(Tulisan ini pernah dimuat pada 18 Maret 2018)

Koran Sulindo –Ketika Wali Kota Amsterdam Nicholas Witsen meminta komandan VOC di Pantai Malabar, Adrian van Ommen, membawa bibit kopi ke Batavia pada 1696, Witsen sepenuhnya cuma coba-coba.

Bibit kopi itu oleh van Ommen diujicoba di lahan milik Gubernur Jendral VOC Willem van Outhoorn, di daerah yang sekarang disebut Pondok Kopi di Jakarta Timur.

Panen pertama kopi Jawa dari Pondok Kopi itu langsung dikirim ke Hortus Botanicus di Amsterdam. Para biolog di Hortus Botanicus itu belakangan tercengang dan kagum dengan mutu kopi yang ditanam di tanah Jawa itu.

Mereka menyebut mutu dan cita rasa kopi Jawa mengalahkan semua kopi yang pernah mereka coba. Mereka juga segera mengirim contoh kopi Jawa itu ke berbagai kebun raya di seluruh Eropa.

Di antara kebun raya yang menerima kopi contoh itu salah satunya adalah Kebun Raya Kerajaan milik Louis XIV.  Tertarik dengan mutunya, orang-orang Prancis memperbanyak contoh kiriman itu dan segera mengirimkannya benihnya semua wilayah jajahan untuk dibudidayakan.

Dunia mengakui mengakui cita rasa yang mantap dan aromanya yang khas menjadi daya tarik utama Kopi Jawa.

Di sisi lain, di tengah perdagangan kopi sangat memang menguntungkan VOC, Kopi Jawa menjadi harta karun. Ekspor kopi menjadi andalan VOC mengeruk uang dari tanah Jawa yang subur.

Ide yang semula sederhana itu akhirnya membuat Jawa menjadi sapi perahan VOC.

Tanah hitam yang berpasir dianggap sebagai tanah yang paling ideal untuk pohon kopi. Sementara pemilihan kebun kopi harus mempertimbangkan tempat ideal yang meliputi ketinggian, naungan, dan tak terlalu banyak sinar matahari.

Pegunungan

Belanda menyimpulkan tempat paling baik adalah lembah di kaki gunung atau lereng perbukitan yang rendah dan daerah yang dekat gunung berapi. Semakin tinggi kebun itu, makin lama periode yang dibutuhkan untuk panen namun hasilnya akan makin baik.

Menerapkan sistem monopoli, sejak abad 18 pemerintah kolonial Belanda mengontrol mulai dari penanaman, perawatan sampai pengangkutan hasil ke gudang pemerintah.

Sebelum tahun 1808, perkebunan kopi hanya ada di wilayah Jawa Barat dengan hasil kurang dari sepersepuluh berasal dari wilayah timur Jawa. Namun di bawah pemerintahan Deandels, tanaman yang bisa tumbuh di berbagai lahan menjadi fokus tanpa kecuali. Di era ini hampir seluruh wilayah di Jawa diolah menjadi perkebunan kopi.

Di wilayah Jawa Barat, setiap keluarga diwajibkan menanam 1.000 batang pohon kopi, sementara di wilayah timur, yang iklimnya tidak terlalu mendukung, jumlah yang wajib di tanam hanya separonya. Tidak boleh ada penolakan dalam program ini.

Thomas Stamford Raffles dalam History of Jawa menulis semua tugas untuk menanam, menyiangi, dan mengumpulkan itu langsung di bawah pengawasan pegawai Belanda.

Mereka inilah yang menentukan tempat mana yang harus dibuka, menentukan pekerjaan pembersihan dan menyiangi tanaman, serta menentukan pembagian hasil panen untuk disimpan di gudang. Raffles menyebut produksi kopi secara umum rata-rata tidak lebih dari satu kati atau 1,25 pound per batang.

Pengasapan

Di Pasundan, musim bunga kopi terjadi mulai di bulan Juni atau Juli, dan masa penyimpanan umumnya sudah selesai pada bulan April.

Ada tiga masa panen yakni yang pertama biasanya hasilnya sedikit, kedua lebih banyak, dan panen ketiga merupakan masa pembersihan sisa-sisa atau sengaja dibiarkan membusuk.

Biji kopi yang berwarna hitam berkilau itu diambil dengan hati-hati dengan menggunakan sebatang bambu. Pemetikan tak boleh merontokkan bunga atau buah yang belum masak. Tugas-tugas pemetikan ini umumnya dilakukan oleh wanita dan anak-anak, sementara lelaki dewasa mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat.

Di desa-desa tempat perkebunan kopi dibuka, tersedia gudang penyimpanan biji kopi masak yang biasanya dibangun setinggi 1-1,5 meter dari tanah, untuk proses pengeringan dengan atap yang bisa dibuka.

Pengeringan biji kopi dilakukan dengan menyalakan api unggun sepanjang malam. Sementara sinar matahari dianggap menurunkan kualitas biji, atap penyimpanan ditutup pada siang hari. Proses ini dilakukan berulang hingga kulit biji kopi benar-benar kering.

Umumnya, biji kopi berwarna hijau atau keabu-abuan dan rasanya bakal berubah akibat pengasapan. Bentuk biji kopi yang diolah melalui proses ini, berbeda dengan biji kopi yang mengalami penjemuran. Mereka lebih besar, warnanya lebih pucat dan pudar.

Sedangankan untuk memisahkan biji kopi dari kulitnya, orang-orang umumnya menempatkan biji-biji itu pada kantong kulit kerbau, dan dipukulkan dengan hati-hati agar tak memecahkan bijinya.

Biji-biji kopi yang sudah bersih lalu diletakkan di dalam kantong atau wadah, dan di bawa ke gudang penyimpanan dengan cara dipikul atau diangkut kuda.

Untung Besar

Belanda memiliki tiga depot utama di seluruh Pasundan yang dimanfaatkan untuk mengumpulkan kopi dari petani, yakni di Buitenzorg atau Bogor, Chikan, dan Karangsambang. Dari Bogor, biji kopi umumnya diangkut ke Batavia dengan menggunakan kereta atau lingkong, yakni menghilir menggunakan perahu memanfaatkan aliran sungai.

Sementara dari Chikan kopi dikirim dengan perahu menyusuri Sungai Citarum, dan dari Karangsambang dikirim melalui Sungai Cimanuk ke Indramayu. Kopi-kopi itu lantas dikumpulkan di sebuah gudang besar dan diekspor langsung ke pasar Eropa.

Memanfaatkan sistem ini, diperkirakan dari Pasundan saja Belanda berhasil mengumpulkan 100.000 pikul atau 6.500 ton kopi per tahun. Berlanjut di era cultuurstelsel atau tanam paksa, jumlah itu bertambah berkali-kali lipat sementara jika terjadi kerugian, petani yang memikul tanggung jawabnya.

Pemerintahan kolonial yang despotik dan hanya memikirkan keuntungan, seringkali menggunakan paksaan untuk membuat petani bekerja keras, dan menciptakan kebijakan yang sama sekali tidak manusiawi.

Perkebunan yang dipaksakan pada petani di Pasundan sekaligus beban target yang tinggi, seringkali hanya menyisakan sedikit waktu bagi petani untuk keluarganya, termasuk memenuhi kebutuhan pokok.

Tak pernah ada angka pasti hasil keungtungan yang diperoleh petani sebelum 1808. Umumnya perhitungan hanya dibuat untuk memenui kebutuhan pemerintah akan angka-angka yang menyenangkan.

Di era Deandels, meski sistem ini diubah petani tetap saja menerima bagian terkecil dari keuntungan kopi. Rata-rata, mereka hanya menerima sejumlah tembaga seharga 3 rix dollar untuk setiap pikul yang berisi kopi seberat 65 kg, atau 1 dolar per 100 kg kopi.

Padahal dari jumlah yang sama, di Batavia yang hanya berjarak 50 km dari perkebunan, Belanda menerima 20 dolar Spanyol. Komoditas yang sama di Eropa dihargai 11 pence per pound.

Deandels menganggap pembayaran ini lebih adil, meskipun kopi seberat 100 kg itu harus dipanggul oleh dua laki-laki dewasa melewati medan berat.(TGU)

Baca juga: