Koran Sulindo – Sementara Saudi dan Uni Emirat Arab memboyong perang sengit untuk menancapkan pengaruhnya di Yaman dan wilayah Tanduk Afrika, risiko dan segala dampaknya mungkin tak pernah dihitung dengan sungguh-sungguh.
Dalam tiga tahun terakhir semenjak pengiriman alat perangnya ke negara termiskin di Arab itu, belum satupun goal strategis Saudi tercapai.
Superioritas tentara Saudi yang didukung penuh AS dan Inggris gagal menghentikan perlawanan orang-orang Yaman. Termasuk kampanye militer merebut Kota Hodeidah yang strategis.
Hodeidah, meski belasan hari terus digempur secara brutal Angkatan Darat Yaman yang didukung milisi Ansarullah Houthi justru sukses memukul balik para penyerbunya.
Saudi dipastikan bakal mempertaruhkan segalanya untuk merebut Hodeidah yang dianggap sebagai kubu paling terpenting sekaligus pintu masuk bagi 70 persen impor makanan di Yaman.
Saat ini pertempuran sengit memperebutkan kota saat itu terus berlangsung dan terkonsentrasi di pinggiran selatan dan timur kota.
Di wilayah-wilayah itu, tentara bayaran Saudi berhasil menduduki Pabrik Tepung dan Silo dan Ekhwan Thabit Company di sisi tenggara pintu masuk utama menuju kota. Penduduk setempat menyebut raungan bising helikopter serang Apache, artileri, dan tembakan terus bergema di jalanan kota tanpa sedikitpun menyisakan jeda.
Semula, di hari-hari pertama serangan tentara koalisi berhasil mengepung milisi Houthi di pinggiran selatan kota, terutama dekat Universitas Hodeida, bandara internasional dan distrik Kilo 16 yang strategis.
Gerak maju itu terhenti ketika milisi Houthi yang dibantu pejuang-pejuang suku memukul mundur infantri koalisi sekaligus merebut kembali beberapa tempat jatuh.
Dilindungi pemboman besar-besaran dari udara, unit-unit lapis baja merangsek ke wilayah itu untuk menyediakan cover bagi infantri mencapai Saleh Buildings dan lingkungan City Max di timur Hodeida.
Pertahanan yang kuat dan taktik gerilya Houthi membuat tentara koalisi harus berhitung seribu kali untuk maju.
Tentara Bayaran
Untuk merebut Hodeidah, koalisi negara-negara Teluk pimpinan Saudi lebih banyak mengandalkan senjata berat dan pemboman masif. Mereka juga diperkuat dengan 30.000 tentara bayaran yang dikumpulkan dari wilayah Yaman Selatan serta berbagai negara Afrika.
Sejak hari pertama penyerbuan Hodeidah, banyak di antara tentara bayaran Sudan terbunuh sementara tiga lainnya ditangkap oleh Angkatan Darat Yaman ketika merebut kembali distrik al-Jabaliah.
Merujuk kematian tentara bayaran asal Sudan di Hodeidah, Juru Bicara Houthi Mohammed AbdulSalam mendesak Sudan mengubah posisinya dalam perang melawan Yaman.
“Pasukan Sudan adalah korban dari pemerintah mereka, mereka ada dalam daftar gaji perang yang kejam dan tidak masuk akal. Dengan segala hormat kepada bangsa Sudan, kami berharap rezim Sudan mengubah posisinya mengenai keikutsertaannya dalam agresi di Yaman,” kata Abdul Salam.
“Pemerintah Sudan tidak akan mencapai apapun selain kekalahan dan kehancuran dari perang yang sia-sia ini.”
Jatuhnya kembali Distrik al-Jabalieh bagaimanapun secara efektif memotong jalur pasokan koalisi pimpinan Saudi untuk mengirim senjata dan bala bantuan ke tenggara Hodeidah. Tentara bayaran yang tersisa terkepung dengan tidak ada jalan keluar kecuali menyelamatkan diri ke Laut Merah.
Dari kartu identitas yang ditemukan di tubuh mereka, sebagian besar tentara Koalisi yang tewas dalam pertempuran umumnya tentara bayaran yang dikumpulkan dari seluruh Yaman. Namun dalam beberapa hari terakhir mulai datang jenasah-jenasah tentara Sudan yang dikirim ke rumah sakit Mukha dan Aden.
Sebuah sumber di rumah sakit Aden seperti dikutip dari MintPress menyebut dalam tiga hari terakhir terdapat lebih dari 300 tentara bayaran, termasuk seorang komandan, terbunuh atau terluka dan harus berakhir di rumah sakit itu.
Sementara itu seorang staf medis di rumah sakit di Hodeida menyebut lebih dari 50 warga sipil juga dilaporkan tewas akibat serangan udara koalisi yang menyasar rumah-rumah sakit di wilayah itu.
Awak kesehatan sejauh ini gagal mengevakuasi mereka yang terluka keluar Hodeida karena ancaman serangan udara dan pembomban konstan.
Bencana
Mariam Aldogani, koordinator lapangan Save the Children di Yaman mengatakan orang-orang di Hodeida benar-benar hidup di dalam ketakutan.
“Ada pertempuran yang sedang berlangsung, dan situasinya sangat buruk. Dalam 30 menit terakhir ada lebih dari 15 serangan udara. Ini harus segera dihentikan,” kata Aldogani.
Ia menyebut serangan udara koalisi tak pandang bulu membom rumah sipil, rumah sakit, sekolah, pabrik, infrastruktur, hingga persediaan makanan.
Senin awal pekan ini jet-jet tempur koalisi menggempur pelabuhan Hodeida yang merupakan satu-satunya jalur kehidupan bagi 14 juta warga Yaman yang kini tengah menghadapi kelaparan massal. Lima kali serangan udara itu menewaskan beberapa pekerja pelabuhan dan melukai delapan lainnya.
Serangan itu bagaimanapun memicu rasa takut penduduk bahwa bantuan makanan bakal terganggu karena di tengah blokade laut yang ketat, Yaman justru sangat bergantung pada impor makanan melalui pelabuhan di Hodeida.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa setiap upaya penghancuran pelabuhan bisa memicu situasi bencana. “Jika pelabuhan di Hodeida dihancurkan, itu benar-benar menciptakan malapetaka,” kata Guteres kepada Radio Prancis. “Yaman menghadapi bencana situasi kemanusiaan.”
Sementara itu menanggapi serangan tanpa henti di Hodeidah ribuan warga Yaman menggelar unjuk rasa di seluruh negeri dan bersumpah membela penduduk kota itu dengan cara apapun.
Tercatat, selama akhir pekan terakhir ratusan demonstran meninggalkan protes dan memilih mengangkat senjata dan menuju garis depan Hodeida.
Di Hodeida, suku-suku lokal berkumpul di distrik al Luheiha, Jabel al Rass, Bajjel, dan al Sukhnah juga menyuarakan dukungan mereka pada milisi Houthi. Para pemimpin suku itu berjanji membawa pertempuran mereka ke garis depan.[TGU]