Pertemuan di BI, Senin (28/5/2018) yang dihadiri Gubernur BI Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution; Menteri Keuangan, Sri Mulyani; dan Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah/bi.go.id

Koran Sulindo – Bank Indonesia menyatakan arah kebijakan moneter pada sisa tahun akan cenderung menaikkan (hawkish) suku bunga acuan “7-Day Reverse Repo Rate”. Sementara suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 4,50%, dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 6,00%.

“Fokus kami tetap bahwa instrumen moneter digunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi,” kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam jumpa pers Rapat Dewan Gubernur periode Juli 2018 di Jakarta, Kamis (19/7/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Hari ini rapat Dewan Gubernur BI memutuskan menahan suku bunga acuan tetap di angka 5,25 persen. Sebelumnya BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin dalam 2 bulan terakhir.

Menurut Perry, besaran bunga acuan saat ini sudah cukup untuk membuat imbal hasil instrumen keuangan di pasar domestik menarik dan membawa investor asing kembali ke Tanah Air. BI memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun akan meningkat hingga 3,4 persen di akhir tahun karena perkiraan perbaikan data ekonomi AS.

Selisih (spread) antara obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) imbal hasil instrumen keuangan negara dengan kapasitas ekonomi setara (peers) dengan Indonesia, dan masih dalam rentang wajar.

Makropudensial

Sementara itu pelonggaran ekonomi dilakukan melalui kebijakan makroprudensial. Pelonggaran kebijakan makroprudensial ini diyakini dapat meningkatkan fleksibilitas manajemen likuiditas dan intermediasi perbankan bagi pertumbuhan ekonomi.

BI juga meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas dan implementasi reformasi struktural untuk menurunkan defisit transaksi berjalan, termasuk peningkatan devisa pariwisata dan pembiayaan infrastruktur oleh swasta.

BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2018 diprakirakan tetap baik didukung oleh permintaan domestik yang tetap kuat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprakirakan terjaga didukung stimulus fiskal, perbaikan pendapatan, inflasi yang terjaga, serta kenaikan keyakinan konsumen menengah atas. Investasi diprakirakan tetap kuat, yang tidak hanya didukung oleh proyek infrastruktur, tetapi juga oleh proyek noninfrastruktur, baik di investasi bangunan maupun di investasi nonbangunan.

Kuatnya permintaan domestik mendorong kenaikan pertumbuhan impor, khususnya impor barang modal seperti alat angkut, mesin, peralatan dan suku cadang. Sementara itu, pertumbuhan ekspor terindikasi tidak sekuat prakiraan dipengaruhi tren harga komoditas global yang menurun.

“Prakiraan net ekspor yang tidak sekuat prakiraan sebelumnya mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi 2018 yang diprakirakan mendekati batas bawah kisaran proyeksi 5,1-5,5%,” tulis rilis media, hari ini, seperti dikutip bi.go.id.

Neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2018 mencatat surplus didukung surplus neraca perdagangan nonmigas dan penurunan defisit neraca perdagangan migas. Neraca perdagangan Juni 2018 mencatat surplus 1,7 miliar dolar AS, setelah pada bulan sebelumnya mencatat defisit 1,5 miliar dolar AS.

Menurut BI, nilai tukar Rupiah akan terus melemah terbatas akibat berlanjutnya penguatan dolar AS secara global.

Rupiah menguat di awal Juli 2018 sebagai respons positif pelaku pasar atas kebijakan moneter BI yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve pada RDG Juni 2018 yang menaikkan BI7DRR sebesar 50bps. Respons tersebut mendorong aliran masuk modal asing ke pasar keuangan, khususnya Surat Berharga Negara sehingga mendorong penguatan Rupiah.

Inflasi tetap terkendali didukung oleh ekspektasi yang terjaga dan pasokan yang stabil. Inflasi IHK pada Juni 2018 tercatat 0,59% (mtm), meningkat dibandingkan dengan inflasi bulan lalu sebesar 0,21% (mtm). Peningkatan dipengaruhi faktor musiman terkait kenaikan permintaan di Hari Raya Idul Fitri.

Aktifkan Lagi SBI

BI juga sedang mengkaji mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 9 bulan dan 12 bulan untuk menambah portofolio menyerap modal asing. Instrumen moneter ini dihentikan penerbitannya pada Agustus 2017. BI menggantinya dengan SDBI dan term deposit.

“Kami ingin memperluas instrumen, kemungkinan reaktivasi SBI, sedang dikaji. Dalam waktu dekat kami akan umumkan. Sudah di pipeline,” kata Perry Warjiyo, di Jakarta, Kamis (19/7/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Lima tahun sebelumnya, BI juga menghentikan penerbitan SBI di bawah tenor 9 bulan untuk lebih mengelola hot money atau modal asing yang rentan keluar.

Jika SBI kembali diaktifkan, maka instrumen untuk menyimpan modal asing akan bertambah, selain obligasi, deposito, dan saham.

Bank Sentral juga berencana menerbitkan instrumen baru pasar uang bernama “Indonia” yang berbasis transaksi untuk meningkatkan kredibilitas acuan suku bunga di pasar keuangan. [DAS]