Korban tsunami Selat Sunda di Pandeglang, Banten [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Lebih dari 160 orang dipastikan tewas akibat tsunami yang menerjang pesisir Selat Sunda. Juga lebih dari 700 orang mengalami luka-luka. Tsunami itu disebut terjadi karena erupsi Gunung Anak Krakatau pada Sabtu (22/12) malam.

Gelombang tsunami yang menerjang pesisir pantai Selat Sunda diperkirakan mencapai 20 meter. Karena itu, ratusan rumah dan hotel hancur porak-poranda. The Washington Post mengutip Associated Press melaporkan, analisis BMKG menyebutkan, tsunami terjadi karena adanya longsor di bawah laut akibat letusan Gunung Anak Krakatau. Juga memang ada gelombang pasang karena bulan purnama pada Sabtu malam kemarin.

Seorang turis warga negara Norwegia. Lund Andersen dalam akun Facebook-nya menuliskan, ketika sedang asyik memotret erupsi gunung berapi, tiba-tiba gelombang besar datang menerjangnya. Ia harus berlari kencang menghindari gelombang besar itu yang mencapai sekitar 15 hingga 20 meter.

Gelombang selanjutnya menghantam lokasi hotel tempat Andersen menginap dan menerjang mobil. Ia bersama keluarganya berhasil mengungsi ke tempat yang lebih tinggi melalui jalan setapak dari desa. Di sana warga menolong mereka dan merawatnya. Ia bersyukur tidak terluka.

Pandeglang merupakan salah satu daerah yang paling parah dihantam tsunami. Juga Tamana Nasional Ujung Kulon. Sementara itu, di Kota Bandar Lampung, ratusan penduduk mengungsi ke kantor gubernur.

Seorang warga Pandeglang, Alif ketika diwawancarai MetroTV menuturkan, ada banyak keluarga yang mencari saudara-saudaranya yang belum ditemukan. Gunung Anak Krakatau yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Jawa meletus sekitar 30 menit sebelum tsunami terjadi, kata BMKG.

Sebelum erupsi pada Sabtu malam kemarin, gunung ini juga telah erupsi pada Juni lalu. Karena itu, pihak otoritas memperluas larangan terbang menjadi sekitar 2 kilometer dari kawah.

Seorang ahl bencana gunung berapi dan geologi, Igan Sutawijaya kepada wartawan Washington Post mengatakan, Selat Sunda memang menjadi daerah rawan bencana. Namun, ombak tinggi itu tidak terkait langsung dengan erupsi Gunung Anak Krakatau. Ia menduga terjadi tanah longsor di bawah laut. “Tidak masuk akal jika itu disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau,” kata Igan.

Wilayah Indonesia yang rawan bencana ini dimasukkan dalam wilayah yang disebut “cincin api” yang aktif seismik di Samudra Pasifik. Anak Krakatau muncul pada 1920-an setelah meletus pada 1883. [KRG]