Kota Banda Neira [Foto: Airpaz Blog]

(Tulisan ini adalah bagian pertama dari 2 bagian)

Kepulauan Banda berada di arah sebelah tenggara. Ya, wilayah ini adalah satu dari pulau-pulau yang ada di Provinsi Maluku. Bila dilihat di dalam peta Indonesia, Kepulauan Banda hanya berupa titik-titik atau noktah-noktah kecil di hamparan laut yang luas, yaitu Laut Banda.

Sebagai pusat pemerintahan, Pulau Banda memiliki berbagai fasilitas yang cukup lengkap dibandingkan dengan beberapa pulau lainnya. Berbagai gedung perkantoran dan beberapa fasllltas lain ada di pulau ini.

Di antaranya adalah, kantor kecamatan, kantor pos, kantor telepon, kantor PLN, pertokoan, pasar, gedung bioskop, hotel, dan penginapan. Jalan yang melingkari pulau sepanjang 1.040 km dengan lebar sekitar 4-5 meter ini pun sudah diaspal halus.

Gang-gang kecil di perkampungan sudah dibeton, sehingga tampak rapi dan teratur. Di Pulau Banda Besar, Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta, dan pulau-pulau lain fasilitasnya tidak selengkap dan sebaik di Pulau Banda.

Meski begitu, hampir seluruh jalan di gugusan kepulauan ini yang lebarnya berkisar antara 1-2 meter, umumnya sudah diaspal. Listrik penerangan dari PLN, khususnya di Pulau Banda, juga sudah dapat dinikmati selama 24 jam penuh.

Di pulau lain, aliran listrik hanya untuk malam hari, yakni antara pukul 18.00 dan 06.00 keesokan harinya. Departemen Penerangan, dulu, telah membangun stasiun pemancar relay televisi di Pulau Banda, sehingga masyarakat dapat menikmati program siaran televisi secara jelas.

Bahkan beberapa warga ada yang memiliki parabola, sehingga siaran dari luar negeri pun dapat dilihat cukup jelas. Tetapi demikian, kehidupan di sana berbeda dengan pada 1995, di mana Kecamatan Banda hanya memiliki penduduk sebanyak 15.362 jiwa.

Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dapat dikatakan berimbang, yaitu sebanyak 7.682 laki-laki dan 7.680 perempuan. Pertumbuhan penduduknya relatif rendah. Sebagai gambaran, pada 1985 penduduk di kecamatan ini sebanyak 14.626 jiwa.

Jadi, kurang lebih selama 10 tahun pada 1995, penduduknya hanya bertambah sebanyak 736 jiwa atau rata-rata sekitar 0,5 persen per tahun. Jumlah penduduk per pulau di Kecamatan Banda tidak merata. Pulau yang disebut Neira ini yang menjadi pusat pemerintahan, berpenduduk paling banyak jumlahnya, yaitu 6.480 jiwa (42,2 persen).

Penduduk laki-laki sebanyak 3.247 jiwa, sedang perempuan sebanyak 3.233 jiwa yang tersebar di Desa Rajawali, Desa Merdeka, Desa Kampung Baru, Desa Nusantara, dan Desa Dwiwarna. Sisanya, tersebar di Pulau Lontar, Pulau Gunungapi, Pulau Ai, Pulau Run, dan Pulau Hatta.

Penduduk asli Kepulauan Banda adalah orang (suku) Banda atau suku Neira. Kini, orang Banda hidup berbaur dengan penduduk pendatang dari berbagai suku atau ras, baik dari daerah lain di Indonesia, maupun dari luar negeri.

Berdasarkan Dr. M. Junus Melalatoa, yang merupakan pakar Antropologi UI, pada 1990-an jumlah orang Banda lebih sedikit dibanding dengan penduduk pendatang yang tinggal di Kepulauan Banda.

Sementara itu, penduduk kepulauan ini bukanlah orang Banda asli. Mereka adalah campuran keturunan Portugis, Belanda, Arab, Filipina, Tionghoa, Mozambik, Persia, Benggali, Pegu, dan Koromandel.

Sedangkan dari Indonesia sendiri, orang Buton merupakan pendatang terbesar (70 persen), disusul orang Jawa. Menurut Iatar sejarah, kemajemukan penduduk Banda ini tampak intensif sejak kedatangan atau penguasaan Belanda di Kepulauan Banda pada awal abad ke-17.

Belanda (VOC) datang dan menguasai Kepulauan Banda dalam rangka memonopoli hasil pala yang merupakan komoditas penting waktu itu. Pada 1621, terjadi perang besar di Kepulauan Banda (pelayaran Hongi).

Penduduk asli yang tidak mau tunduk pada kemauan Belanda, terpaksa pindah atau mengungsi ke pulau-pulau lain. Belanda yang membutuhkan banyak tenaga untuk mengelola perkebunan pala, kemudian mendatangkan tenaga dari berbagai daerah, antara lain dari Pulau Jawa, Irian, dan Sulawesi, termasuk Buton.

Sebelum itu, di Kepulauan Banda sudah tinggal berbagai bangsa lain, seperti Portugis, Tionghoa, Arab, Filipina, Mozambik, Persia, dan Koromandel. Dalam waktu yang panjang, berbagai suku dan golongan ras itu berbaur.

Akhirnya, lahir warga masyarakat Banda seperti yang sekarang. Ada yang memiliki ayah Suku Jawa dan ibu dari Buton, ayah dari Sulawesi dan ibu dari Arab, dan masih banyak lagi.

Tidak ada budaya asli di Banda, tidak ada bahasa daerah di kepulauan ini. Bahasa sehari-hari adalah bahasa Indonesia dialek Maluku. Walaupun demikian, yang jelas, semua warga di kepulauan ini mengaku sebagai orang Banda. [WIS]

(Bersambung ke bagian 2, pada 19 September 2021, pukul 14.00)

Baca juga: