Koran Sulindo – Pada suatu siang tahun 2010. Beberapa orang tampak berkumpul di sebuah ruangan di gedung yang terletak di kawasan Senayan, Jakarta. Mereka terlihat membicarakan tentang pembuatan KTP elektronik (e-KTP).
Setelah bercakap-cakap sebentar, seorang di antaranya, Setya Novanto, Ketua Fraksi Golkar mendukung program itu. Terutama dari sisi anggaran. Novanto bahkan berjanji akan berkoordinasi dengan pimpinan fraksi lainnya. Itulah percakapan yang terjadi di ruangan Novanto di gedung DPR, Jakarta.
Selain Novanto, orang yang hadir dalam pertemuan itu adalah Irman, Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Andi Agustinus alias Andi Narogong, seorang pengusaha yang disebut mitra lama Kemendagri. Pengusaha ini pula yang disebut sebagai pelaksana proyek e-KTP.
Setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada Mei 2010, sebelum rapat dengar pendapat, Irman bersama Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni bertemu dengan beberapa anggota Komisi II seperti Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arief Wibowo, M Nazaruddin. Lagi-lagi Andi Agustinus hadir dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan itu dibahas tentang pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan pemberian NIK secara nasional serta pembicaraan pendahuluan, terutama memasukkan proyek itu sebagai prioritas ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara tahun 2011 untuk kontrak tahun jamak. Dalam pertemuan itulah ditegaskan bahwa proyek tersebut akan dilaksanakan oleh Andi Agustinus dengan komitmen memberi komisi ke sejumlah anggota DPR dan pejabat Kemendagri. Soal itu, Andi membenarkannya.
Selepas itu, Irman menjadwalkan pertemuan lanjutan dengan menghubungi Johanes Richard Tanjaya yang merupakan Direktur PT Java Trade Utama. Pertemuan itu kemudian ditetapkan di Hotel Sultan dan Irman memperkenalkan Andi sebagai orang yang ingin menjalankan proyek dan mengurus anggaran proyek e-KTP..
Sekitar Juli hingga Agustus 2010, DPR mulai membahas anggaran proyek e-KTP. Andi karena itu aktif menemui Novanto, Anas Urbaningrum (mantan Ketua Partai Demokrat) dan Muhammad Nazaruddin (mantan Bendahara Partai Demokrat). Komisi II kemudian sepakat menetapkan anggaran proyek e-KTP menjadi Rp 5,9 triliun. Pembahasan anggaran ini dikawal Partai Demokrat dan Partai Golkar.
Andi berjanji akan memberikan komisi kepada anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri karena penetapan anggaran proyek tersebut. Ia pun kemudian membuat kesepakatan dengan Novanto, Anas dan Nazaruddin. Kesepakatan itu antara lain 51 persen dari anggaran itu atau sekitar Rp 2,7 triliun akan dipergunakan sebagai belanja modal untuk pembiayaan proyek. Sisanya sekitar Rp 2,6 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto serta anggota DPR.
Sementara jatah untuk Novanto dan Andi Agustinus mencapai sekitar Rp 574 miliar. Komisi yang serupa juga diperoleh Anas dan Nazaruddin. Di samping membagi-bagi komisi, pertemuan itu juga membahas perusahaan yang akan mengerjakan proyek e-KTP. Pilihannya jatuh pada badan usaha milik negara.
Cerita ini terungkap pada Kamis (9/3) ketika persidangan perdana terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto digelar. Keduanya yang sudah menetapkan diri sebagai justice collaborator mendengarkan secara seksama dakwaan yang dibacakan jaksa itu. Tidak ada sepatah kata bantahan keluar dari kedua orang itu. Mereka seolah-olah membenarkan dakwaan tersebut.
Berdasarkan dakwaan itu, Irman dan Sugiharto disebut secara bersama-sama dengan Andi Agustinus, Isnu Edhi Wujaya (Ketua Konsorsium PNRI), Diah Anggraeni (Sekjen Kemendagri), Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar periode 2009 hingga 2014) dan Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan barang/jasa Dirjen Dukcapil tahun 2011) melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum yaitu pengadaan e-KTP secara nasional tahun anggaran 2011 hingga 2013.
Sementara para terdakwa juga disebut memperkaya orang lain seperti Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Dradjat Wisnu Setyawan beserta enam orang anggota Panitia Pengadaan, Husni Fahmi beserta lima orang anggota Tim Teknis, Johannes Marliem, Anas, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasona Laoly dan 37 anggota Komisi II.
Juga memperkaya korporasi seperti PNRI, PT Len Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI. Akibat perbuatan itu negara rugi sekitar Rp 2,3 triliun.
Setelah pembacaan dakwaan, Jaksa KPK Irine Putri menegaskan tentang keterlibatan Novanto. Lembaga anti-rasuah itu disebut telah mengantongi dua alat bukti permulaan yang cukup sehingga berani menyatakan Novanto turut serta dalam perbuatan korupsi itu. Karena itu, kata Irine, jika ada yang membantah tentang keterlibatannya, maka KPK sudah menyiapkan alat bukti untuk menyeretnya dan membawanya ke pengadilan.
Sedangkan, untuk Irman dan Sugiharto, penyidik KPK fokus pada uang diterima keduanya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan uraian dakwaan itu akan terus berkembang. Menanggapi dakwaan tersebut, Irman dan Sugiharto berjanji akan blak-blakan dan membukanya secara tuntas. [KRG]