Koran Sulindo – Ketika mengalahkan Belanda yang ditopang Prancis di Batavia tanggal 11 September 1811, Inggris segera mengokohkan kekuasannya di Hindia dengan proklamasi yang diteken Gebernur Jenderal Inggris Lord Earl Minto di India.
Seminggu setelah proklamasi itu, semua perhitungan dan kekayaan jajahan Hindia yang sebelumnya merupakan milik Belanda akhirnya jatuh ke tangan Inggris Raya.
Tanpa membesar-besarkan arti penaklukan Jawa oleh Inggris sekaligus keuntungan yang didapat dari perdagangan di Jawa, Thomas Stamford Raffles menyebut kehilangan itu murni merupakan kesalahan Belanda sendiri.
Belanda, selama masa awal kekuasaannya di Jawa gagal mengambil sekaligus mengelola kedaulatannya di Jawa sementara jalur perdagangan menuju dan dari Eropa terganggu akibat perang.
Di saat semua wilayah jajahan gagal memberikan kentungan signifikan kepada negera induk, yang dilakukan Belanda jutru terus menerus mengirim gubernur jenderal, penasihat, dan komisi-komisi yang juga selalu gagal menyelidiki penyebab kegagalan itu.
Koloni yang mestinya menghasilkan pendapatan bagi negara induk akhirnya justru berbalik menjadi beban.
Sejarawan sepakat, runtuhnya Kompeni dipicu oleh salah urus, korupsi, dan administrasi pengkhianatan.
Selain sebab-sebab itu, semenjak tahun 1780 Kompeni harus terus menerus mengeluarkan biaya perang dalam jumlah besar untuk dapat mempertahankan monopolinya di Hindia.
Biaya perang yang besar itu diperparah dengan anjloknya keuntungan akibat keadaan kacau keadaan di Eropa, terutama goyahnya pemerintahan Belanda akibat perang.
Sementara hubungan dengan wilayah koloni terganggu, perdagangan segera menjadi macet atau dikuasai pihak-pihak lain.
Sebelum pecah perang di tahun 1780, Kompeni setiap tahun secara mengirim komoditas dagang ke India dengan menggunakan puluhan kapal yang rata-rata sanggup mengangkut muatan antara 800-900 ton dari Cina, Srilangka, Bengali dan paling banyak dari Batavia.
Menurut perkiraan kasar hasil perdagangan di seluruh Hindia, kongsi dagang itu telah mengeruk keuntungan hingga 260 juta gulden yang kemudian disetorkan untuk negara induk.
Segunung Utang
Ketika pada tahun 1790 pemerintah Belanda membentuk satu komisi untuk memastikan kekayaan Kompeni ternyata diketahui memiliki tunggakan utang sebesar 74 juta gulden di tahun 1789 dan terus membengkak menjadi 84-85 juta gulden.
Jumlah itu jelas melampaui keuntungan yang sanggup dihasilkan VOC yang hanya 67,7 juta gulden.
Ketika komisi itu akhirnya menyimpulkan tak ada ‘kerusakan’ parah, mereka justru menyarankan agar pemerintah menambah pinjaman hingga 7 juta gulden.
Tiga tahun kemudian, Belanda mengirim dua commisarissen-generaal yakni S.C. Nederburgh dan S. Frijkenius untuk menghentikan kemerosotan Kompeni.
Belum juga tuntas kerja kedua commisarissen-generaal itu, Belanda segera terseret dalam perang yang sedang berlangsung antara Perancis dengan Inggris.
Ketika Inggris berhasil merebut sebagian besar kantor-kantor Kompeni, praktis orang-orang Belanda hanya sanggup mempertahankan kantornya di Batavia, Kanton di Cina dan Desima di Nagasaki, Jepang.
Perang yang berdampak langsung pada lalu lintas kapal antara Eropa dan Jawa, membuat perubahan institusional Kompeni di Jawa mesti menunggu kedatangan Gubernur Jenderal H.W. Daendels di tahun 1807.
Sayangnya reorganisasi radikal yang digagas Deandels tetap gagal menyelamatkan Kompeni sekaligus wilayah jajahannya di Jawa. [TGU]