Perdana Menteri Inggris Winston Churchill tiba di kota resor Yalta, di sepanjang pantai Laut Hitam Semenanjung Krimea, Uni Soviet pada 3 Februari 1945.
Churchill lalu menemui dua pemimpin besar lainnya dari Blok Sekutu, yaitu Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Union Soviet Joseph Stalin. Ketiganya menghadiri Konferensi Yalta dari tanggal 4 hingga 11 Februari 1945, ketika Perang Dunia 2 masih berlangsung.
Latar Belakang
Sebelum mengadakan Konferensi Yalta, ketiga pemimpin besar Blok Sekutu lebih dulu menghadiri Konferensi Tehran dari tanggal 28 November sampai 1 Desember 1943. Pencapaian paling menonjol dari konferensi tersebut adalah pelaksanaan Operasi Overlord pada 6 Juni 1944. Sementara itu, Stalin setuju untuk bergabung dalam perang melawan Jepang di Pasifik setelah Jerman dikalahkan.
Kesuksesan Operasi Overlord memperbesar potensi kemenangan Blok Sekutu di Eropa. Para pemimpin Sekutu menyadari hal ini, tetapi mereka kurang yakin Perang Pasifik hampir berakhir.
Menyadari kemenangan atas Jepang mungkin memerlukan pertarungan yang berlarut-larut, Amerika Serikat dan Inggris melihat keuntungan strategis yang besar dari partisipasi Soviet di medan Pasifik. Maka, ketiganya mengadakan Konferensi Yalta.
Hasil Konferensi Yalta
Dalam Konferensi Yalta, ketiga pemimpin besar Blok Sekutu mendiskusikan keterlibatan Uni Soviet dalam perang melawan Jepang serta masa depan Jerman, Eropa Timur, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Roosevelt, Churchill, dan Stalin setuju bahwa, sebagai imbalan atas partisipasi Uni Soviet yang berpotensi penting di medan Pasifik, Uni Soviet akan diberikan lingkup pengaruh di Manchuria setelah Jepang menyerah. Ini termasuk bagian selatan Sakhalin, sewa di Port Arthur (sekarang Lüshunkou), bagian dalam pengoperasian rel kereta api Manchuria, dan Kepulauan Kuril.
Ketiganya lalu sepakat untuk mengikutsertakan Prancis dalam pemerintahan Jerman pascaperang dan menuntut Jerman memberi ganti rugi dalam bentuk uang, mesin, dan bahkan manusia kepada negara-negara yang terdampak.
Lebih lanjut, Jerman akan “didenazifikasi” dan berada di bawah pendudukan Sekutu. Wilayahnya akan dibagi menjadi empat zona pendudukan antara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Prancis. Stalin bersikeras bahwa zona Prancis harus berasal dari zona AS dan Inggris. Berlin juga akan diduduki dan dibagi antara keempat negara.
Dengan membagi Jerman, wilayah itu kemudian akan menjadi Jerman Timur di bawah kekuasaan Uni Soviet dan Jerman Barat di bawah kekuasaan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Terkait Eropa Timur, Amerika Serikat dan Inggris sepakat bahwa pemerintahan masa depan negara-negara yang berbatasan dengan Uni Soviet harus “bersahabat” dengan rezim Soviet. Uni Soviet sendiri berjanji untuk mengizinkan pemilu yang bebas di semua wilayah yang dibebaskan dari Nazi Jerman. Para negosiator juga merilis deklarasi tentang Polandia, yang mengatur penyertaan komunis dalam pemerintahan nasional pascaperang.
Sementara itu mengenai masa depan Perserikatan Bangsa-Bangsa, semua pihak menyetujui rencana Amerika Serikat mengenai prosedur pemungutan suara di Dewan Keamanan, yang telah diperluas menjadi lima anggota tetap setelah penyertaan Prancis. Masing-masing anggota tetap ini akan memegang hak veto atas keputusan di hadapan Dewan Keamanan.
Reaksi
Mengutip dari Office of The Historian, reaksi awal rakyat Amerika Serikat terhadap Konferensi Yalta adalah perayaan. Roosevelt dan banyak warga lainnya memandang konferensi tersebut sebagai bukti bahwa semangat kerja sama AS-Soviet di masa perang akan berlanjut hingga periode pascaperang.
Namun, sentimen ini tidak bertahan lama. Dengan meninggalnya Franklin D. Roosevelt pada 12 April 1945, Harry S. Truman menjadi presiden Amerika Serikat yang ketiga puluh tiga. Pada akhir April, pemerintahan baru Amerika Serikat berselisih dengan Uni Soviet atas pengaruh mereka di Eropa Timur dan atas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini karena Truman jauh lebih skeptis terhadap Stalin daripada Roosevelt. Dia dan para penasihatnya yakin Uni Soviet tidak ingin mematuhi Konferensi Yalta.
Khawatir dengan kurangnya kerja sama yang dirasakan dari pihak Uni Soviet, banyak warga Amerika mulai mengkritik penanganan Roosevelt terhadap Konferensi Yalta. Hingga hari ini, banyak pencela Roosevelt yang paling keras menuduhnya “menyerahkan” Eropa Timur dan Asia Timur Laut ke Uni Soviet di Yalta meskipun faktanya Soviet memang membuat banyak konsesi substansial.
Inggris juga mendapat tuduhan serupa. Namun secara praktis, Amerika Serikat dan Inggris tidak dapat berbuat banyak karena Stalin sudah memiliki pasukan di seluruh Eropa Tengah dan Timur.
Setelah Konferensi Yalta, Churchill menugaskan rencana serangan terhadap Uni Soviet dengan nama sandi Operasi Tak Terpikirkan (Operation Unthinkable). Akan tetapi, perencana militer Inggris menyadari bahwa rencana itu sama sekali tidak realistis.
Bagi orang Rusia, baik pada masa Perang Dingin maupun saat ini, Konferensi Yalta melambangkan puncak kekuatan besar, kesopanan, dan akomodasi, seperti dikutip dari Atlantic Council. Pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini melontarkan gagasan untuk mengadakan Konferensi Yalta lainnya.
Bagi orang Polandia, Baltik, dan banyak orang lain di Eropa Tengah, Konferensi Yalta berarti pengkhianatan terhadap negara mereka dan pengabaian nilai-nilai inti Amerika Serikat atas nama politik Negara-negara Berkuasa Besar. Mereka (dan Ukraina) khawatir Amerika Serikat akan tergoda oleh “Yalta kedua”, di mana Washington dan Moskow membuat kesepakatan dengan mengorbankan mereka. [BP]