Koran Sulindo – Malam baru saja merambat ketika Tonny Koeswoyo atas permintaan tuan rumah mulai menyanyikan nomor The Beatles I Saw Her Standing There. Belum tuntas lagu dimainkan lemparan batu dari luar rumah sudah mulai jatuh seperti hujan.
Tak cuma batu, teriakan juga terdengar dari puluhan pemuda yang berkumpul itu. “Ganyang Ngak-Ngik-Ngok”, “Ganyang Neokolim”, dan “Ganyang Manikebu.” Tanpa basa-basi konser kecil pada 24 Juni 1965 itu sontak bubar jalan karena tamu tunggang-langgang dari tempat. Kabur!
Koes Bersaudara dituntut minta maaf dan wajib menyanyikan mars Nasakom Bersatu dan diwajibkan berhenti memainkan ngak-ngik-ngok lagi. Selesai? Tentu saja tidak, buntut peristiwa itu masih mengular.
Lima hari setelahnya, satu demi satu per satu anggota Koes Bersaudara diabsen ke kantor polisi. Tuduhannya seram, menentang kebijakan negara. Selain alat musiknya disita, mereka juga harus menginap dibui selama tiga bulan di penjara Glodok. Tentu saja zonder pengadilan.
Tahun-tahun sebelum penahanan, demam rock baru mulai berkembang di Indonesia. Sebelum The Beatles muncul, anak-anak muda Indonesia sudah begitu mengidamkan Perry Como, Bing Crosby dan Elvis Presley. Gaya dan penampilan mereka dicontek band-band lokal yang populer di masa itu sebut saja, Lilis Suryani, Dara Puspita, hingga yang terakhir dan paling berkibar ya Koes Bersaudara itu.
Jelas situasi ini membuat gusar Soekarno yang sejak semula mengusung kemandirian politik. Padahal, kemandirian politik mustahil tercapai tanpa kemandirian budaya. Visi besar seperti yang termaktub dalam pidatonya tentang Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia atau Manipol Usdek.
Pada, peringatan hari proklamasi ke-14 pada 17 Agustus 1959 dengan lantang Soekarno mengkritik para pemuda yang meski galak dan anti-imperialisme ekonomi dan politik tapi tetap menikmati imprialisme kebudayaan.
“Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya. Kenapa di kalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata-nyata adalah imprialisme kebudayaan?” kata Soekarno dalam pidatonya.
Ide itu Soekarno itu didukung organisasi seni terbesar kala itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sidang pleno Lekra di Palembang bermusyawarahh panjang untuk berusaha “menjebol kebudayaan imprialisme Amerika Serikat dan membangun kebudayaan nasional dengan mengobarkan kebangkitan tani, serta membatasi musik komprador di Indonesia.”
Kerajaan seni
Sastrawan Pramoedta Ananta Toer pada pidato penutupan sidang mengkritik gaya musik rock yang hanya memberi solusi tunggal pada segala persoalan kehidupan dengan cinta, bersenang-senang, dan harmoni.
“…lagu komprador, yang menganggap semua dapat diselesaikan, apabila pahlawan atau pahlawin dapat kecup-mengecup bibir-bibir masing-masing. Seluruh persoalan akan beres bila pahlawan dan pahlawin dibenarkan naik ranjang bersama-sama.”
Pram lebih lanjut menuding musik rock sebagai biang musik yang “menyalahi kodrat, alias kontrarevolusi sekaligus anti-objektivitas, anti-histori, anti-realitas dan anti-perkembangan.”
Lekra segera ditantang golongan ‘seni untuk seni’ yang dimotori kaum ‘Manifest Kebudayaan’. Golongan ini jelas menolak politisasi seni dan menganggap seni sebagai sebuah kerajaan merdeka yang terpisah bahkan tak ada hubungannya dengan realitas.
‘Perang’ kebudayaan berkobar makin sengit ketika Soekarno menyebut tahun 1964 sebagai vivere pericoloso sekaligus menyerukan Indonesia harus kembali pada kepribadian dan budayanya sendiri. Pada bulan September tahun itu juga panitia Sidang Presidium Kabinet sepakat bahwa perkembangan budaya Barat harus dihentikan, termasuk dan terutama musik ngak-ngik-ngok.
Mereka memberi wewenang kepada polisi untuk menindak tegas mereka yang masih mendengarkan dan memainkan musik ngak-ngik-ngok.
“Mereka adalah penyakit moral”, kata Soekarno saat diwawancarai televisi CBS di Istana Merdeka pada tahun 1965 menyebut The Beatles. Ketika Bernard Kalb yang mewawancarinya memancing lebih lanjut pendapat Soekarno tentang Beatles, ia dengan kalem menjawab, “Saya melarang the Beatles dan beatleisme di sini.”
Ditanya hukuman apa yang bakal ditimpakan bagi mereka yang mengekor grup musik asal Liverpool itu, sembari setengah terpingkal Soekarno menjawab. “Saya perintahkan polisi untuk memotong rambut gondrong.”
Dalam konteks itulah Koes Plus yang mengusung musik ngak-ngik-ngok dituduh sebagai kontra-revolusioner. Di sisi lain, penahanan yang menjadi legenda itu seolah-olah membuat Soekarno vis a vis dengan Koes Bersaudara. Kisah itu itu masih diperdebatkan bahkan hingga kini, banyak yang mencibir kebijakan konyol pemerintah yang berujung pada penangkapan tersebut.
Narasi resminya begitu bahkan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
Calon intel
Bagi Koes Bersaudara tiga bulan tinggal di ruang sempit penjara Glodok ternyata tak hanya mengekang kreativitas, tapi juga mengurung sebuah fakta mendasar. Dalam buku Ais Suhana, Kisah Dari Hati: Koes Plus Tonggak Industri Musik Indonesia narasi lain disebut sebagai dalih penahanan itu.
Kepada Ais, Yok Koeswoyo mengaku tahun 1965 menjadi tahun-tahun yang sangat berkesan bagi mereka. Justru bukan karena masuk penjara tapi rencana dibalik penahanan itu. “Rencana negara mengirim kami ke Malaysia untuk mengintai langsung apakah orang Indonesia yang berada di sana atau orang Malaysia sendiri antipati kepada Indonesia,” kata Yok.
Ide itu digagas Soekarno karena Indonesia jelas menentang pembentukan negara boneka Barat di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara. Memenjarakan Koes Bersaudara, publik Malaysia diharapkan menganggap mereka tak disukai Soekarno. Sebagai ‘musuh’ negara, mereka dengan mudah menyusup di Malaysia sekaligus mencari tahu sentimen masyarakat Malaysia pada Indonesia.
Menurut Ais, ketidaksukaan Soekarno pada rock jelas tak masuk akal. Ketika berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1961, tercatat Soekarno secara pribadi menemui Elvis Presley di Los Angeles. Di sisi lain, Koes Bersaudara , khususnya Yok jelas-jelas merupakan pengagum berat Soekarno.
Tak hanya kepada publik, ‘konspirasi’ itu bahkan ditutup rapat-rapat dari personil lain Koes Bersaudara. “Pemberitaan selama ini keliru. Koes Bersaudara waktu itu ternyata dirancang sedemikian rupa sebagai korban karena membawakan lagu-lagu The Beatles,” ungkap Yok.
Sayang, rencana rahasia itu kemudian urung dieksekusi menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Yang menarik, persis sehari sebelum peristiwa itu meletus, Koes Bersaudara tiba-tiba dilepaskan dari penjara dengan syarat tetap melapor ke Kejaksaan setiap hari Senin. Benar, fakta itu bisa dianggap kebetulan semata, namun satu yang jelas dan pasti kelompok itu dilindungi oleh tangan-tangan tak terlihat.
Bagaimanapun pengakuan Yok bahwa pemenjaraan mereka oleh Soekarno sebagai kepura-puraan menunjukkan Koes Bersaudara tak cuma piawai menyayikan lagu-lagu yang kemudian melegenda. Mereka juga pandai membungkam rapat rahasia serius. “Cuma saya katakan,” kata Yok, “tak ada warga negara Indonesia yang tidak mau berguna bagi nusa dan bangsa.” (TGU)