Kerusakan Alam yang terjadi akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat. (Foto: Greenpeace)
Kerusakan Alam yang terjadi akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat. (Foto: Greenpeace)

Jakarta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan perhatian serius terhadap aktivitas pertambangan nikel yang berlangsung di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Aktivitas tersebut dinilai berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Hal itu disampaikan Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dalam jumpa pers yang digelar pada Jumat (13/6) pagi di Gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.

“Situasi pertambangan nikel di Raja Ampat menjadi perhatian yang sangat serius bagi Komnas HAM karena menyangkut banyak hal terkait pemenuhan hak asasi manusia, termasuk potensi konflik sumber daya alam dan kerusakan lingkungan,” ujar Anis.

Komnas HAM telah melakukan komunikasi awal dengan sejumlah pihak guna mengumpulkan informasi awal sebelum melakukan pemantauan langsung ke lokasi. Menurut Anis, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat tambang nikel tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Lima Perusahaan, Enam Pulau, dan IUP yang Dicabut

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, memaparkan sejumlah temuan awal terkait aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut. Ia menyebutkan bahwa terdapat lima perusahaan yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu:

1. PT Gag Nikel
2. PT Anugerah Surya Pratama
3. PT Nurham
4. PT Mulia Raymond Perkasa
5. PT Kawei Sejahtera Mining

Lima perusahaan ini beroperasi di enam pulau kecil, yaitu Pulau Gag, Kawei, Manuran, Waigeo, Batang Pele, dan Manyaifun. Dari kelima perusahaan tersebut, empat telah melakukan aktivitas pertambangan, sementara PT Nurham belum memulai operasinya di Pulau Waigeo.

Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mencabut empat IUP yang dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.

“Meski IUP sudah dicabut, dampaknya masih terasa. Aktivitas pertambangan yang terjadi sebelumnya telah memicu konflik horizontal antara masyarakat yang menolak dan yang mendukung keberadaan tambang,” jelas Saurlin.

Potensi Pelanggaran HAM dan Langkah Komnas HAM

Wakil Ketua Internal Komnas HAM sekaligus Komisioner Pengaduan, Prabiyanto Mukti, menegaskan bahwa aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil tersebut telah melanggar sejumlah ketentuan hukum nasional maupun internasional.

“Pengrusakan lingkungan hidup bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, wilayah operasi tambang termasuk kategori pulau-pulau kecil yang menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) dan UU No. 27 Tahun 2007 seharusnya dilindungi dari eksploitasi tambang,” ujar Prabiyanto.

Ia juga mengapresiasi pencabutan IUP oleh Kementerian ESDM sebagai langkah awal yang positif. Namun, ia menegaskan perlunya tindak lanjut berupa reklamasi dan pemulihan lingkungan serta pemulihan hak masyarakat terdampak.

Komnas HAM akan membentuk tim pemantauan dan melakukan kunjungan langsung ke lokasi tambang serta memanggil para pihak yang terlibat. Langkah ini, menurut Prabiyanto, akan ditempuh dengan menggunakan pendekatan berbasis hak asasi manusia.

“Komnas HAM memberikan perhatian khusus karena ini menyangkut hak-hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kami akan turun langsung ke lokasi untuk mendengar dan melihat fakta di lapangan,” pungkasnya. [IQT]