Ilustrasi: Polisi pada saat teror Thmarin Januari 2016/AP

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo merestui Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilibatkan dalam pemberantasan teroris.

“Komando Operasi Khusus Gabungan TNI sudah direstui oleh Presiden dan diresmikan kembali oleh Panglima TNI. Tugasnya seperti apa, akan dikomunikasikan antara Kapolri dengan Panglima TNI,” kata Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko,  di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (16/5/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Koopssusgab merupakan tim anti-teror gabungan tiga matra TNI. Pasukan ini berasal dari Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara TNI Angkatan Laut dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI Angkatan Udara.

Tim anti-teror ini dibentuk pada 9 Juni 2015 lalu, saat itu Panglima TNI dijabat Moeldoko. Koopssusgab hanya berjumlah 90 prajurit. Fungsi utamanya sebagai pasukan bantuan dalam melawan ancaman teror, baik dari dalam maupun luar.

Wacana pembentukan Koopssusgab sudah muncul sejak 2002 tapi tidak terwujud karena pergantian Panglima TNI.

Menurut Moeldoko, Koopssusgab berada di bawah komando Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

“Tidak perlu menunggu revisi UU Anti-terorisme, pasukan itu sudah disiapkan, tidak perlu payung hukum,” katanya.

Pusat pelatihan Koopssusgab berada di Indonesia Peace and Security Center (IPSC) Sentul, Bogor.

Namun bila revisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka polisi dapat langsung melakukan deteksi dan selanjutnya menangkap saja langsung.

“Seluruh kekuatan yang ada di kepolisian, apakah itu Densus 88 atau ada unsur lain intinya kita siap menghadapi situasi apapun,” kata Moeldoko.

Dalam sepekan terakhir, sejumlah daerah di Indonesia mengalami serangan bom oleh para teroris.

Kopassus

Sebelumnya, Mabes Polri mengkonfirmasi keterlibatan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI guna menindak jaringan teroris yang telah menebar sejumlah aksi teror di Indonesia.

“Kopassus sudah ikut masuk,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto, di Jakarta, Rabu (16/5/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Brimob Polri telah bekerja sama dengan Kopassus untuk pengamanan saat penggerebekan jaringan teroris di tempat kejadian perkara.

Pada Maret lalu, DPR dan Pemerintah menyepakati pelibatan TNI dalam pemberantasan tidak terorisme. Payung hukumnya dengan pengesahan UU Terorisme secepatnya.

Secara teknis, detil pelibatan TNI ini akan diatur lewat Peraturan Presiden. DPR berpendapat keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah keniscayaan. Peraturan Presiden yang mengatur tentang keterlibatan TNI itu sudah harus ada paling lama setahun sejak UU tersebut disahkan.

Pilihan Terakhir

Wacana pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme ini ramai diperdebatkan sejak tahun lalu.

Pada 31 Mei 2017, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah dalam Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU No 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2 dan ayat 3).

“Mengacu pada pasal itu sebenarnya presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara,” kata Al Araf, melalui keterangan tertulis, di Jakarta, saat itu.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan perlunya pelibatan militer dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kewenangan TNI itu dimintanya masuk di dalam RUU Antiterorisme dan meyakini Menko Polhukam Wiranto sudah mempersiapkan alasan-alasan mengenai perlunya TNI masuk dalam RUU Antiterorisme itu.

Menurut Al Araf, keinginan Presiden untuk melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengatur pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme. Pelibatan militer itu cukup mengacu pada UU TNI.

Selama ini militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme, seperti sekarang terjadi dalam operasi Tinombala di Poso.

Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara.

“Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi last resort (pilihan terakhir), yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme,” katanya.

Imparsial meminta revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap dalam sistem negara demokrasi, penghormatan pada negara hukum dan HAM, serta menggunakan model mekanisme criminal justice system.

“Karena itu, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik negara, dengan mempertimbangkan eskalasi ancaman yang berkembang, dan merupakan pilihan yang terakhir,” kata Al Araf. [DAS]