SALAH SATU ironi yang sering dilontarkan setiap menjelang Hari Kartini dan perayaan Hari Kartini sebagai pahlawan nasional adalah status Kartini sebagai istri keempat.
Bagaimana mungkin seorang tokoh pergerakan perempuan yang namanya menjadi inspirasi gerakan kesetaraan gender dan feminisme di Indonesia sudi dipoligami?
Pernah terjadi beberapa hari menjelang Hari Kartini, 21 April tahun 1986, di sebuah harian umum yang terbit di Jakarta ada tulisan menarik. Tulisan itu intinya menggugat gelar Pahlawan Nasional yang telah diberikan kepada RA Kartini. Alasannya, RA Kartini tidak layak menyandang gelar tersebut karena ketika masih hidup dipoligami oleh suaminya. Jadi, menurut tulisan itu seorang wanita yang dipoligami tidak layak mendapatkan suatu kehormatan.
Poligami Pada Kehidupan Kartini
Raden Ajeng Kartini adalah tokoh yang dipuja oleh kaum Feminis. Walaupun pada kenyataannya, Kartini terlahir dari seorang ibu yang merupakan selir bupati Jepara dan ia sendiri merupakan istri keempat dari bupati Rembang.
“Salah satu alasan utama Kartini akhirnya bersedia menikah dengan lelaki yang telah beristri atau dipoligami, justru karena rasa hormat dan cintanya kepada sang ayah,” kata Krisnina (Nina) Maharani, penulis buku Pikiran Kartini pada detik.com (Rabu 18/4/2018).
Menurut Krisnina, Kartini sudah pada titik menanggalkan egoismenya. Ia yang semula hidup pada tataran ideal mulai berpijak pada realitas sosial di sekelilingnya.
Dalam buku Pikiran Kartini yang terbit pada 2015, cuplikan surat Kartini kepada Abendanon tertanggal 14 Juli 1903 yang menegaskan bahwa dirinya telah berjuang, bergulat, menderita dengan segala sikap kukuhnya saat sang ayah, RM Adipati Sosrodiningrat menjodohkannya dengan Djojoadiningrat. “Saya tidak dapat menjadikan nasib celaka Ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai,” tertulis dalam surat itu.
Nina menjelaskan, situasi pada kala itu bahwa, Sosrodiningrat, sang ayah, kerap diejek oleh para koleganya karena Kartini tak kunjung menikah. Padahal usianya sudah menginjak 24 tahun yang pada masa itu sudah tergolong perawan tua.
Sosrodiningrat sebetulnya hanya berupaya memilihkan lelaki yang dinilainya bakal cocok mendampingi putrinya yang punya jiwa pemberontak.
Djojoadiningrat sang bupati Rembang itu punya latar pendidikan bagus di Belanda. Sebagai bupati ia juga tergolong berprestasi karena dapat mengendalikan peredaran candu yang membahayakan masyarakat kala itu.
“Dia lelaki yang moderat. Kalau soal istri lebih dari satu itu menjadi tradisi yang berlaku di Jawa pada era tersebut,” ujar Nina.
Praktik poligami, tampaknya sudah disaksikan Kartini dari kedua orang tuanya. Sebagaimana diketahui, Kartini adalah anak dari istri kedua bapaknya, atau istri selir, bernama Mas Ajeng Ngasirah. Ibunya ini adalah anak Kiai Modirono dengan Nyai Haji Siti Aminah dari Telukawur, Mayong. Kakek dari pihak ibu ini, sebagaimana yang ditulisnya, adalah keturunan dari raja-raja Madura.
Hal lain yang tak banyak diungkap, rupanya Kartini pun mengajukan sejumlah syarat kepada calon suami yang akan memperistrinya. Syarat itu antara lain boleh membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang, dan membawa ahli ukir Jepara ke Rembang untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial.
Syarat lainnya menyangkut upacara pernikahan. “Dia menolak ada prosesi jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki mempelai pria dan akan berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko, buku kromo inggil. Ini syarat-syarat yang radikal untuk ukuran masa itu,” kata Nina.
Surat-surat Kartini
Sepeninggal R.A Kartini, seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mulai mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh R.A Kartini ketika ia aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu. Dari situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’ yang kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun 1911.
Segelintir kalangan meyakini bahwa Kartini tidak menulis surat-surat itu. Karena siapa lah Kartini, ia hanya seorang perempuan biasa seperti umumnya perempuan Jawa awal abad ke-20.
Sebagian orang juga meyakini buku Dari Kegelapan Menuju Cahaya hanyalah karangan JH Abendanon, sebagai seorang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda, orang yang paling bertanggung jawab atas Kebijakan Etis dan orang yang paling punya kepentingan untuk menunjukkan bahwa kebijakan kolonial itu berhasil.
Ada yang menduga bahwa J.H. Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini didasarkan pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda ketika itu, dimana J.H Abendanon sendiri termasuk yang memiliki kepentingan dan mendukung pelaksanaan politik etis.
Bahkan hingga saat ini sebagian besar naskah asli surat Kartini tidak diketahui keberadaannya. Jejak keturunan J.H. Abendanon pun sulit untuk dilacak oleh Pemerintah Belanda. Tak heran kemudian banyak kalangan yang meragukan kebenaran dari surat-surat Kartini tersebut. [S21]