Ilustrasi. Pameran properti di Jakarta.

Koran Sulindo – Uang muka atau down payment untuk pembelian rumah secara kredit menjadi persoalan bagi banyak orang, terutama yang berpenghasilan pas-pasan. Tambahan pula, ada regulasi dari Bank Indonesia (BI) yang mengatur ketentuan minimal uang muka yang harus disediakan konsumen dan batas minimal pemberian kredit dari perbankan atau loan to value (LTV).

Lalu, pada September 2016, BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Ada pelonggaran atau relaksasi LTV pada peraturan tersebut, yakni uang muka untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) rumah pertama di bank umum adalah 15%.

Untuk rumah kedua sebesar 20% kalau rumahnya bertipe di atas 70 dan 15% jika rumahnya bertipe di bawah 21 hingga tipe 70. Untuk rumah ketiga, uang muka ditetapkan 25% untuk rumah di atas tipe 70 dan 20% untuk rumah di bawah tipe 21 hingga tipe 70.

Terbitnya peraturan BI itu justru membuat laju bisnis properti tersendat, karena umumnya properti dibeli dengan motif investasi. Kondisi bisnis properti semakiin memprihatinkan dalam beberapa tahun belakangan ini, ketika situasi ekonomi di Tanah Air mengalami guncangan.

BI kemudian melonggarkan aturan LTV lagi. Kali ini menjadi 0% untuk semua tipe rumah dan apartemen selama itu dibeli untuk kepemilikan pertama. Peraturan yang akan berlaku per 1 Agustus 2018 ini diharapkan dapat menjadi angin segar bagi pertumbuhan bisnis properti.

Gubernur BI Perry Warjiyo berharap, relaksasi LTV ini bisa mendorong pertumbuhan properti 10%-15% persen pada tahun 2018. “Dengan relaksasi LTV ini akan ada stimulan untuk meningkatkan pembelian rumah dan kalangan generasi muda bisa menikmati aturan baru ini untuk menyegerakan membeli rumah,” tutur Perry di Kantor BI, Jakarta, akhir Juni 2018 lalu..

Namun, Ketua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (DPD REI) DKI Jakarta Amran Nukman punya pandangan berbeda. Menurut dia, dalam situasi saat ini, relaksasi LTV tersebut tidak bisa terlalu diharapkan dapat meningkatkan bisnis properti secara signifikan. Ada begitu banyak faktor yang membuat masyarakat semakin kesulitan mengakses perumahan selain soal uang muka.

“Pelonggaran LTV ini bagian dari lobi pengembang yang sudah lama dan baru sekarang ditetapkan, saat situasi sudah semakin sulit. Daya beli masyarakat sudah terkuras untuk kebutuhan sehari-hari dan hampir tidak tersisa lagi untuk mencicil rumah. Jadi, kita doakan saja semoga target BI untuk sektor ini bisa tumbuh 15 persen karena relaksasi LTV dapat terwujud,” kata Amran.

Hal senadan juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali. Menurut dia, BI terlambat mengeluarkan aturan relaksasi LTV itu. Seharusnya, peraturan ini dikeluarkan sejak dua tahun lalu untuk mendorong bisnis properti, khususnya segmen menengah ke atas yang sudah stagnan sejak tiga-empat tahun terakhir.

“Tentu kami mengapresiasi kebijakan BI ini. Tapi, kalau ini dikeluarkan sejak dua tahun lalu, efeknya bisa lebih besar. Selain itu, kami juga mengkritisi adanya tambahan aturan bank penyalur kredit dengan fasilitas nol persen ini rasio kredit bermasalahnya atau nonperforming loan harus di bawah lima persen. Nanti pelaksanaannya bank tetap meminta uang muka,” ujar Daniel.

Pandangan yang hampir sama datang dari Aldi Garibaldi, Senior Associate Director Capital Markets and Investment Services Colliers International Indonesia (CII), perusahaan riset, konsultan, dan manajemen properti asing di Jakarta. Menurut dia, kebijakan relaksasi LTV ini tidak bisa dijadikan solusi untuk membuat sektor properti kembali bergairah.

“Permasalahan yang substansial itu bukan uang muka kok. Uang muka mau nol persen atau gratis itu enggak akan berpengaruh karena itu semua hanya menggeser kewajiban di depan ke cicilannya. Jadi, konsumen tetap membayar uang muka itu dengan cicilan yang lebih besar atau jangka waktu kredit yang lebih panjang. Selama ini, yang tidak pernah diperhatikan itu dari sisi keterjangkauan, affordability,” tutur Aldi.

Uang muka 0% itu, lanjutnya, akhirnya hanya menjadi jargon yang terdengar hebat secara politis. Ditambah lagi, membeli properti tanpa adanya uang muka akan membuat konsumen dikenakan bunga yang lebih tinggi. Begitupun bila konsumen mengambil tenor kredit yang lebih panjang, bunga yang dikenakan pasti akan lebih tinggi dibandingkan yang mengambil dengan tenor normal.

Pada sisi yang lain, saat ini banyak penawaran bunga promosi dari bank dengan angka yang tetap (fixed) untuk jangka waktu hingga lima tahun pertama. Setelah melewati periode fixed ini, konsumen akan dikenakan bunga pasar (floating), yang nilainya jauh di atas bunga promosi dan ini sangat berpengaruh pada jumlah cicilan yang dibayarkan.

“Konsumen langsung syok ketika bunga pasar efektif floating diberlakukan saat periode bunga promosinya selesai. Hal-hal seperti ini yang tidak pernah diperhatikan pemerintah. Antara kebijakan dan kenyataan kerap tidak sinkron dan akhirnya masyarakat tetap kesulitan mengakses huniannya. Jadi, relaksasi LTV yang memungkinkan kita membeli rumah tanpa modal ini hanya jargon yang kedengaran hebat saja, tapi belum menyentuh hal yang substansial untuk mengangkat affordability masyarakat pada umumnya,” kata Daniel. [HAN]