KPU Seharusnya Tak Melarang Bekas Napi jadi Caleg

Ilustrasi/screenshot Youtube

Koran Sulindo – Menuju pemilihan umum (pemilu) tahun depan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan Pemilu Legislatif 2019. Peraturan ini melarang orang yang telah dihukum karena korupsi, perdagangan narkoba, dan kekerasan seksual anak untuk berkompetisi sebagai calon legislatif (caleg) dalam pemilu tersebut.

Menurut KPU, kejahatan-kejahatan tersebut memiliki “daya rusak” yang luar biasa bagi masyarakat.

Tak dapat disangkal kejahatan-kejahatan di atas adalah kejahatan serius. Namun, dengan melihat pada sistem peradilan pidana Indonesia yang seringkali bermasalah dalam pelaksanaannya, saya berpendapat bahwa pencabutan hak mantan narapidana melalui perundang-undangan berpotensi merusak demokrasi di Indonesia dan menghalangi kesempatan sekelompok orang untuk melayani publik.

Hukuman Tanpa Akhir

Pencabutan hak-hak tertentu, termasuk hak untuk memegang jabatan publik, bukanlah fitur baru dalam hukum pidana Indonesia. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hakim dapat melarang pelaku kejahatan memegang jabatan publik sebagai bentuk pidana tambahan.

Tapi, selain KUHP, sejumlah undang-undang lain juga melarang mantan narapidana bekerja di sektor publik. Beberapa undang-undang di Indonesia melarang orang-orang yang telah divonis terbukti telah melakukan kejahatan menjadi polisi, hakim, jaksa, anggota Komisi Yudisial, atau posisi di tingkat pemerintahan lainnya, bahkan sebagai advokat.   Sedangkan untuk anggota legislatif, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mensyaratkan anggota parlemen tidak pernah dihukum atas suatu tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari lima tahun penjara.

Dengan adanya undang-undang tersebut artinya negara terus menghukum seseorang yang telah selesai menjalani pidananya. Negara terus menghukum orang tersebut dengan mengambil hak-hak sipil tertentu. Tindakan tersebut, yakni menghukum mantan terpidana melalui undang-undang, justru mengabaikan proses hukum yang berlaku dan diberikan tanpa pertimbangan yang obyektif.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Pada 2009, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan berkaitan dengan pengujian UU Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Robertus, orang yang tidak dapat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif 2009 di Sumatra Barat karena pada 1976 dirinya dijatuhi pidana penjara selama sembilan tahun delapan bulan karena terbukti mencuri dengan kekerasan.

Melalui kasus Robertus, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa mantan terpidana berhak untuk dipilih untuk jabatan publik dengan syarat-syarat tertentu: mereka harus menunggu 5 tahun setelah pembebasan mereka sebelum mencalonkan diri; mereka harus mengumumkan kepada publik sebelum kampanye mereka bahwa mereka pernah dihukum untuk sebuah tindak pidana; mereka bukan orang yang berulang kali melakukan tindak pidana atau residivis.

Saat itu, Mahkamah Konstitusi membatasi penggunaan hak mantan narapidana di atas hanya pada jabatan-jabatan yang dipilih (anggota DPR/DPD/DPRD, Presiden, Kepala Daerah). Mantan terpidana masih tidak dapat menduduki jabatan yang diberikan melalui pengangkatan seperti menteri kabinet, komisaris, atau staf ahli.

Dengan peraturan pemilihan legislatif tahun ini, KPU memberikan pengecualian atas putusan Mahkamah Konstitusi untuk korupsi, kekerasan seksual anak, dan perdagangan narkoba.

Sistem Peradilan Pidana yang Cacat

Keputusan KPU ini bermasalah karena sistem peradilan pidana Indonesia tidak sempurna dan seringkali dilaksanakan dengan tidak adil.

Mencuri atau menyelewengkan uang negara untuk keuntungan pribadi adalah suatu hal yang salah dan dapat berdampak negatif pada pembangunan nasional. Tapi sejumlah orang justru memperoleh status koruptor karena kerancuan (penegak hukum) dalam memahami kerugian negara dan kerugian perusahaan. Sebagai contoh, mantan direktur perusahaan penerbangan milik negara Merpati Hotasi Nababan dijatuhi hukuman penjara karena keputusan bisnis yang salah yang menyebabkan kerugian negara.

Kekerasan seksual anak juga terdengar sangat buruk jika kita membayangkan orang dewasa mengambil keuntungan atas relasi kuasa yang timpang terhadap anak yang tak berdaya. Namun, seringkali di Indonesia mereka yang dinyatakan bersalah atas kasus kekerasan seksual anak adalah anak-anak itu sendiri. Mereka berkencan dan melakukan hubungan seks. Dan ketika orang tua, seringkali dari sang gadis, mengetahui tentang hubungan seksual tersebut, mereka akan melaporkan anak laki-laki ini ke polisi. Anak itu kemudian dihukum karena mengeksplorasi seksualitasnya dengan pacarnya dan harus menanggung label sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak selama sisa hidupnya.

Terakhir, kita punya problem mengenai perdagangan narkotika. Banyak pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi justru diberi label sebagai pengedar narkoba oleh hakim karena tidak jelasnya rumusan pasal mengenai penguasaan narkotika dalam UU Narkotika. Yang terjadi, pengguna yang sudah pasti menguasai narkotika akan dihukum dengan pasal yang sejatinya ditujukan untuk pengedar narkotika.

Membantu Mantan Narapidana Kembali ke Masyarakat

Pakar hukum Anthony C. Thompson berpendapat bahwa pemerintah dan komunitas hukum harus membantu pelaku kembali masuk ke komunitas mereka. Pemerintah dapat memberikan program reintegrasi, sementara pengacara, pengadilan, dan sekolah hukum dapat berkolaborasi secara inovatif dalam program-program tersebut. Dengan intervensi ini, mantan narapidana akan memiliki peluang lebih besar untuk tidak kembali ke lingkaran kejahatan dan mengubah diri mereka sebagai anggota masyarakat yang produktif.

Menghapus hak mantan narapidana untuk memegang jabatan publik adalah kebalikan dari intervensi yang diajukan Thompson. Dan ini berpotensi menghalangi sejumlah besar narapidana–saat ini ada lebih dari 110.000 orang di penjara Indonesia–untuk melayani publik.

Sebagai contoh adalah Frank William Abagnale Jr., seorang penipu terkenal pada 1960-an yang dijatuhi lima tahun penjara karena memalsukan cek palsu di 26 negara. Kisah hidupnya telah diadaptasi menjadi film yang dibintangi aktor Hollywood Leonardo DiCaprio.

Alih-alih mengasingkan dia dari urusan yang berhubungan dengan pemerintah, pemerintah Amerika Serikat menawari Abagnale Jr pekerjaan sebagai penasihat dalam kasus-kasus yang terkait dengan penipuan. Ia kemudian mendirikan perusahaan konsultansi yang membantu para pemangku kepentingan dalam kasus-kasus keamanan dan penipuan. Kisah Abagnale Jr adalah bukti bahwa negara harus membuka pintu bagi para mantan narapidana untuk berkontribusi pada masyarakat.

Menuju Masyarakat yang Adil dan Demokratis

Negara memang memiliki kekuasaan untuk mengatur masyarakat, termasuk kekuasaan untuk membatasi hak mantan narapidana untuk memegang jabatan publik.

Namun, alih-alih membuat undang-undang yang membatasi hak-hak warga negara–dalam hal ini adalah para mantan narapidana–cara terbaik untuk menentukan keputusan tersebut secara adil adalah melalui proses peradilan. Biarkan hakim memeriksa fakta, menghubungkan titik-titik antara teori dan kasus, dan mengambil keputusan untuk mencabut hak pelaku menduduki jabatan publik atau tidak.

Lebih penting lagi, hakim juga perlu secara eksplisit menyebutkan batas waktu sampai kapan mantan narapidana tidak dapat menggunakan hak-hak tersebut.

Dan negara juga harus memberikan kepercayaan lebih pada warganya untuk memilih wakil mereka sendiri, apakah mereka seorang terpidana atau tidak. [Anugerah Rizki Akbari, pengajar Hukum Kriminal di Indonesia Jentera School of Law]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.