apabila Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga acuan di 3,5% maka jarak dengan The Fed akan semakin tipis. Hal ini akan membuat aset-aset dalam negeri menjadi tidak menarik lagi.

Dampaknya cukup terlihat, ketika pasar obligasi Indonesia menjadi sepi peminat pada Selasa kemarin saat lelang Surat Utang Negara. Dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kemenkeu, total penawaran masuk dalam lelang SUN sejumlah Rp 19,74 triliun, termasuk dari investor asing.

Besaran nilai penawaran yang masuk merupakan nilai terendah sepanjang tahun ini. Nilai tersebut bahkan masih di bawah target indikatif Rp 20 triliun, serta terserap hanya sebesar 7,76 triliun.

Risiko cukup besar mengancam ekonomi Indonesia. Rupiah berpotensi terus melemah. Sebagai informasi, rupiah terakhir menyentuh level 15.000/US$ pada bulan Mei 2020 saat pasar bergejolak akibat awal pandemi Covid-19.

Dampak bagi masyarakat

Di Indonesia, tren kenaikan harga-harga sedang terjadi. Meskipun inflasi saat ini masih dalam batas yang terkendali yaitu 3% dengan plus minus kenaikan maupun penurunan 1%.

Namun kenaikan harga berpotensi membuat inflasi menjadi lebih tinggi lagi. Menurut Kepala BPS, Margo Yuwono ada sejumlah komoditas yang mendorong kenaikan inflasi seperti minyak goreng, bensin terutama pertamax, daging ayam ras, tarif angkutan udara dan ikan segar.

Dengan terus merosotnya nilai tukar rupiah maka inflasi akan semakin tinggi. Hal ini dipicu kenaikan beban impor komoditas terutama impor minyak dan gas.

Bila hal ini terus terjadi, maka dipastikan pemerintah akan segera merealisasikan kebijakan kenaikan beberapa komoditas migas seperti pertalite dan harga LPG. Problemnya kenaikan pertalite dan LPG dipastikan akan mengerek laju inflasi dan menyebabkan kenaikan harga-harga di pasaran.

Saat ini dengan kenaikan harga minyak dan gas dunia telah membuat nilai impor migas Indonesia naik hampir 68% menjadi US$ 6,8 miliar pada kuartal I-2022.

Tingginya inflasi tentu akan memukul daya beli masyarakat. Nilai uang rupiah akan semakin kecil di hadapan barang-barang komoditas apalagi yang berasal dari impor dan komoditas internasional.

Pada saat yang sama, jika Bank Indonesia berencana menaikkan suku bunga acuan untuk menekan inflasi dan melakukan pengetatan likuiditas maka masyarakat yang akan terkena getahnya. Pasalnya kenaikan suku bunga berdampak langsung pada suku bunga kredit mulai dari kredit investasi hingga kredit konsumsi

Dampak paling nyata dan cukup berat adalah kenaikan bunga KPR dan pinjaman perbankan. Kenaikan KPR akan membuat masyarakat kesulitan untuk membayar kredit propertinya. Selain itu pinjaman perbankan dapat mengalami kemacetan atau bahkan gagal bayar. Dampak luasnya adalah semakin lesunya pasar properti dan tingkat konsumsi di Indonesia.

Kenaikan suku bunga berarti semakin timpang pula ekonomi antara pengusaha dan rakyat pekerja. Karena nilai upah akan sangat kecil dibandingkan kebutuhan hidup dan semakin terkuras untuk membayar kredit beserta bunganya. [PAR]